Dia mulai bertugas di PGM Selo Boyolali 7 tahun lalu. Kemudian ia pindah ke PGM Jrakah selama 5 tahun, PGM Babadan, PGM Ngepos, PGM Kaliuarang, dan kembali lagi ke PGM Babadan.
Triyono juga pernah bertugas di kantor induk di BPPTKG Yogyakarta.
Selama puluhan tahun bertugas, dirinya merasakan pengalaman paling dahsyat ketika erupsi tahun 2010.
Ketika itu, ia masih bertugas di PGM Kaliurang Yogyakarta. Ia menjadi saksi bagaimana gunung api bergejolak dari skala kecil sampai meletus besar.
"Paling berkesan tahun 2010, proses (erupsi) paling lama sampai berbulan-bulan, dari skala kecil ke besar," katanya.
"Rasa takut itu pasti ada sebagai manusia normal, tapi kembali ke tanggung jawab. Saya tidak boleh meninggalkan pos sampai ada instruksi langsung dari kantor induk," kisahnya.
Lupa Kangen Keluarga
Bapak asal Dusun Ngrandu, Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman itu berujar, menjadi pengamat Gunung Merapi memiliki konsekuensi.
Dirinya harus meninggalkan keluarga dalam jangka waktu tertentu. Bahkan jika gunung ini sedang mengalami peningkatan aktivitas maka dirinya tidak mungkin pulang.
"Memang sudah konsekuensi harus sanggup. Kalau kondisi darurat, saya tidak mungkin pulang," ucapnya.
"Kadang saya sampai lupa rasanya kangen dengan keluarga. Beruntung keluarga saya memahami pekerjaan saya," ungkap suami dari Sudarmiyati (64) itu.
Triyono menyebut, pekerjaannya itu adalah pekerjaan paling antik, meskipun berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pasalnya di Indonesia, tidak banyak yang berprofesi seperti dirinya. Terlebih dengan konsekuensi yang harus dilakoni sepanjang karirnya.
"Pengamat gunung itu PNS paling antik. Di Indonesia hanya sedikit, bisa dihitung dengan jari, ngga kayak guru, PNS Pemda," katanya.
"Tapi saya menikmatinya, bisa mengenal alam, pokoknya ada kepuasan tersendiri. Dibanding bekerja di kantor saya lebih pilih di pos," tutupnya terkekeh.