Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PDI-P Minta Masyarakat Gunakan Akal Sehat dalam Pilpres

Kompas.com - 13/08/2018, 16:14 WIB
Putra Prima Perdana,
Reni Susanti

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) meminta masyarakat berpikir rasional dalam memilih pemimpin dalam Pilpres 2019.

Sekretaris DPD PDI Perjuangan Provinsi Jawa Barat Abdy Yuhana, masyarakat harus melihat pemimpin melalui visi, misi, dan gagasan kepemimpinan yang diusung kandidat.

Abdy mengatakan, Pilpres 2019 harus menjadi sarana untuk memberi pendidikan politik kepada masyarakat.

Sebab, maraknya politik identitas membuat demokrasi di Indonesia tidak menggunakan akal sehat, karena masih ada isu SARA dalam setiap kontestasi politik, terutama jelang Pilpres 2019.

Baca juga: Setelah Terlempar ke Luar, Jumaidi Cari Air Minum di Balik Reruntuhan Pesawat

"Demokrasi di Indonesia saat ini tidak menggunakan politik akal sehat. Ini terlihat dari terus munculnya isu-isu SARA dan ujaran kebencian yang digunakan untuk menarik simpati pemilih,” kata Abdy di Bandung, Senin (13/8/2018).

Dengan politik akal sehat, sambung Abdy, masyarakat bisa menilai para kandidat calon presiden beserta timnya serta apa yang diunggulkan dalam visi, misi, dan program kepemimpinan yang akan diusung.

Tentunya, para calon presiden beserta timnya sebaik mungkin meyakinkan pemilih dalam memberi solusi untuk mengatasi persoalan di masyarakat.

"Kita surplus tokoh-tokoh yang memiliki daya sentrifugal, daya pemecah. Sementara defisit orang-orang yang memiliki kenegarawanan," imbuhnya.

"Dengan politik akal sehat, yang akan mendapat benefit itu rakyat. Capres dan cawapres akan mengedepankan visi, ide, dan gagasan," tambahnya.

Baca juga: Dalam Seminggu, LRT Palembang Mogok 3 Kali, Apa Penyebabnya?

Abdy menjelaskan, terdapat tiga alasan yang harus diperhatikan pemilih agar bisa menjalankan politik akal sehat.

Pertama, dalam memutuskan pilihan harus berdasarkan sosok, yakni yang memiliki rekam jejak yang bagus dan memiliki sikap kenegarawanan.

“Kedua, calon presiden atau calon wakil presiden harus memiliki visi, misi, dan gagasan yang baik untuk mengantisipasi setiap tantangan dan persoalan yang akan dihadapi negara. Lalu pilih calon yang bisa menyehatkan demokrasi," bebernya.

Abdy pun menyayangkan masih adanya tagar #2019gantipresiden meski kini sudah jelas kandidat yang akan menjadi peserta Pemilu Presiden 2019.

Abdy menilai, terus digaungkannya tagar #2019 ganti presiden ini merupakan ujaran kebencian, sehingga tidak bisa disebut kampanye.

Merujuk kepada undang-undang dan aturan pemilu, kampanye adalah penyampaian visi, misi, dan gagasan kepemimpinan yang disampaikan kepada masyarakat baik oleh calon maupun tim kampanye.

Baca juga: Muhammadiyah Minta Pemilu 2019 Tidak Memicu Perpecahan

"Kalau yang muncul ganti presiden, maka tema yang akan diusung caci maki. Tapi kalau kampanye, akan menyebutkan nama calon dan program yang diusung," katanya.

Abdy menambahkan, ada konsekuensi negatif dalam penyebaran #2019gantipresiden.

“Konsekuensinya, pertama, ini tidak memberi aspek edukasi ke masyarakat. Kedua, tidak memunculkan visi misi," katanya.

Karena itu, dia meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera bersikap untuk lebih menjelaskan kepada masyarakat tentang arti kampanye yang sesungguhnya.

"KPU harus meluruskan apa itu yang dimaksud dengan kampanye. Jangan mengaku kampanye, tapi malah menyebar kebencian, mencaci maki," pungkasnya.

Kompas TV Mereka tidak terima dengan sistem penjaringan bakal calon anggota legislatif yang dilakukan oleh partai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com