Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Warga Pelosok Berjalan Kaki 5 Km demi Sejeriken Air Keruh

Kompas.com - 08/10/2018, 13:22 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Khairina

Tim Redaksi


GROBOGAN, KOMPAS.com — Selama ini kemarau menjadi persoalan yang penting bagi masyarakat di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Terutama, bagi wilayah yang tidak terakses pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) maupun program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).

Pamsimas dinilai belum efektif untuk membantu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat wilayah pelosok di Grobogan. Salah satu penyebab kegagalan itu yakni sumber air tanah.

Hal itu merujuk pada riset geologi yang menyebut wilayah Kabupaten Grobogan adalah kawasan yang minim pasokan air tanah.

Salah satu kawasan desa terpencil yang kenyang akan mimpi buruk dampak dari kemarau adalah Desa Suwatu dan Desa Nglinduk.

Kedua desa ini berlokasi paling ujung pelosok masuk wilayah Kecamatan Gabus dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Akses infrastruktur kurang memadai karena harus membelah kawasan hutan melalui jalur alami.

Kemarau panjang yang melanda warga sejak Juni lalu atau hampir lima bulan ini mengakibatkan sumber air alami andalan mengering.

Debit air sungai setempat menciut tak bersisa, pun demikian sumur tadah hujan kepunyaan masing-masing warga juga telah gersang.

Baca juga: 530 Ribu Liter Air Bersih Disalurkan Untuk 15 Desa Kekeringan

Kemarau panjang menjadi puncak krisis air bersih bagi warga Desa Suwatu dan Desa Nglinduk, Kecamatan Gabus, Grobogan.

Sejauh ini, dropping air dari pemerintah dirasa masih kurang untuk mencukupi kebutuhan air masyarakat.

Warga pun terpaksa berburu air hingga menempuh jarak sekitar 5 kilometer. Ada yang berjalan kaki dan ada yang mengendarai motor.

Mereka menggali tanah di dasar sungai setempat yang telah mengering. Tanah dilubangi selayaknya sumur dengan kedalaman dan diameter yang bervariasi. Warga biasa menyebutnya "belik".

Liang-liang ciptaan itu perlahan digenangi air. Air yang keruh itu kemudian diciduk menggunakan gayung atau ditimba dengan ember untuk kemudian diisikan ke dalam jeriken.

Untuk memenuhi satu jeriken ukuran 40 liter, dibutuhkan waktu paling cepat 10 menit.

Jeriken yang telah dipenuhi air digendong menuju rumah dengan cara berjalan kaki. Jeriken juga diangkut menggunakan motor.

Tak ada pilihan lain meski jarak dari rumah menuju belik sangat jauh dengan melintasi perbukitan dan kawasan hutan.

"Sudah lima bulan ini warga desa Suwatu dan desa Nglinduk mengantre untuk mendapatkan air dari belik-belik yang diciptakan di dasar sungai. Jarak dari rumah menuju belik sekitar 5 kilometer. Droping air tak mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Untuk kebutuhan MCK, air dari belik kami masak karena airnya keruh," kata Rudi Prasetyo (33), warga Desa Nglinduk, Sabtu (6/10/2018).

Warga Desa Nglinduk lainnya, Winarsih (53), mengaku mengesampingkan kesehatan fisiknya asalkan bisa mendapatkan air untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Nenek sebatang kara itu harus bolak-balik dari rumah menuju belik lebih dari lima kali dalam sehari untuk mengambil air. Air dari belik ia tampung ke dalam jeriken.

Jeriken ukuran 40 liter yang telah dipenuhi air kemudian digendong menuju rumah dengan berjalan kaki sejauh 5 kilometer.

"Sehari bolak balik tujuh kali untuk ambil air di belik. Padahal, tubuh ini sudah tak begitu kuat mengangkut beban. Mau gimana lagi, hujan tak kunjung datang," kata petani ini.

Perangkat Desa Suwatu, Suwanto, menyampaikan, Desa Suwatu dan Desa Nglinduk adalah potret salah satu desa di Kabupaten Grobogan yang mengalami krisis air terparah setiap tahunnya.

Harapannnya, pemerintah bisa mencarikan solusi terbaik untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat.

"Setiap kemarau, ribuan warga Desa Suwatu dan Nglinduk selalu mengalami krisis air. Tolong pemerintah mencarikan solusi untuk mengatasi persoalan klasik ini. Kasihan warga," kata Suwanto.

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim) Grobogan, M Chanif mengatakan, di Kabupaten Grobogan tercatat ada 273 desa dari 19 kecamatan.

Adapun program Pamsimas yang berlangsung sejak 2008 sudah berjalan di 150-an desa di Grobogan.

Melalui Pamsimas, sudah terealisasi sumur, tandon, jaringan, dan sambungan (satu paket instalasi pamsimas) di setiap desa. Satu paket Pamsimas dianggarkan Rp 300 juta.

"Namun, karena minimnya sumber air tanah, masih banyak desa yang tak terjangkau Pamsimas. Bahkan, saat ini 20 persen mangkrak karena sumber air tanahnya habis," kata Chanif.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Grobogan, 82 desa yang ada di 12 kecamatan Kabupaten Grobogan mengalami krisis air bersih akibat kemarau.

Tercatat, permintaan dropping air bersih dari puluhan desa itu sudah berlangsung sejak awal Juni. 

Kompas TV Menjelang perhelatan Borobudur Marathon, Kompas Gramedia bekerja sama dengan KG Pelarian, menggelar road to Borobudur Marathon 2018.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com