Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Caleg Berburu Restu Roh Leluhur Jelang Pemilu

Kompas.com - 11/04/2019, 14:57 WIB
Markus Makur,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BORONG, KOMPAS.com - Tradisi meminta restu leluhur saat menjelang pemilu memang melekat bagi para caleg. Misalnya saja, melakukan ziarah kubur hingga berkunjung minta restu pimpinan agama dan sebagainya.

Tradisi ini juga ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Para caleg di NTT juga melakukan sejumlah ritual adat, untuk meminta restu roh leluhur, agar lancar urusan menuju pemilu 2019, sehingga bisa duduk di kursi legislatif lima tahun ke depan.

Misal, untuk melancarkan bertemu dengan calon konstituen dan masyarakat adat di daerah. Ritual ini juga bisa dilakukan di rumah, atau di rumah adat (rumah gendang).

Ada dua macam tradisi ritual adat yang digunakan yakni tradisi teing hang atau memberi sesajian kepada arwah leluhur di rumah adat gendang, dan tradisi wuat wai yang berupa pembekalan dari tetua adat.

Berikut cerita para caleg yang menjalani ritual tersebut.

Baca juga: Dihalangi Saat Akan Ziarah Leluhurnya di Madura, Ini Kata Maruf Amin

Caleg DPRD Kabupaten Manggarai dari Partai NasDem dengan nomor urut 04, Fransiskus Yosef Andi Syukur menjelaskan ritual adat Teing Hang kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Dalam ritual yang dilakukannya, dia memberi sesajian kepada leluhur di Rumah Gendang Curu, Kelurahan Karot, Kecamatan La gke Rembong, Kabupaten Manggarai.

Sesajian itu untuk memohon restu dan kemenangan melalui arwah nenek moyang.

"Bersatu, berjuang, menang lewat perantaraan roh leluhur. Saya sudah menyatu dengan adat orang Manggarai sehingga segala sesuatu untuk meraihkan kemenangan harus melaksanakan ritual adat teing hang," katanya.

Syukur menjelaskan, dalam acara calon legislatif teing hang ada beberapa tahapan, tergantung setiap calon legislatif masing-masing.

Baca juga: Di Yogya, Sandiaga Ziarah ke Makam Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan

Pertama, acara teing hang ketika "selek" (persiapan adat) bertempat di rumah gendang atau rumah sang calon legislatif, acara ini meminta restu leluhur untuk perjuangan calon legislatif sekaligus mengumumkan kepada "paang olo ngaung musi atau sanak-saudara yang berasal dari satu suku, satu kampung sehingga semua mereka menjadi tim sukses untuk meraih kemenangan.

Teing hang leluhur tahap kedua bertempat di anak rona, saudara kandung dari ibunda sang calon legislatif. Acara ini bertujuan untuk meminta restu dan kelancaran dari keluarga sang Ibu agar perjuangan calon legislatif lancar, sukses dan menang.

Acara hang teing ketiga, pada saat kampanye terbuka menjelang masa tenang. Acara ini menghinmpun semua keluarga dalam satu daerah pemilihan sekaligus menyampaikan hasil perjalanan saat tatap muka sebelumnya serta meminta restu leluhur agar mepertahankan dan menambahkan jumlah para pendukung atau pemilih.

Baca juga: Ceng Beng, Tradisi Ziarah Kubur dan Reuni Warga Tionghoa

Menurut Syukur, semua ritual adat calon legislatif "teing hang" sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur yang dilaksanakan secara turun temurun.

Ayam putih dipakai sebagai mediator sebagai bentuk ketulusan hati dalam perjuangan serta ketulusan melayani masyarakat.

Syukur mengatakan, di poisi bathin orang Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat) dan pulau Flores umumnya sangat memahami proses ritual adat tersebut.

Menang atau gagal tergantung tanda di lidah dan perut ayam

Tua adat Suku Seso di Kampung Sambikoe, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, melihat lidah ayam dalam ritual Ndeto Nii.KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tua adat Suku Seso di Kampung Sambikoe, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, melihat lidah ayam dalam ritual Ndeto Nii.
Ritual adat hang teing menggunakan ayam putih sebagai media. Ayam sebagai lambang penghormatan kepada leluhur sekaligus sebagai perantaraan permohonan antara orang hidup dengan leluhur yang sudah meninggal ratusan tahun yang silam.

"Jikalau tidak melaksanakan ritual adat maka itu berarti tidak menghormati leluhur dan sebagai tanda kekalahan dalam perjuangan. Untuk itu semua calon legislatif harus melaksanakannya," kata Tua adat Manggarai Timur yakni Fransiskus Ndolu, Damianus Tarung, dan Aloisius Angkap secara bersamaan kepada Kompas.com.

Biasanya ritual adat itu dilangsungkan di rumah pribadi dari para calon legislatif dan rumah adat gendang di tiap kampung.

Kemudian, dengan media ayam, Tua Adat yang memiliki kharisma adat akan meramalkan tanda-tanda di perut dan lidah ayam yang dijadikan media.

Baca juga: Kenduren Wonosalam, Tradisi Berbagi Durian Sekaligus Promosi Wisata

Sebagai catatan, Tidak semua Tua Adat memiliki kharisma adat untuk melaksanakan ritual adat tersebut.

Saat ritual adat dilangsungkan sang juru bicara adat yang bisa meramalkan kemenangan dan kegagalan dari caleg itu melangsungkan tutur adat sesuai bahasa setempat untuk meminta leluhur hadir.

Kemudian, mereka serta bersama-sama memohon kepada Sang Pemilik Kehidupan untuk kemenangan dari perjuangan dari caleg tersebut.

"Salah satu penentuan kemenangan dan kegagalan tergantung simbol-simbol yang yang diberikan tanda-tanda oleh arwah nenek moyang," lanjut mereka.

Baca juga: Bahas Perdamaian di Perbatasan, Warga Indonesia-Timor Leste Undang Roh Leluhur

Caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN) nomor urut 05 untuk DPRD Kabupaten Manggarai Timur, Petrus Yohanes Elmiance menjelaskan, sejak dia mendaftar jadi caleg di Kabupaten Manggarai Timur, dia sudah melaksanakan ritual di rumah oleh Tua Adat di Manggarai Timur, Damianus Tarung.

Selain itu, ritual adat juga dilaksanakan di pihak anak rona (hang teing kedua) dari istri di Kampung Wajur-Kolang untuk meminta restu leluhur dari istri serta keluarganya.

“Tanda-tanda baik di hati dan lidah ayam memberikan semangat bagi saya untuk berjuang bersama dengan tim dan relawan demi meraih kemenangan pada 17 April 2019," katanya.

Elmiance menjelaskan, dia sangat memegang tradisi dan budaya orangtua yang diwariskan leluhur. Menurut dia, secara tradisi, arwah leluhur itu harus dihormati agar perjuangan politiknya memperoleh petunjuk untuk meraih kemenangan.

Baca juga: Penganut Agama Leluhur: Sakitnya Kami Selalu Diperlakukan Beda...

“Saya lupa hari dan tanggalnya bahwa darah ayam diteteskan di telapak kaki oleh tetua adat serta pihak anak rona untuk merestui perjuangan ini. Setiap kali bertemu dengan warga di 26 Desa di Kecamatan Kota Komba sebagai daerah pemilihan (Dapil), tetua adat selalu melaksanakan ritual adat memohon roh leluhur setempat untuk memberikan persetujuan dari perjuangan ini,” jelasnya.

Proses ritual adat ini juga digunakan Elmiance untuk bertatap muka dengan konstitennya. Elmiance menjelaskan, apabila ada halangan dan hambatan selama proses bertemu dengan warga, baik tatap muka terbatas maupun kampanye terbuka, selalu disampaikan kepada tetua adat agar melaksanakan ritual adat lagi untuk melancarkan tatap muka dan kampanye terbuka berikutnya.

Sementara itu Vinsensius Reamur, caleg dari Partai Golkar nomor urut 01 dari daerah pemilihan (Dapil) Kecamatan Kota Komba menjelaskan, dirinya bersama dengan sejumlah caleg dari daerah pemilihan Kota Komba melangsungkan ritual adat di rumah gendang Suku Weru di Kampung Mbapo, Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba.

“Saya melaksanakan ritual adat selek sesuai adat istiadat dari orangtua dan leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Segala perjuangan untuk meraih kemenangan harus melibatkan arwah leluhur. Politik untuk meraihkan kursi di DPRD Kabupaten Manggarai Timur harus memperoleh restu dari leluhur. Politik tetap politik tetapi saya tetap menghormati arwah leluhur yang telah mewariskan ritual adat tersebut,” jelasnya.

Tradisi Wuat Wai

Perpaduan rombeng rajong dengan topi songke Manggarai Raya, Selasa (21/3/2017) yang dipakai oleh semua kalangan saat acara kekeluargaan di Kampung Mano, Kecamatan Pocoranaka, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Dua topi ini selalu dipakai oleh orang tua, orang muda saat ritual adat maupun acara perkawinan di wilayah Manggarai Raya.  KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perpaduan rombeng rajong dengan topi songke Manggarai Raya, Selasa (21/3/2017) yang dipakai oleh semua kalangan saat acara kekeluargaan di Kampung Mano, Kecamatan Pocoranaka, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Dua topi ini selalu dipakai oleh orang tua, orang muda saat ritual adat maupun acara perkawinan di wilayah Manggarai Raya.
Fransiskus Sarong, caleg dari Partai Golkar untuk DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nomor urut 04 menceritakan pengalamannya saat pemilihan kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Manggarai Timur 2017-2018 lalu.

Dia melaksanakan ritual adat di seluruh rumah adat di Kabupaten Manggarai Timur untuk memenagkan kursi senagai Bupati Manggarai Timur. Tapi ternyata belum membuahkan hasil.

“Saat saya maju lagi sebagai caleg untuk DPRD Provinsi NTT pada pemilu 2019 ini, saya memilih dengan cara yang berbeda. Saya bertemu langsung dengan warga dan membatasi pelaksanaan ritual adat di rumah gendang warga setempat," katanya.

"Pengalaman melaksanakan ritual adat saat maju jadi calon Bupati Manggarai Timur yang memilih tanda-tanda harapan untuk menang, ternyata tidak membuahkan hasil. Saya tetap meminta pembekalan dan peneguhan secara adat untuk urusan politik sebagai caleg pada 17 April 2019,” jelasnya.

Baca juga: Bupati Manggarai Barat Minta Masyarakat Lestarikan Ritual Adat

Sarong mengungkapkan, dirinya tidak lupa ritual adat sebab dia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan adat istiadat. Ritual adat tetap dipegang teguh hingga saat ini sebab ini merupakan keyakinan dan kepercayaan nenek moyang.

Sarong menjelaskan, para leluhur orang Manggarai Raya memiliki sebuah warisan leluhur untuk berbagai kepentingan, baik untuk anak sekolah yang kuliah di perguruan tinggi maupun di ajang politik.

Ada tradisi “Wuat Wai” sebagai pembekalan dan peneguhan kepada orang Manggarai dalam berbagai konteks kehidupan. Wuat itu, pembekalan secara adat, wai diartikan dengan kaki yang melangkah pasti untuk sebuah keberhasilan.

Dalam tradisi wuat wai, caleg harus memohon ahli waris duduk bersama untuk memberikan dukungan penuh dalam sebuah perjuangan, baik perjuangan politik dan pendidikan.

Baca juga: Maju Cagub NTT, Benny Harman Gelar Ritual Adat Potong Kerbau

Kemudian, memohon dukungan secara adat di rumah gendang untuk meminta peneguhan secara adat di rumah adat gendang. Terakhir, meminta dukungan moril dari roh leluhur dan sesama anggota keluarga.

"Ini adat istiadat yang terus dipertahankan dalam kehidupan orang Manggarai Raya khususnya dan Pulau Flores pada umumnya, namun bukan penentu sebuah kemenangan politik,” jelasnya.

Tidak bertentangan dengan gereja

Sementara itu calon anggota DPD Provinsi NTT Agustinus Lesek menyebut tradisi warisan leluhur ini sebagai agama tua. Tradisi ini dilakukan bukan hanya saat musim pemilu saja. Sebelumnya, dia pernah enggan melaksanakan tradisi ini.

“Saat saya belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero beberapa tahun silam kurang percaya dengan kepercayaan tua yang ada di kampung-kampung di Manggarai Raya," ujarnya.

Baca juga: Sebelum Daftar ke KPU, Bakal Cawagub NTT Ini Gelar Ritual Adat

Akibatnya, banyak halangan yang dihadapinya saat maju sebagai calon anggota DPD. Dia kemudian menerima saran melaksanakan pemulihan adat. Dampaknya adalah tidak ada lagi tanda-tanda atau tantangan yang dihadapi. Semuanya berjalan lancar.

“Bagi saya yang memegang prinsip rasional, kadang-kadang berpikir sangat irasional, namun yang irasional itu menuntun perjalanan hidup keluarga dan pendidikan serta pekerjaan,” jelasnya.

Imam Keuskupan Ruteng Pastor Wilfridus Babun, SVD kepada Kompas.com menjelaskan, ritual adat yang dilaksanakan para caleg di NTT itu sebuah doa adat.

Ritual adat itu dimaknai sebagai doa karena ritual adat juga sebagai penentu keberhasilan bagi orang-orang Manggarai Raya di Flores, NTT.

“Saya kira itu tidak bertentangan dengan ajaran gereja Katolik. Doa dimaknai sebagi relasi manusia yang hidup dengan arwah nenek moyang,” jelasnya.

Baca juga: Daftar Jadi Calon Gubernur NTT, Bupati TTU Gelar Ritual Adat

Pastor Babun menjelaskan, orang Manggarai Raya yang memiliki pendidikan tinggi dan merantau ke luar negeri tetap melaksanakan ritual adat adat berlibur ke kampung halamannya.

“Gereja Katolik tidak melarang melaksanakan ritual adat sebab itu kepercayaan dan keyakinan nenek moyang yang diwariskan kepada generasi penerus orang Manggarai Raya. Ini juga bagian dari inkulturasi dan memahami ajaran kepercayaan nenek moyang secara kontekstual," katanya.

"Orang Manggarai Raya akan mendapat malapetaka apabila melupakan ritual adat yang diwariskan nenek moyang dari ratusan tahun silam sebelum agama Katolik masuk di bumi Manggarai Raya,” jelasnya.

Baca juga: Ribuan Belalang Serang TTU, Warga Siapkan Ritual Adat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com