Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Paidi, Mantan Pemulung Beromzet Miliaran Setelah Sukses Tanam Porang

Kompas.com - 18/06/2019, 09:04 WIB
Muhlis Al Alawi,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


MADIUN, KOMPAS.com — Dahulu, Paidi (37) hanya dikenal sebagai sosok pemulung yang tinggal di Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Rumahnya saat itu berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah.

Namun, sejak tiga tahun terakhir, nasib Paidi berubah total. Pria berambut gondrong ini kini menjadi sosok yang banyak dicari kalangan petani.

Bukan tanpa sebab. Rumahnya yang dahulu sederhana kini menjadi bagus.

Semenjak kegetolannya mengembangkan porang (sejenis umbi yang dapat dijadikan bahan makanan, kosmetik, dll), Paidi membuka banyak mata petani.

Tak hanya sukses berjualan porang hingga luar negeri, Paidi juga memberikan modal bagi petani-petani di kampung halamannya yang ingin mengembangkan porang.

Baca juga: Porang Madiun Menjadi Buruan Pengusaha Jepang dan China

 

Tak hanya memberi modal, Paidi pun memberangkatkan sejumlah petani umrah ke Tanah Suci Mekkah.

Kepada Kompas.com Rabu (12/6/2019), Paidi menceritakan awal mulanya mengenal porang. Ia pertama kali mengenal porang saat bertemu dengan teman satu panti asuhan di Desa Klangon, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, sepuluh tahun silam.

Di rumah temannya, Paidi dikenalkan tanaman porang yang dibudidayakan warga setempat.

"Setelah saya cek, ternyata porang menjadi bahan makanan dan kosmetik yang dibutuhkan perusahaan besar di dunia," ungkap Paidi.

Setelah belajar dari temannya, Paidi kemudian mencari berbagai informasi tentang porang di internet. Dari pencariannya di dunia maya, Paidi menyimpulkan porang merupakan kebutuhan dunia.

Melihat peluang itu, Paidi mulai memutar otak. Sebab, tanaman porang yang dikembangkan di Saradan rata-rata tumbuh harus di bawah naungan pohon lain.

Kondisi itu menjadikan panen tanaman porang memakan waktu yang lama hingga tiga tahun.

Saat hendak mengembangkan porang di kampung halamannya, Paidi mengalami kendala lantaran kondisi lahan pertaniannya berbukit-bukit.

Padahal, rata-rata petani porang di wilayah lain mengembangkan tanaman itu di bawah naungan pohon keras seperti pohon jati.

Berbekal pencarian di Google, Paidi mendapatkan banyak ilmu tentang bagaimana mengembangkan porang di lahan pertanian terbuka.

Hasil pencarian itu lalu dikumpulkan dalam satu catatan yang dinamai sebagai revolusi tanam baru porang.

"Menanam porang rata-rata harus di bawah naungan. Di sini, menanam tanpa harus naungan. Kami menggunakan revolusi pola tanam baru," kata Paidi.

Paidi mengatakan, dengan revolusi tanam baru, hasil panennya berbeda jauh dengan pola tanam konvensional yang mengandalkan di bawah naungan pohon.

Baca juga: Tanaman Ini Bisa Menghapus Arsenik, Zat Sangat Beracun Bagi Manusia

 

Ia membandingkan kalau menggunakan pola tanam konvensional, satu hektar dapat menghasilkan panen tujuh sampai sembilan ton.

Sementara dengan revolusi pola tanam intensif, satu hektar bisa mencapai panen 70 ton.

"Kalau pakai pola tanam konvensional, panennya paling cepat tiga tahun. Sementara dengan pola tanam baru bisa lebih cepat panen enam bulan hingga dua tahun dan hasilnya lebih banyak lagi," ujar Paidi.

Dia mengatakan, bila menggunakan pola tanam konvensional tidak akan bisa mengejar kebutuhan dunia.

Apalagi, pabrik pengelola porang makin menjamur dengan total kebutuhan sehari bisa mencapai 200 ton.

"Kalau menunggu tiga tahun, lama sekali. Untuk itu, butuh revolusi pola tanam sehingga bisa mempercepat panen," ujar Paidi.

Tak mau sukses sendiri, Paidi tak pelit berbagi ilmu. Ia membagi ilmu dari cara bertanam hingga memberikan informasi harga porang dengan membuat blog dan channel YouTube yang bisa diakses siapa pun.

"Saya buat tutorial di akun infoasalan atau paidiporang," ungkap Paidi.

Harapannya, ilmu yang dibagikan di media sosial itu dapat menarik petani di mana pun untuk mengembangkan porang. Apalagi, porang gampang dikembangkan dan mudah untuk dipasarkan.

Ditanya omzet yang ia dapatkan dari pengembangan porang di Desa Kepel, Paidi mengatakan sudah mencapai miliaran rupiah. "Sudah di atas satu miliar," kata Paidi.

Ingin umrahkan satu desa

Tak hanya ingin menularkan ilmu bertanam porang, Paidi juga menginginkan seluruh petani di desanya bisa berangkat umrah ke Tanah Suci tanpa membebani biaya apa pun.

Untuk mengumrahkan petani yang tidak mampu, Paidi memberikan bibit bubil (katak) sebanyak 30 kilogram gratis kepada petani.

Petani yang mendapatkan bantuan bibit dari Paidi harus menanam dan merawatnya hingga bisa meraih panen dalam jangka waktu dua tahun.  

Bila dihitung, panen porang dengan bibit bubil 30 kg bisa menghasilkan Rp 72 juta.

“Uang hasil panen itu bisa untuk memberangkatkan umrah pasangan suami istri. Tetapi kalau panen lebih dari itu, sisa uangnya kami berikan kepada petani,” ujar Paidi.

Paidi menyebutkan, sejauh ini sudah 15 petani yang berangkat umrah setelah mendapatkan bantuan 30 kg bibit bubil. Harapan ke depan, makin banyak petani yang bertanam sehingga bisa berangkat umrah.  

Sementara itu, Kepala Desa Kepel Sungkono menyatakan, banyak warganya ikut menanam porang karena terinspirasi dengan kisah sukses Paidi. Dua tahun terakhir, hampir 85 persen warga di Desa Kepel menanam porang.

Warga tertarik menanam porang karena harganya yang terus naik dan penanamannya yang lebih mudah.

Sebelumnya, warga setempat banyak mengandalkan bertani cengkeh dan durian. Namun, nilai hasil panen tidak sebesar jika dibandingkan dengan porang.

“Tahun lalu penjualan porang di desa kami tembus hingga Rp 4 miliaran. Warga yang memiliki lahan seluas satu hektar bisa meraih untung hingga Rp 110 juta,” kata Sungkono.

Sungkono mengatakan, dengan revolusi pola tanam baru, umbi porang yang dihasilkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan penanaman di bawah tegakan. Perbandingannya mencapai enam kali lipat dibandingkan dengan pola tanam konvensional.  

“Dengan menanam porang, warga cukup nandur sepisan, panen selawase (tanam sekali, panen selamanya),” ujar Sungkono.

Untuk membantu petani mengembangkan porang, Desa Kepel memiliki badan usaha milik desa (bumdes) yang akan mengurusi porang mulai pembibitan biar bisa jual sendiri. Tak hanya itu, bumdes juga siap memberikan pinjaman modal kepada petani yang ingin mengembangkan porang.

Baca juga: Ditemukan Tanaman Spesies Baru di Mandailing Natal

 

"Kalau petani jual sendiri, harganya bisa dimainkan tengkulak," kata Sungkono.

Untuk pengembangan porang, Bupati Madiun Ahmad Dawami yang biasa akrab disapa Kaji Mbing mengharapkan semua petani mengembangkan porang menyusul adanya investasi besar pabrik porang di Madiun.

Dengan demikian, semua petani bisa menanam porang dan bekerja sama pabrik olahan. "Dan tidak akan terjadi petani menanam, pabrik akan membeli dengan harga yang murah," ujar Kaji Mbing.

Ia menambahkan, budidaya tanaman porang juga dikembangkan di kecamatan lain sesuai dengan potensi geografisnya. 

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Madiun Joko Lelono menyatakan, kesuksesan warga Desa Kepel mengembangkan porang menjadikan desa itu masuk empat besar dalam lomba desa se-Jawa Timur tahun ini.

Desa Kepel mampu menyisihkan 7.724 desa di seluruh Jawa Timur. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com