GORONTALO, KOMPAS.com – Para pengusaha kecil sulaman karawo tidak lagi memiliki usaha sendiri akibat tidak mampu bersaing dengan pemilik modal.
Mereka sekarang beralih menjadi pekerja lepas yang dikontrak oleh toko atau pengusaha besar sulaman khas Gorontalo ini.
“Sekarang kami hanya mengerjakan pekerjaan yang diberikan orang,” kata Hadijah Uno (50), warga Desa Duanga, Kecamatan Dungaliyo, Kabupaten Gorontalo, Rabu (29/8/2018).
Di desa Duanga, sejumlah kaum wanita menekuni sulaman karawo sebagai kegiatan sehari-hari seusai mereka mengerjakan aktifitas rumah tangga.
Upah yang diterima sangat kecil, untuk pekerjaan mengiris benang dan menyulam kain antara Rp30 ribu – Rp75.000.
Baca juga: Kisah di Balik Prestasi 5 Atlet Indonesia, dari Menjadi Buruh Cuci hingga Tukang Lipat Parasut
Mereka dulunya adalah perajin sekaligus pedagang baju karawo. Produk mereka pernah berjaya di era 1980-1990-an, setelah itu pelan-pelan meredup hingga mereka tidak mampu lagi berdagang sulaman karawo.
“Tidak ada toko yang mau membeli sulaman kami dengan macam-macam alasan, mereka memilih membeli kain dan alat sulam lalu meminta kami yang mengerjakannya,” jelas Hadijah Uno.
Hal serupa juga dibenarkan oleh Warni Panto (53), tetangga Hadijah Uno.
Keterampilan menyulam karawo yang dimiliki mereka diperoleh dari warisan orang tua mereka. Mereka biasanya diajarkan mengiris serat kain dan menyulamnya setelah membentuk pola seperti strimin saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Kami dulu menjual kain karawo sampai di Manado dan Makassar,“ ungkap Hadijah Uno.
Baca juga: Cerita Nanda, Atlet Difabel yang Kaget Saat Diminta Bawa Obor Asian Games
Salah satu alasan meredupnya usaha masyarakat ini adalah pola dan warna sulam yang tidak bisa mengikuti selera pasar. Toko atau pedagang yang biasanya mengambil sulaman mereka tidak mau lagi menerima pola dan warna yang monoton.
Di Gorontalo, terdapat ribuan perajin sulam karawo yang statusnya hanya pekerja. Mereka mengiris dan menyulam berdasar orderan toko atau pengusaha besar.