Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Slamet Melawan Diskriminasi Agama, Berharap Tak Ada Lagi Aturan Serupa

Kompas.com - 03/04/2019, 17:29 WIB
Markus Yuwono,
Khairina

Tim Redaksi


YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bantul, Yogyakarta, berharap peristiwa Slamet Jumiarto (42) yang sempat ditolak tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, menjadi pembelajaran semuanya. Dengan demikian, tidak muncul peraturan yang sama karena bisa merugikan semua pihak.

Ketua FKUB Kabupaten Bantul Yasmuri mengatakan, pihaknya sudah mendengar kasus ini.

Larangan bagi nonmuslim untuk tinggal tersebut merupakan kesepakatan kelompok kegiatan (pokgiat) yang sudah didasari dengan berbagai pertimbangan.

Namun demikian, ketika aturan itu kemudian menghilangkan hak warga negara yang lain, maka harus ada perbaikan atau revisi.

Terlebih lagi jika aturan tersebut bertentangan dengan aturan di atasnya.

Baca juga: 7 Fakta Kisah Slamet Melawan Diskriminasi Agama di Bantul, Peraturan Dicabut hingga Warga Ingin Hidup Rukun

Dia mencontohkan, misalnya peraturan dibuat dengan alasan warga melarang non muslim tinggal karena dikhawatirkan akan memelihara anjing.

Maka, aturannya seharusnya tetap memperbolehkan warga non muslim tinggal dengan catatan tidak memelihara anjing.

"Aturannya harus tetap memperbolehkan warga non muslim tinggal, dengan catatan tidak memelihara anjing," katanya dalam rilis yang diterima, Rabu (3/4/2019).

Menurut dia, selama ini kehidupan beragama di Desa Pleret sangat baik. Dirinya juga mengapresiasi langkah cepat pemerintah dan masyarakat untuk merevisi peraturan tersebut, sampai memperbolehkan Slamet untuk tinggal di Karet beberapa waktu.

Pihaknya berharap ke depan tidak ada yang menstigmatisasi wilayah Dusun Karet masyarakat intoleran.

"Saya juga siap membantu mencarikan alternatif tempat kontrak yang lain jika dibutuhkan,"ucapnya.

Sebelumnya, dalam wawancara di kontrakannya Selasa (2/4/2019) di Dusun Karet RW 8, Slamet mengatakan, dirinya sudah menerima keputusan terkait pencabutan dan bersedia pindah dengan catatan seluruh biaya dikembalikan.

Selain itu, pihaknya meminta peraturan tersebut dicabut, dengan harapan tidak ada lagi penolakan serupa di kemudian hari.

Selama beberapa hari tinggal di dusun Karet, warga sekitar menerima dengan baik, bahkan sudah ada yang berkunjung ke rumahnya.

"Yang penting, saya kejar sampai kapan pun itu harus berubah aturan itu,"ucapnya.


Dia berharap pemerintah DIY mengecek peraturan di seluruh desa, jangan sampai ada peraturan serupa muncul dan membuat masyarakat terkotak oleh suku, agama dan latar belakang lainnya.

"Saya sarankan coba di cek seluruh DIY, siapa tau ada pertauran serupa,"ujarnya.

Baca juga: Kisah Slamet, Melawan Peraturan Dusun yang Diskriminatif di Bantul

Slamet sendiri datang ke Dusun Karet, Jumat (29/3/2019). Awalnya, ayah dua orang anak tersebut diterima baik pemilik rumah. Bahkan, dirinya menyebut, pemilik rumah tidak mempermasalahkan agama yang dianutnya.

Setelah merapikan rumah kontrakan yang terletak di gang kecil di Pedukuhan Karet, RT 8 pada Minggu (31/3/2019), sebagai warga baru, pria yang berprofesi sebagi pelukis ini melapor ke Ketua RT 8.

Di sana, ia memberikan fotokopi KTP, KK, hingga surat nikah. Namun, saat diperiksa, diketahui dirinya beragama Katolik, dan ditolak untuk tinggal.

Sebab, adanya Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 memutuskan syarat-syarat bagi pendatang baru di Pedukuhan Pleret di antaranya adalah bersifat non-materi, bersifat material, dan sanksi.

Berikut isi surat keputusan tersebut.

Demi kelangsungan dan kenyamanan hidup bermasyarakat

Menimbang

Hasil keputusan rapat pengurus kelompok kegiatan padukuhan Karet pada Senin 19 Oktober 2015 yang bertempat di Kantor Padukuhan Karet.

Memutuskan

Syarat bagi pendatang baru di Padukuhan Karet

Bersifat non materi:

1. Pendatang baru harus Islam. Islam yang dimaksud adalah sama dengan faham yang dianut oleh penduduk padukuhan Karet yang sudah ada.

2. Tidak mengurangi rasa hormat, penduduk padukuhan Karet keberatan untuk menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama non Islam seperti yang dimaksud pada ayat 1.

3. Bersedia mengikuti ketentuan adat dan budaya lingkungan yang sudah tertata, seperti peringatan keagamaan, gotongroyong, keamanan lingkungan, kebersihan lingkungan dan lain-lain.

4. Bagi pendatang baru baik yang menetap atau kontrak/kost wajib menunjukkan identitas kependudukan yang asli (akta nikah, KTP, KK) dan menyerahkan fotocopynya.

Bersifat non materi

Bagi pendatang baru yang menetap dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 1 juta dengan ketentuan Rp 600 ribu masuk kas kampung melalui kelompok kegiatan padukuhan karet dan Rp 400 ribu masuk kas RT setempat (RT.1 sampai 8).

Berdasarkan SK nomor 02/POKGIAT/Krt/X/2012

Sanksi

Apabila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan di atas maka dikenakan sanksi:

1. Teguran secara lisan

2. Teguran secara tertulis

3. Diusir/dikeluarkan dari wilayah Padukuhan Karet

Surat itu ditandatangani Kepala Dusun Karet Iswanto dan Ketua Pokgiat Ahmad Sudarmi.


Baca juga: Terkait Pemahaman Pancasila, Jokowi Sebut Toleransi Harus Diajarkan Sejak Dini

Kepala Dusun Karet Iswanto mengatakan, peraturan tersebut dibuat awalnya karena kekhawatiran warga terkait campurnya makam muslim dan di luar agama Islam.

Usulan sendiri disepakati oleh 30 orang tokoh masyarakat dan agama setempat. Di padukuhan Karet sendiri ada sekitar 540 KK yang tinggal, satu KK diantaranya beragama Nasrani.

"Itu kan cuma mengantisipasi. Sebelumnya kan dari masyarakat belum ada non-muslim yang dimakamkan di sini, cuman mengantisipasi itu usulan dari masyarakat,"ucapnya.

Namun demikian, setelah adanya pertimbangan dan melanggar peraturan diatas seperti UUD 1945, peraturan tersebut dicabut. Ke depan, pihaknya tidak akan mempermasalahkan jika ada warga dari luar yang akan tinggal di sana.

"Kami sepakat peraturan itu aturan itu kami cabut. Permasalahan dengan pak Slamet sudah selesai dan tidak perlu dipermasalahkan,"katanya.

Ke depan pihaknya tidak akan mempermasalahkan latar belakang suku agama maupun ras. "Mengikuti peraturan pemerintah saja,"ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com