BANDUNG, KOMPAS.com - Gelombang tinggi tsunami terjadi di wilayah pantai di sekitar kawasan Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018) malam.
Puluhan orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, ada dua peristiwa yang kemungkinan menjadi pemicu gelombang tsunami di sekitar Selat Sunda yakni aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang tinggi akibat faktor cuaca di perairan Selat Sunda.
Sementara itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan masih mendalami apakah ada kaitannya tsunami dengan aktivitas letusan Gunung Anak Krakatau.
Baca juga: Tsunami di Anyer Terjadi karena Cuaca dan Erupsi Gunung Anak Krakatau
Kabid Mitigasi Gunung Api PVMBG Wawan Irawan mengatakan, pendalaman ini dilakukan karena pada Sabtu (22/12/2018) letusan Gunung Anak Krakatau sama seperti hari-hari sebelumnya.
Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300-1.500 meter di atas puncak kawah.
Adapun, secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm).
"Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami. Pertanyaannya, apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan? Hal ini masih didalami karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami," kata Wawan, di Kantor PVMBG, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/12/2018).
Baca juga: Ahli BPPT: Ada Indikasi Gelombang Pasang Dipicu Erupsi Anak Krakatau
Wawan menyebutkan, salah satu faktor yang berpotensi menjadi pemicu tsunami adalah getaran tremor.
Berdasarkan rekaman, getaran tremor tertinggi selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018. Akan tetapi, hal tersebut tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut maupun tsunami.
"Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu," ujar Wawan.
Baca juga: Gunung Anak Krakatau Meletus 31 Kali dalam Sehari, Disertai Asap Hitam
Ia menyebutkan, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu, perlu ada runtuhan yang cukup masif (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.
"Dan untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar. Ini tidak terdeteksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami," kata dia.
Kawasan rawan bencana
Berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) potensi erupsi Gunung Anak Krakatau menunjukkan hampir seluruh bagian gunung yang berdiameter kurang lebih 2 kilometer itu merupakan kawasan rawan bencana.
Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 kilometer dari pusat erupsi.
"Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin," kata Wawan.
Baca juga: Anak Krakatau Aktif tetapi PVMBG dan Mbah Rono Malah Ungkap Kabar Baik
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada).
Masyarakat dilarang mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer dari kawah.
"Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat," ujar Wawan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.