Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi: Mengkritik Itu Tidak Mesti Menghilangkan Adab

Kompas.com - 30/11/2018, 08:45 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin untuk Daerah Jawa Barat, Dedi Mulyadi menilai, kritik terhadap pemerintah adalah sebuah hal yang wajar. Namun kritik tersebut tidak mesti menghilangkan adab.

"Mengkritik itu tidak mesti harus menghilangkan adab (kesopanan). Mengkritik itu wajar. Tapi kehilangan nalar dan adab dalam sebuah kritik adalah preseden yang buruk bagi demokrasi Indonesia yang berlandaskan UU 1945 dan Pancasila," jelas Dedi kepada Kompas.com, Jumat (30/11/2018).

Pernyataan Dedi itu menanggapi kasus dugaan penghinaan Presiden RI Joko Widodo oleh Bahar Bin Smith dalam sebuah ceramahnya yang viral di media sosial. Kasus tersebut dilaporkan oleh Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid Polda Metro Jaya pada Rabu (28/11/2018).

Baca juga: Dianggap Hina Presiden Jokowi, Bahar bin Smith Dilaporkan ke Polisi

Menurut Dedi, dalam budaya opisisi, sebuah kritik terhadap pemerintahan, dalam bentuk ucapan baik di mimbar atau ruang-ruang demokrasi lainnya adalah hal wajar di negeri ini. Sebab, hal itu merupakan konsekuensi dari sebuah demokrasi.

"Tetapi mengkritik yang di dalamnya mengeksepresikan sebuah kebencian dan kemudian menghinakan martabat seseorang, tentunya hal ini tidak sesuai dengan nalar kebudayaan bangsa Indonesia," tandas Dedi.

Dedi menjelaskan, kritik tentang kebijakan atau sesuatu yang dianggap bertentangan dengan kepatutan dan kepentingan publik disertai dengan argumentasi dan data memadai, itu adalah sah dan dilindungi hukum.

"Tapi menyerang orang secara personal itu bukan kritik, itu ekspresi kebencian yang luar biasa dalam mimbar-mimbar," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.

Dia menjelaskan, kritik dengan panggilan niat dan tugas ilahiah serta kemanusiaan akan melahirkan adab (kesopanan) dalam kritik.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Hentikan Bicara tentang Masa Lalu...

Dalam kaidah-kaidah keindonesiaan, kata Dedi, kritik itu memiliki tiga tingkatan bahasa. Yakni sindiran, siloka, atau narasi riwayat sejarah. Kritik seperti itu dianggapnya indah.

"Indoensia itu masyarakatnya terkenal dengan etika dan tata bahasa, tetapi kalau di hatinya sudah tertanam kebencian, maka yang keluar itu ucapan-ucapan yang bersifat serangan, bahkan sampai bersifat pribadi," tandas Dedi.

"Bisa jadi walau orang itu sudah berbuat baik tetap akan dicari kesalahannya. Kalau dia suka, walau orang itu berbuat salah, akan dibela," kata Dedi.

Menurut Dedi, kritik yang objektif itu didasarkan oleh hati yang tidak penuh kebencian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com