Terdapat beberapa tempat yang sampai sekarang masih dipercaya masyarakat dalam menyambut pergantian tahun tersebut.
Keraton Kasunan Surakarta, Keraton Kasultanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Praja Pakualaman masih menjalankan tradisi yang penuh makna itu.
Selain itu, juga ada laut dan gunung yang menjaga tradisi itu sebagai kearifan lokal daerah itu.
Pada tempat itu berlangsung upacara tradisi yang bersifat spektakuler. Kirab pusaka milik keraton dan juga disertai dengan kerbau bule berjuluk Kiai Slamet di Kasunanan Surakarta menjadi sebuah momen sakral.
Masyarakat luar Jawa mungkin tak memahami makna, betapa sakralnya yang berlangsung pada pukul 24.00 WIB sampai menjelang subuh senantiasa mendapatkan perhatian dari masyarakat Jawa.
Mereka memercayai kirab merupakan simbol penyebaran berkah keselamatan bagi seluruh orang yang datang menghadiri prosesi itu.
Selain itu, bagi pihak keraton prosesi ini merupakan sebagai penjajakan, sejauh mana kharisma pusaka-pusaka tersebut bagi masyarakat.
Dilansir dari Harian Kompas pada 15 Juli 1991, kirab pusaka termasuk Kiai Slamet, mulai meninggalkan Kori Kamandungan Keraton kemudian menyusuri Sitihinggil, dan menembus Alun-alun Utara, mengelilingi Kota Solo.
Selain keunikan bahwa kirab dipimpin kerbau, telethong (tinja) binatang bule kelangenan (keistimewaan) Keraton Solo itu juga didambakan masyarakat.
Kepercayaan terhadap kotoran Kiai Slamet menyiratkan makna akan tradisi agraria Kerajaan Mataram. Kerbau sebagai penarik bajak, kotoran kerbau untuk pupuk.
Sementara, pusaka-pusaka yang dikirabkan, antara lain berupa peralatan pertanian, itu menunjukkan bahwa yang menurunkan para Raja Mataram.
Sampai sekarang, tradisi ini masih berlangsung dan dilestarikan. Satu Suro yang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa menjadi bukti kuatnya sebuah ikatan, pengaruh, penginggalan serta legitimasi dari nenek moyang.