Salin Artikel

Di Balik Makna Peringatan 1 Suro bagi Masyarakat Jawa...

Namun, pada dasarnya keduanya berbeda, baik antara kalender Islam dengan kalender Jawa yang digunakan sejak zaman Mataram Islam.

Perpaduan kalender Hijriah dengan kalender Jawa dimulai saat Sultan Agung berkuasa. Sultan Agung memadukan sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan adanya sedikit pengaruh penanggalan Julian dari Barat.

Sultan Agung yang ketika itu menanamkan Islam, mengeluarkan sebuah dekret yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis putaran matahari dengan kalender Qamariah yang berbasis putaran bulan. Hasilnya, setiap angka tahun Jawa diteruskan dan berkesinambungan dengan tahun Saka.

Sampai pada saat ini, sistem penanggalan Jawa masih digunakan oleh banyak kalangan. Baik itu untuk menentukan acara, pernikahan maupun menentukan hari baik untuk kepentingan tertentu.

Ketika memasuki Tahun Baru, masyarakat Jawa masih menyakralkan pergantian tahun itu dengan melakukan berbagai kegiatan.

Harian Kompas edisi 20 Juli 1990 menjelaskan, masyarakat Jawa (tradisional) lebih memandang pergantian kalender Jawa memiliki arti yang lebih daripada pergantian tahun baru lain seperti Masehi maupun Cina.

Masyarakat Jawa tradisional lebih memaknai perayaan pergantian tahun yang dikenal dengan 1 Suro dengan penghayatan, prihatin, religius dan penuh meditasi.

Untuk menyambut pergantian tahun ini, mereka (masayarakat Jawa tradisional) mempersiapkan dan bahkan memerlukan waktu untuk itu. Baik secara perseorangan/kelompok mengungkapkan ekspresi religiusnya dengan cara masing-masing,

Puasa mutih, mandi di tengah malam, bermeditasi, berziarah ke makam atau ke gunung, berjalan kaki sepanjang malam, bahkan mengelilingi tembok keraton merupakan hal yang biasa dilakukan.

Keraton Kasunan Surakarta, Keraton Kasultanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Praja Pakualaman masih menjalankan tradisi yang penuh makna itu.

Selain itu, juga ada laut dan gunung yang menjaga tradisi itu sebagai kearifan lokal daerah itu.

Pada tempat itu berlangsung upacara tradisi yang bersifat spektakuler. Kirab pusaka milik keraton dan juga disertai dengan kerbau bule berjuluk Kiai Slamet di Kasunanan Surakarta menjadi sebuah momen sakral.

Masyarakat luar Jawa mungkin tak memahami makna, betapa sakralnya yang berlangsung pada pukul 24.00 WIB sampai menjelang subuh senantiasa mendapatkan perhatian dari masyarakat Jawa.

Mereka memercayai kirab merupakan simbol penyebaran berkah keselamatan bagi seluruh orang yang datang menghadiri prosesi itu.

Selain itu, bagi pihak keraton prosesi ini merupakan sebagai penjajakan, sejauh mana kharisma pusaka-pusaka tersebut bagi masyarakat.

Dilansir dari Harian Kompas pada 15 Juli 1991, kirab pusaka termasuk Kiai Slamet, mulai meninggalkan Kori Kamandungan Keraton kemudian menyusuri Sitihinggil, dan menembus Alun-alun Utara, mengelilingi Kota Solo.

Selain keunikan bahwa kirab dipimpin kerbau, telethong (tinja) binatang bule kelangenan (keistimewaan) Keraton Solo itu juga didambakan masyarakat.

Kepercayaan terhadap kotoran Kiai Slamet menyiratkan makna akan tradisi agraria Kerajaan Mataram. Kerbau sebagai penarik bajak, kotoran kerbau untuk pupuk.

Sementara, pusaka-pusaka yang dikirabkan, antara lain berupa peralatan pertanian, itu menunjukkan bahwa yang menurunkan para Raja Mataram.

Sampai sekarang, tradisi ini masih berlangsung dan dilestarikan. Satu Suro yang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa menjadi bukti kuatnya sebuah ikatan, pengaruh, penginggalan serta legitimasi dari nenek moyang.

https://regional.kompas.com/read/2018/09/10/19445431/di-balik-makna-peringatan-1-suro-bagi-masyarakat-jawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke