Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM

Staf senior Komnas HAM yang saat ini bertugas sebagai Plt Kepala Bagian Penyuluhan dan Kasubag Teknologi Informasi Komnas HAM. Pada 2006-2015, bertugas sebagai pemantau/penyelidik Komnas HAM. Hobi menulis, membaca, dan camping.

Gunung Merapi di Era Media Sosial

Kompas.com - 01/06/2018, 11:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Padahal, waktu itu, otoritas pemerintah setempat sudah menggerakkan warga agar segera mengungsi. Kejadian 2010 harus dijadikan pelajaran agar tidak kembali terulang. Di era modern, ketika ilmu pengetahuan sudah lebih baik dalam memprediksi dan mempelajari perilaku Merapi, instruksi pemerintah dalam konteks mitigasi bencana tak boleh diabaikan. 


Hubungan manusia dan Merapi

Dalam kosmologi Jawa, Gunung Merapi dipandang sebagai mikrokosmos dan manusia adalah makrokosmos. Gunung Merapi hanya terdiri atas unsur api, yang tidak bisa dipisahkan dengan unsur air (Pantai Selatan), dan unsur udara (Keraton Yogyakarta), dikenal sebagai poros Merapi-Keraton-Laut Selatan.

Unsur air, api, dan udara ada pada diri manusia, sehingga dalam hal ini manusia lebih sempurna daripada Gunung Merapi. Namun, dalam hal hubungan antara masyarakat setempat dan Gunung Merapi, terlihat dari pola kehidupan masyarakat bahwa manusia "tunduk" pada Gunung Merapi.

Hal ini terlihat pada sikap dan tindakan masyarakat yang tidak merumput di wilayah yang angker, tidak memindahkan batu atau material sembarangan, tidak berburu binatang tertentu, pantang untuk membakar hutan, pantang untuk berbicara sembarangan di Merapi, maupun tidak membangun rumah menghadap ke Merapi.

 

Walaupun terkesan sebagai mitos, namun pola tersebut memiliki manfaat dalam mitigasi bencana secara natural. Misalnya, tidak merumput di wilayah angker karena biasanya daerah tersebut rawan terhadap bencana Merapi maupun sebagai wilayah lindung yang memang khusus untuk tanaman keras atau konservasi.

Kebiasaan tidak berburu binatang karena binatang bisa dipakai sebagai tanda-tanda akan aktivitas Gunung Merapi. Rumah tidak menghadap Merapi supaya ketika Merapi meletus penghuni bisa langsung evakuasi secara cepat ke arah selatan, misalnya untuk masyarakat di wilayah Sleman. Akan tetapi, mitos-mitos itu saat ini mulai luntur.

Kultur maupun kearifan tradisional masyarakat, ditopang oleh kesadaran untuk "mendengarkan" dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan modern, adalah sebuah aset yang berharga karena terbukti mampu untuk memitigasi bencana gunung api.

Berkat kearifan tradisional, maka lingkungan alam Merapi tetap lestari dan terhindar dari perusakan serta overeksploitasi sumber daya alam oleh sebagian pihak. Berangsur-angsur, pemerintah memandangnya secara positif dan menganggap kultur dan kearifan tersebut sebagai kekuatan bagi upaya-upaya penyelamatan dini dan pengurangan risiko bencana.


Menghormati siklus Merapi

Siklus letusan Merapi harus disadari dan diterima dengan legawa oleh masyarakat sebagai bagian evolusi alam Gunung Merapi yang dinamis. Manfaat keberadaan Merapi sudah dirasakan masyarakat, baik yang hidup dari sektor kehutanan, pertanian, peternakan, pertambangan, wisata dan sebagainya.

Baca juga: Sebaran Abu Merapi Selimuti Tiga Kecamatan di Wilayah Magelang

Seorang penyiar melakukan siaran di studio radio Merapi Merbabu Community (MMC), Samiran, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (9/5). Radio komunitas Merapi Merbabu yang dibangun pada tahun 2000 dengan swadaya masyarakat setempat itu bertujuan untuk memberikan informasi tentang kebencanaan yang terjadi di wilayah gunung Merapi dan Merbabu agar dapat mengurangi resiko bencana. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc/18.ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho Seorang penyiar melakukan siaran di studio radio Merapi Merbabu Community (MMC), Samiran, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (9/5). Radio komunitas Merapi Merbabu yang dibangun pada tahun 2000 dengan swadaya masyarakat setempat itu bertujuan untuk memberikan informasi tentang kebencanaan yang terjadi di wilayah gunung Merapi dan Merbabu agar dapat mengurangi resiko bencana. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc/18.
Maka, yang harus dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah dan masyarakat, adalah mengakomodasi dan menghormati siklus dan aktivitas Merapi yang sedang “mempunyai hajat” agar bisa melaksanakan aktivitasnya secara lancar tanpa menimbulkan korban.

Jangan sampai terjadi sikap permisif yang menganggap bahwa siklus erupsi Merapi sebagai fenomena yang biasa sehingga mengabaikan kewaspadaan dini.

Hal tersebut harus dibarengi dengan upaya komunikasi dan membangun kesepahaman tentang makna dari aktivitas Merapi yang dimengerti semua pihak, khususnya masyarakat dan pemerintah, agar aktivitas vulkanis Merapi tidak berubah menjadi bencana.

Manajemen kebencanaan harus dipandang sebagai sebuah proses yang berkelanjutan, bahkan dalam keadaan aman sekalipun. Letusan Merapi adalah fenomena alam di luar kehendak dan kemampuan manusia, sehingga harus disikapi dengan wajar, namun penuh kewaspadaan.

Literasi dan edukasi kepada masyarakat pun harus terus ditingkatkan dengan memakai berbagai cara, di antaranya media sosial dan jejaring radio komunitas.

Dalam menyikapi kondisi Merapi saat ini, mari kita berpegang pada filosofi Jawa: sak begja-begjane wong lali, isih begja wong kang eling lan waspada (seberuntung-beruntungnya masyarakat yang lupa, lebih beruntung masyarakat yang ingat dan waspada). (Mimin Dwi Hartono, Staf Senior Komnas HAM, warga asli lereng Gunung Merapi) 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com