Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Ciwaringin, Potret Perjuangan Para Santri Menyelamatkan Warga

Kompas.com - 10/01/2019, 12:01 WIB
Windoro Adi,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com - Batik dengan motif Pecutan, Tebu Sekeret, dan Ganepo, merekam perjuangan kaum santri di tengah masa susah warga di Kecamatan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, pada era penjajahan kolonial Belanda.

Jika Anda mengunjungi sentra batik di Ciwaringin, Anda tak akan menemui motif-motif batik dari kalangan Istana di sana. Masa kegemilangan lingkungan keraton yang ditoreh lewat motif batik Mega Mendung, Paksi Naga Liman, Patran Keris, Singa Payung, Singa Barong, seolah sirna di Desa Ciwaringin.

Kecamatan Ciwaringin terdiri dari delapan desa. Dua di antaranya adalah Desa Babakan dan Desa Ciwaringin. Desa Babakan tumbuh menjadi "gudangnya" pesantren. Saat ini, ada 33 pesantren di Desa Babakan.

Sementara itu, Desa Ciwaringin di lingkungan RT 5, 6, 7 RW 5, tepatnya di Blok Kebon Gedang, tumbuh menjadi kawasan industri rumahan batik. 

Menurut pasangan suami istri Hasanudin Abdul Kohar (47), dan Nur Halifah Abdul Ajiz (46), motif Batik Ciwaringin yang didominasi gambaran perjuangan kaum santri di Desa Babakan menyelamatkan warga Kecamatan Ciwaringin dari kemiskinan dan kelaparan.

Kalangan santri pun melatih warga bertahan hidup dengan membuat dan menjual batik.

"Sore menjelang malam setelah para santri selesai belajar agama, mereka datang ke desa-desa di lingkungan Kecamatan Ciwaringin untuk melatih warga membatik," tutur Hasanudin Abdul Kohar yang akrab disapa Hasan di Rumah Batik "Risma", Senin (7/1/2019).

Dalam perkembangannya, hanya Desa Ciwaringin yang kemudian tumbuh sebagai kampung batik.

Jejak kelaparan warga Ciwaringin ditoreh dalam motif Tebu Sekeret. Kata Hasan, motif ini menggambarkan, untuk bertahan hidup, warga Ciwaringin yang lapar, menyesap potongan batang tebu. Penggambaran serupa juga muncul pada motif Ganepo.

Ganepo kepanjangan dari kalimat berbahasa Cirebon, "Segane langka, tenagane lempo" (Nasi habis, tenaga lemah). Motif ini sebenarnya adalah motif batik Jawa Tengah, Sapu Jagat, yang distilir.

"Motif batik Ciwaringin paling populer adalah motif Pecutan," kata Hasan. Gagasan motif ini berasal dari tangkai dan dedaunan yang digunakan para pengajar di pondok pesantren mencambuk, memberi semangat para santrinya agar lebih giat belajar ilmu agama.

Pemerhati kesenian dan kebudayaan dari Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), H Uki Marzuki, membenarkan bahwa batik Ciwaringin tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren.

Motif batik lainnya yang menggambarkan rekam jejak kaum santri adalah motif Pring Sedapur, dan Laseman (langgam batik Lasem). Penggagas utamanya adalah KH Mohammad Amin yang lebih dikenal sebagai Kiai Madamin dari Pondok Pesantren Babakan.

Uki bercerita, sekembalinya dari menuntut ilmu agama di Lasem, Jawa Tengah, dia bersama isterinya, Nyai Kaltsum, melatih para santri membatik.

Selanjutnya, para santri melatih membatik warga Kecamatan Ciwaringin. Tak heran bila sentuhan Batik Lasem terasa dalam corak Batik Ciwaringin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com