Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Fakta Erupsi Gunung Anak Krakatau, Aktivitas Masih Fluktuatif hingga Arah Semburan Debu Vulkanik

Kompas.com - 04/01/2019, 16:12 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
Khairina

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Aktivitas Gunung Anak Krakatau terus berlangsung hingga saat ini. Berdasar pengamatan dari pos di Pasauran, Kecamatan Cinangka, Serang, Krakatau meletus 60 kali pada hari Rabu (2/1/2019).

Namun, letusan tersebut tidak menyebabkan tsunami seperti peristiwa pada hari Sabtu (22/12/2018) lalu.

Namun demikian, debu vulkanik dari erupsi Gunung Anak Krakatau tersebut diperkirakan mengarah ke Pulau Jawa. Semburan debu vulkanik tersebut diduga tidak akan mempengaruhi aktivitas warga.

Berikut ini fakta perkembangan aktivitas Gunung Anak Krakatau:

1. Gunung Anak Krakatau tercatat telah meletus 60 kali

Aktivitas letupan abu vulkanik dari Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda terpantau dari udara yang diambil dari pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik maskapai Susi Air, Minggu (23/12/2018). KOMPAS/RIZA FATHONI Aktivitas letupan abu vulkanik dari Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda terpantau dari udara yang diambil dari pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik maskapai Susi Air, Minggu (23/12/2018).

Petugas pos pemantauan di Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, mencatat telah terjadi 60 kali pada Rabu (2/1/2019).

Namun, letusan tersebut sangat kecil peluangnya memicu tsunami.Hal tersebut disampaikan Petugas Pusat Vulkanologi, Mitigasi, dan Bencana Geologi (PVMBG) Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, Deny Mardiono.

"Kalau letusan saat ini sangat kecil sekali peluangnya terjadi tsunami, karena sekarang gunungnya sudah jauh lebih rendah, tinggal 110 meter lagi," kata Deny saat ditemui di Posko Terpadu tsunami Selat Sunda, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Kamis (3/1/2019).

Baca Juga: Krakatau Meletus 60 Kali Sehari, Peluang Picu Tsunami Kecil

2. Aktivitas Gunung Anak Krakatau masih fluktuatif

Asap hitam menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018). Berdasarkan data yang terekam di Pos Pengamatan GAK di Pasauran, Serang, sejak Jumat (7/12) hingga Minggu (9/12) GAK mengeluarkan 204 letusan awan hitam setinggi 150-300 meter dengan durasi 31-72 detik diiringi 22 kali gempa vulkanik sehingga statusnya masih pada level wasada. ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki/af/hp.WELI AYU REJEKI Asap hitam menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018). Berdasarkan data yang terekam di Pos Pengamatan GAK di Pasauran, Serang, sejak Jumat (7/12) hingga Minggu (9/12) GAK mengeluarkan 204 letusan awan hitam setinggi 150-300 meter dengan durasi 31-72 detik diiringi 22 kali gempa vulkanik sehingga statusnya masih pada level wasada. ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki/af/hp.

Deny Mardiono mengatakan, saat ini aktivitas Gunung Anak Krakatau masih fluktuatif sejak adanya peningkatan pada Juni 2018 lalu.

Gunung Anak Krakatau sempat menunjukkan tren penurunan aktivitas setelah terpantau ada rayapan pada badan hingga ukurannya menyusut dari 338 meter di atas permukaan laut (Mdpl) menjadi 110 Mdpl.

Sementara pada dua hari berturut-turut, Gunung Anak Krakatau tercatat meletus sebanyak 33 kali dan 60 kali letusan.

Hingga saat ini status Gunung Anak Krakatau masih belum ada perubahan, tetap Level III Siaga.

Deny mengimbau masyarakat untuk mematuhi jarak bahaya yang ditetapkan, yakni lima kilometer dari gunung, karena memungkinkan untuk terkena lontaran material yang dikeluarkan oleh letusan Gunung Anak Krakatau.

Baca Juga: Pantau Anak Gunung Krakatau, ESDM akan Pasang 2 Seismograf

3. BMKG peringatkan adanya longsor susulan

Kepala BMKG Prof Dwikorita Karnawati (kerudung putih) di Posko Terpadu Tsunami Selat Sunda, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Selasa (1/1/2019).KOMPAS.com/ACEP NAZMUDIN Kepala BMKG Prof Dwikorita Karnawati (kerudung putih) di Posko Terpadu Tsunami Selat Sunda, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Selasa (1/1/2019).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menemukan retakan baru di badan Gunung Anak Krakatau.

Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, retakan tersebut muncul setelah gunung mengalami penyusutan dari sebelumnya 338 meter di atas permukaan laut (mdpl) menjadi hanya 110 mdpl.

"Pantauan terbaru kami lewat udara, gunung sudah landai, asap mengepul dari bawah air laut. Tapi di badan gunung yang tersisa di permukaan, ada celah yang mengepul terus mengeluarkan asap, celah itu pastinya dalam, bukan celah biasa," kata Dwikorita, di Posko Terpadu Tsunami Selat Sunda, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Selasa (1/1/2019).

Menurut Dwikorita, pihaknya khawatir lantaran kondisi bawah laut Gunung Anak Krakatau saat terdapat jurang di sisi barat hingga selatan.

"Yang kami khawatirkan di bawah laut curam, di atas landai. Jika retakan tersambung, lalu ada getaran, ini bisa terdorong, dan bisa roboh (longsor)," ujar dia.

Baca Juga: Gunung Anak Krakatau Berstatus Siaga, Pelayaran di Selat Sunda Diminta Waspada

4. BMKG: Waspadai zona 500 meter di sekitar pantai

Material vulkanik dari Gunung Anak Krakatau hanyut hingga Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Kamis (27/12/2018).Dokumentasi/Sudin LH Kepulauan Seribu Material vulkanik dari Gunung Anak Krakatau hanyut hingga Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Kamis (27/12/2018).

Terkait longsor susulan yang terjadi di Gunung Anak Krakatau, Diwkorita tetap mengingatkan warga untuk waspada saat berada di zona 500 meter di sekitar pantai.

"Jika ada potensi tsunami, tentu harapannya tidak seperti yang kemarin, namun kami meminta masyarakat untuk waspada saat berada di zona 500 meter di sekitar pantai," kata dia.

Seperti diketahui, volume longsor susulan tersebut lebih kecil dari longsoran yang menyebabkan tsunami pada 22 Desember 2018 lalu yang sekitar 90 juta kubik volume longsoran.

Namun, untuk mengantisipasinya, BMKG memasang alat berupa sensor pemantau gelombang dan iklim.

Sensor tersebut dipasang di Pulau Sebesi yang jaraknya cukup dekat dengan Gunung Anak Krakatau.

Alat tersebut akan bekerja memantau pergerakan gelombang dan cuaca yang disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau. Jika ada gelombang yang mengalami fluktuasi tinggi, sensor akan mengirim sinyal ke pusat data yang terhubung.

"Secara paralel akan mengabarkan BMKG Jakarta, BPBD, dan polda, akan diketahui lebih cepat jika ada gelombang tinggi seperti tsunami, jadi ada peringatan dini lebih cepat untuk masyarakat," pungkas dia.

Baca Juga: BMKG Temukan Retakan Baru di Gunung Anak Krakatau, Masyarakat Diminta Waspada Tsunami Susulan

5. Debu vulkanik mengarah ke Pulau Jawa

Wilayah Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda, LampungGoogle Maps Wilayah Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda, Lampung

Debu vulkanik hasil erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda disebut tengah mengarah ke Pulau Jawa akibat terdorong angin.

Kepala Bagian Humas BMKG Akhmad Taufan Maulana menyatakan, hal tersebut diketahui dari citra satelit cuaca himawari per Kamis (3/1/2019) pukul 15.00 WIB.

"Anak Gunung Krakatau itu sebaran debu vulkaniknya mengarah ke timur laut, ke Pulau Jawa, dengan ketinggian 7-9 meter," kata Taufan, Kamis (3/1/2019)

Namun, Taufan belum bisa menyebut jarak jangkauan maksimal dari sebaran debu vulkanik tersebut.

"Saya belum bisa memastikan, saya harus tanya dulu ini kalau yang sampai ke Jakarta. Tetapi, yang pasti ke arah timur laut," ujar dia.

Sebaran debu vulkanik, kata Taufan, diprediksi tidak akan begitu mempengaruhi aktivitas warga. Namun, warga tetap diminta berhati-hati.

Baca Juga: BMKG: Debu Vulkanik Gunung Anak Krakatau Mengarah ke Pulau Jawa

Sumber: KOMPAS.com (Ardito Ramadhan, Acep Nazmudin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com