Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Ciwaringin, Potret Perjuangan Para Santri Menyelamatkan Warga

Kompas.com - 10/01/2019, 12:01 WIB
Windoro Adi,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

 

Selain mendapat pengaruh Lasem, Batik Ciwaringin juga dipengaruhi warna Batik Madura, seperti pada motif Bang Biron Dlorong (garis-garis diagonal merah dan biru dengan motif bunga), serta dipengaruhi Batik Indramayu seperti pada motif Kapal Kandas yang distilir menjadi susunan segitiga.

Peran Nyai Kaltsum dalam mengembangkan Batik Ciwaringin seperti ditulis Uki dalam Diskusi Paralel Kongres Ulama Perempuan Indonesia pada 27 Maret 2017 di Babakan tak bisa diabaikan.

Nyai Kaltsum adalah putri pasangan KH Abdul Fannan dan dan Nyai Khodijah. Perempuan ulama ini juga cucu Kiai Adzroi, salah satu ulama di Pesantren Babakan.

Keterampilan Nyai Kaltsum membatik diperoleh dari ibundanya, Nyai Khodijah, dari Desa Karang Tengah, Plered Cirebon, dan neneknya, Nyai Murtaja dari Pekalongan, Jawa Tengah.

Di tengah semangatnya memberdayakan para santri dan warga, Kiai Madamin mengingatkan istrinya bahwa tugas utama para santri adalah menyelesaikan ilmu agamanya, bukan menjadi pengrajin batik.

Oleh karena itu, industri batik rumahan Ciwaringin kemudian lebih banyak dikembangkan warga. 

"Sampai sekarang, para istri ulama, dan perempuan ulama masih menjadi pelanggan tetap kami," ujar Hasan.

Sempat meredup

Sejak dibawa Kiai Madamin, pewarnaan batik di Ciwaringin menggunakan bahan bahan alami, bukan bahan pewarna kimia atau sintetis.

"Tetapi setelah tahun 70-an, pewarna sintetis dari India dan Cina membanjiri industri rumahan batik di Ciwaringin. Batik Ciwaringin kehilangan keistimewaannya dan surut di tengah persaingan dengan sentra batik lain," tutur Hasan.

Dia menuturkan, warna coklat tua batik tulis Ciwaringin dengan bahan alami diperoleh dari getah kulit pohon mahoni, sedangkan warna biru dari daun Indigo. Jika dicampur akan menghasilkan warna hitam kumal.

Warna coklat cerah berasal dari kulit buah jengkol, warna krem dari getah kulit pohon mangga, sedang warna abu kehijauan berasal dari kulit rambutan, atau sabut kelapa.

"Masih ada sejumlah warna lain yang kami buat dari bahan kulit kayu, daun, dan buah," ucap Hasan.

Penggunaan bahan alami pada Batik Ciwaringin ini, lanjut dia, membuat Batik Ciwaringin umumnya terkesan kumal dan sepuh. Itulah yang membedakan batik Ciwaringin dengan batik Cirebon pada umumnya.

Pada awal 90-an, industri batik rumahan Ciwaringin, kian surut bersaing dengan batik printing yang harganya lebih murah sampai akhirnya terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Warga mulai berbondong bondong menjadi pekerja migran di Timur Tengah.

"Saya termasuk yang ikut jadi pekerja migran di Mekkah selama 11 tahun, sementara istri saya bekerja di sana satu setengah tahun," ungkap Hasan.

Jumlah pengrajin batik tulis yang masih aktif tahun 2000, lanjut Hasan, tinggal 10 orang. Meski secara ekonomi warga diuntungkan, tetapi secara sosial mereka lebih rapuh.

Kasus perceraian, perselingkuhan, dan lahirnya anak anak di luar nikah, merebak sampai akhirnya, pada tahun 2009, Dinas Koperasi Kabupaten Cirebon berinisiatif menghidupkan kembali usaha batik tulis Ciwaringin.

Dinas menggandeng PT Indocement Tunggal Perkasa. Produsen semen ini kemudian mengucurkan dana pinjaman tanpa bunga selama setahun kepada lima pengrajin handal sebesar masing-masing Rp 10 juta.

"Untuk pengrajin lain, dana yang dikucurkan masing-masing cuma Rp 2 juta. Saya kebagian pinjaman yang Rp 10 juta," kenang Hasan.

Lewat dana corporate social responsibility (CSR), Indocement membiayai pelatihan pelatihan dan studi banding ke Surabaya, Jakarta, Bali, dan Semarang tahun 2013–2016.

"Yang ikut aktif hanya 70 orang pengrajin. Selebihnya tidak ikut karena sudah sepuh," ujar Hasan.

Indocement, lanjutnya, juga membiayai para pengrajin ikut sejumlah pameran.

"Mereka yang membayar sewa gerai bagi para pengrajin batik," tambah Hasan.

Pada tahun 2009, muncul pakaian gamis batik Ciwaringin yang digemari kaum perempuan. Tren ini makin membuat industri rumahan batik Ciwaringin kembali berpamor.

Instalasi pengolahan air limbah di sentra batik Ciwaringin, di Blok Kebon Gedang, Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin, Cirebon. Meski sudah 90 persen pewarnaan batik alami diterapkan kalangan pengrajin batik di tempat ini, warga tak ingin pemukiman mereka tercemar air limbah pewarna bahan kimia yang tinggal 10 persen mereka pakai.KOMPAS/WINDORO ADI Instalasi pengolahan air limbah di sentra batik Ciwaringin, di Blok Kebon Gedang, Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin, Cirebon. Meski sudah 90 persen pewarnaan batik alami diterapkan kalangan pengrajin batik di tempat ini, warga tak ingin pemukiman mereka tercemar air limbah pewarna bahan kimia yang tinggal 10 persen mereka pakai.

Bangkit kembali

Dua tahun setelah masa surut nan suram, industri rumahan batik Ciwaringin kembali cerah. Setahun kemudian, 2012, industri rumahan batik ini mencapai puncaknya setelah satu stasiun televisi swasta menayangkan tentang batik Ciwaringin, diikuti media massa lainnya.

"Rumah batik saya bisa melepas 80 potong batik tulis dengan harga lebih mahal sepanjang tahun itu. Semuanya naik dua kali lipat, baik jumlah maupun harga batik tulisnya. Hal ini juga dialami rumah rumah batik lain di Desa Ciwaringin," tutur Hasan takjub.

Pemilik rumah batik "Kamila", Ridwan (47), dan pemilik Rumah Batik "Novi", Solifah (30) membenarkan cerita Hasan.

"Sekarang kami sudah mengenal pola pergerakan pasar batik kami. Pembeli melimpah menjelang Lebaran, setelah itu sepi, lalu kembali pada angka penjualan harian," ucap Solifah saat ditemui di gerai batiknya, Senin (7/1/2019).

Soal warna, lanjut Ridwan, pembeli Batik Ciwaringin kini lebih cenderung memilih warna biru. Dalam soal motif, tambah Hasan, yang paling populer adalah motif Pecutan, Tebu Sekeret, dan Ganepo. Pilihan motif lain yang juga menarik pembeli adalah motif Rajeg Wesi, Manggaran, dan Gribigan.

Kini, masa puncak itu lewat sudah. Meski demikian hal itu tidak membuat industri rumahan Batik Ciwaringin kembali suram.

"Saat ini kami sudah memiliki Koperasi Anugerah yang sudah beromset Rp 200 juta, setiap tahun. Anggota yang aktif, 70 orang," tutur Hasan.

Dia mengakui, pendirian koperasi tersebut juga tak lepas dari bantuan Indocement.

Pasar lokal

Hasan, Ridwan, dan Novi mengakui, batik tulis Ciwaringin masih mengandalkan pembeli lokal dibanding pembeli asing.

"Pembelinya kebanyakan dari Jakarta dan Tangerang, para isteri ulama, serta perempuan pondok pesantren di Ciwaringin," tutur Ridwan.

Perbandingannya, 80 persen pembeli lokal, 20 persen pembeli asal Jerman, Jepang, dan Singapura.

Para pembeli lokal yang membeli Batik Ciwaringin umumnya adalah mereka yang ingin mengoleksi Batik Cirebon yang berbeda dengan kebanyakan Batik Cirebon yang sudah mereka miliki. Sekarang, dalam setahun, Hasan bisa menjual minimal 40 potong batik tulis.

"Jika dihitung dengan harga paling minim, Rp 200.000, maka omset kami sebulan, Rp 8 juta. Jika dikurangi biaya produksi, maka pendapatan bersih kami sebulan, Rp 4 juta. Ini angka pesimisnya ya," ujar Hasan.

Saat ini, harga batik tulis Ciwaringin dari tangan pengrajin sekitar Rp 200.000 hingga Rp 2 juta.

"Untuk yang berbahan katun primasima tiga bendera, Rp 200.000 sampai Rp 1 juta, sedang yang berbahan sutera, Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta," ujar Hasan yang membuka usahanya sejak 1997.

Menurut dia, batik tulis yang paling laris adalah batik tulis dengan harga Rp 300.000.

Ramah lingkungan

Saat ini, 90 persen pengrajin batik tulis Ciwaringin sudah mengandalkan pewarna batik alami. Hanya 10 persen saja yang masih menggunakan pewarna sintetis. Meski demikian, dengan bantuan Indocement mereka tetap membangun beberapa instalasi pengolahan air limbah (Ipal) di pemukiman mereka.

Hasan dan para pengrajin batik tulis Ciwaringin menyukuri semua yang sudah mereka peroleh. Pemukiman yang bebas pencemaran, serta industri rumahan batik yang mulai bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.

"Langkah berikut kami adalah membangun sistem E-Commerce untuk meningkatkan omset produk kami. Hasilnya bukan hanya buat kami, warga Blok Kebon Gedang, tetapi insya Allah juga untuk membantu pesantren," tutur Hasan.

Dia berpendapat, sudah sepantasnya warga Desa Ciwaringin membantu para santri yang mewariskan Batik Ciwaringin kepada mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com