Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suka Duka Tenaga Kesehatan di Pedalaman: Mengabdi di Tengah Rimba, Menahan Rindu Bertemu Keluarga

Kompas.com - 21/06/2018, 16:44 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Suka duka mewarnai perjalanan yang dilalui tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman, termasuk Tim Nusantara Sehat Distrik Ninati, Boven Digoel, Papua.

Mereka bersuka karena bisa berbagi manfaat dengan warga di pedalaman. Di sisi lain, rindu bertemu keluarga juga harus dipendam.

Dua tenaga kesehatan yang tergabung dalam Tim Nusantara Sehat di Distrik Papua, dr. Amalia Usmaianti (dokter umum) dan Wahid Sabaan (apoteker) menceritakan pengalamannya kepada Kompas.com.

Distrik tempat mereka bertugas berbatasan langsung dengan Papua Niugini di sebelah timur dengan segala macam keterbatasannya.

Jalan tak beraspal, sinyal, aliran listrik dan air, pasar, dan sebagainya. Ninati terletak di antara lebatnya hutan Papua.

Baca juga: Foto-fotonya Bertugas di Pedalaman Papua Viral, Ini Kisah Dokter Amalia

Di sana, tim yang terdiri dari 7 tenaga kesehatan ini harus melayani masyarakat dari 5 kampung di Distrik Ninati yang masing-masing harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Beberapa Anggota Tim Nusantara Sehat Distrik Ninati memasak dengan menggunakan kayu bakar.Dok. Wahid Sabaan Beberapa Anggota Tim Nusantara Sehat Distrik Ninati memasak dengan menggunakan kayu bakar.
“Kendaraan banyak, tapi di ujung aspal pada dititipkan. Terus motor kami di puskesmas juga ada, tapi gak bisa dibawa keluar. ‘Setengah mati,’ kata teman yang bawa. Jadi pilih jalan kaki karena jalan jelek banget,” kata Amalia.

Jalanan yang berupa tanah liat sulit dilewati bila hujan tiba, sebuah truk yang mengangkut bahan bakar dari kabupaten bahkan sempat terguling di jalanan itu.

“Salah satu mobil yang membawa bahan bakar minyak dari kabupaten terguling ditengah jalan, sehingga seluruh muatan ikut tertunpah di badan jalan,” kata Wahid.

Pengalaman di pedalaman

Banyak hal yang dirasakan para tenaga kesehatan di pedalaman.

“Setahun ini, ikan kalengan, mie instan, dan beras Bulog makanan utamanya. Sedih kalau masyarakat enggak ke hutan, enggak ada yang anterin (barter) sayur dan ikan,” kata Amalia, saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (21/6/2018).

Untuk mengatasi hal tersebut, Amalia dan teman-temannya menanam kangkung di sekitar tempat tinggalnya.

Baca juga: Kisah Tenaga Kesehatan di Pedalaman, Imunisasi Bayi di Tengah Hutan

Namun, tidak bisa dipanen setiap hari.

“Masak pake kayu bakar, mata sampai merah-merah. Kalau dapet kayu bakar enggak kering, saya masak dari jam 6 sampai jam 9 pagi, niupin api terus sampai suara serak,” kisah Amalia.

Ia mengatakan, keterbatasan sinyal komunikasi menyebabkan tak terlalu mengikuti perkembangan terbaru terkait dunia kedokteran.

Sementara itu, Wahid mengungkapkan, mengabdi di pedalaman membuatnya harus menahan rindu bertemu orangtua dan sanak saudara.

“Jauh dari orangtua. Dua tahun saya tidak pernah bertemu kedua orangtua saya, karena selepas S2 di Jogja langsung ditugaskan di pedalaman,” kata Wahid, yang berasal dari Sulawesi Tenggara.

Para tenaga kesehatan ini mulai bertugas sejak Mei 2017. Cuti tahunan baru didapatkan setelah setahun pengabdian.

Lebaran tahun ini menjadi kali pertama mereka mendapatkan libur dan kembali ke kampung halaman.

Suka

Kesulitan yang mereka rasakan sebanding dengan kebahagiaan yang mereka dapatkan.

Menurut Amalia, pengabdian ini menjadi kesempatan bagi dirinya untuk menjadi orang baik.

“Saya sadar bukan orang baik, jadi menurut saya, cuma dengan bantu orang sakit saya bisa jadi baik. Saya senang bisa rawat pasien dan ikuti perjalanannya sampai sembuh, saya bersyukur Allah jadikan saya dokter,” kata Amalia.

Keluarga baru yang ia temui di pedalaman juga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Amalia.

“Rasa kekeluargaan (tinggi). (Masyarakat) Sayang semua dengan kami tim medis dan pendatang lainnya. Mereka baik-baik banget,” ungkap Amalia.

Baca juga: Dokter Amalia dan Kisahnya Tentang Distrik Ninati, Boven Digoel, Papua

Kebahagiaan juga turut dirasakan oleh Wahid selama mengabdi di Papua.

“Bisa memberikan pelayanan langsung ke masyarakat, bisa langsung mengaplikasikan ilmu, rasanya semua ilmu yang didapatkan semasa kuliah bisa langsung diaplikasikan,” kata Wahid.

Pengabdian yang mereka lakukan di pedalaman Papua akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2019.

Setiap bulannya, para tenaga kesehatan ini mendapatkan imbalan berupa gaji, tunjangan, dan beasiswa pendidikan dari Kementerian Kesehatan.

“Untuk (pemda) Papua sendiri kasih saya insentif Rp 3,2 juta. Beda lagi dari kementerian, kementerian kasih Rp 10,5 juta tiap bulan. Ada lagi uang jalan kami ke desa sekitar Rp 1-2 juta-an per bulan. Jadi (total) Rp 13-14 juta-an,” kata Amalia.

Sementara, sebagai apoteker, Wahid mendapatkan gaji sebesar Rp 9,6 juta per bulan.

“Kalau gaji apoteker RP 9,6 juta per bulan dipotong pajak jadi Rp 9,2 juta,” ujar Wahid.

Selain itu, ada dana dari pemerintah daerah sebesar Rp 1,150.000 per bulan.

Sementara, biaya perjalanan yang ada selama masa libur tahunan, sepenuhnya menjadi beban masing-masing.

“Kalau cuti begini biaya tanggung sendiri, lumayan menguras dompet juga hehehe,” kata Amalia, yang pulang ke kampung halamannya di Medan, Sumatera Utara.

BPS.GO.ID Perkembangan Indeks Harga Konsumen

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com