Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rukmin Otaya, Mantan Guru yang Tak Mengenal Kata Pensiun

Kompas.com - 20/04/2018, 19:27 WIB
Rosyid A Azhar ,
Farid Assifa

Tim Redaksi

GORONTALO, KOMPAS.com – Lagu Melati di Tapal Batas karya Ismail Marzuki mengalun merdu dari dalam rumah adat Limboto, Bantayo Poboide.

Suara merdu menggema seakan menggiring ingatan masa romantisme kaum muda Indonesia menggelorakan revolusi kemerdekaan.

Lagu ini berasal dari sekumpulan perempuan lanjut usia yang dipimpin Rukmin Otaya (75), seorang pensiunan guru yang masih aktif mengelola rumah panggung yang memiliki 32 tiang penyangga ini.

Bagi masyarakat Limboto dan sekitarnya yang pernah dididik atau mengenal kesehariannya, nama Rukmin Otaya adalah guru yang serba bisa pada masanya hingga kini.

Sementara bagi kaum lelaki seangkatannya, nenek renta ini adalah penyanyi pujaan hati yang bisa memainkan segala alat musik, dan pandai menari. Alat musik barat pun ia kuasai meskipun masa itu dianggap tabu untuk dimainkan kaum wanita.

Bahkan pada tahun 1964, Rukmin Otaya adalah pemain band Putri Jaya yang memegang string bass.

“Saya sering dimarahi orang tua kalau bermain musik, namun saya mencari-cari waktu untuk latihan. Pulangnya pasti mendapat marah,” kata Rukmin mengenang masa lalunya, Jumat (20/4/2018).

Baca juga : Sudah 30 Tahun Perempuan Ini Mengurus Tetangganya yang Cacat

George Otaya, Kepala Pembangunan Masyarakat Desa Gorontalo dan W Panane, seorang ibu rumah tangga adalah orang tua Rukmin Otaya.

Sebagai perempuan yang hidup di tengah masyarakat yang kental dengan nilai-nilai adat dan agama, tidak mudah bagi Rukmin untuk bisa bermain musik, apalagi keluar untuk pentas pada acara tertentu.

“Akhirnya orang tua saya menyerah setelah tahu kesenian adalah dunia saya,” kenang Rukmin Otaya.

Tak hanya alat musik barat, alat musik tradisional pun seperti rabana, polopalo, kolokolo, suling, gambusi, marwas dan lainnya jauh hari sudah ia kuasai.

Saat melatih tari atau menyanyi, perempuan ini bahkan mengiringi langsung dengan alat musik tradisi.

Kemahirannya tidak serta merta datang begitu saja. Ia berlatih keras sejak masa muda, bahkan mampu mengindari hambatan budaya pada waktu itu. Tekad untuk maju menggenapi niatnya dalam dunia seni tradisi.

Kekerasan pendirian Rukmin Otaya ini bukan hal baru bagi Saleh Pansing, staf Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Gorontalo.

Ia mengalami sendiri bagaimana perempuan ini melatih anak-anak dan remaja menari. Rukmin akan marah besar jika ada yang datang terlambat atau tidak bersungguh-sungguh dalam latihan.

“Kalau ingin hasil yang bagus latihannya harus disiplin dan bersungguh-sungguh. Jangan mudah putus asa dan jangan cepat puas,” kata Saleh Pansing menirukan perkataan Rukmin Otaya.

Pelatih darah dingin

Setelah lama menjadi guru, pemerintah Kabupaten Gorontalo kemudian menariknya sebagai penilik kebudayaan.

Di kantor, ia tidak bisa tinggal diam. Ia melatih dan menggiatkan sanggar seni yang bisa dijangkaunya. Memberi semangat kaum muda untuk terus menyintai warisan leluhur masyarakat Limboto.

Di sanggar seni Mbui Bungale Limboto, Rukmin Otaya dikenal sebagai pelatih tari yang keras. Meski tidak lagi muda, semangatnya mencetak kaum muda menjadi penari tradisi sangat kuat.

Menari itu sehat, membuat badan kita kuat dan lentur. Selain itu juga merawat tradisi dan nilai agar tidak tergerus budaya pop yang serba instan. Makanya, jangan setengah-setengah kalau latihan. Kita masih punya tanggung jawab untuk mewariskannya kepada anak cucu,” ujar Rukmin Otaya.

Semangat mendidik kaum muda diawali sejak ia menjadi guru tahun 1960 di Sekolah Rakyat Bongomeme.  Kondisi daerah pada saat ini masih sangat minim fasilitas, tak menyurutkan Rukmin mengemban tugasnya di sekolah.

Selama 26 tahun, Rukmin menjadi guru dilanjutkan menjadi penilik kebudayaan di Kecamatan Suwawa dan Limboto. Pada tahun 2004 Rukmin pensiun dari kedinasan.

Kelola rumah adat

Setelah pensiun dari pekerjaannya, nenek ini diminta untuk mengelola rumah adat Limboto Bantayo Poboide bersama (alm) Farha Daulima, seorang budayawan  perempuan yang mewarisi kekayaan ingatan masa lalu.

Dari rumah adat ini juga terlahir banyak buku kebudayaan, mulai yang terkait tata upacara adat hingga cerita rakyat (folklor).

Sepeninggal Farha Daulima, pengelolaan rumah adat ini praktis berpindah ke tangan wanita ini. Tidak mudah baginya, apalagi sejak pengelolaannya yang dulu dilakukan oleh badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada bupati kemudian dibubarkan oleh bupati berikutnya.

Pasca-pembubaran badan otonom ini, pengelolaan rumah panggung diserahkan ke dinas pariwisata. Dengan segala keterbatasannya, tak jarang Rukmin Otaya harus merogoh sakunya untuk mencukupi kekurangan biaya.

“Karena kami menyintai budaya Limboto, kalau mengandalkan pemerintah kan prosesnya lama, sementara butuhnya sekarang,” ujar Rukmin Otaya penuh kasih.

Baca juga : Pesan untuk Perempuan: Jangan Buru-buru Nikah dan Berani Aktualisasikan Diri

Jauh sebelum orang Eropa datang ke Nusantara, tempat berdirinya rumah adat ini dipercayai  sebagai lokasi istana Kerajaan Limboto, tempat Ratu Bungale yang terkenal cantik mengendalikan pemerintahannya.

 “Kami  bahu-membahu mengembangkan kebudayaan daerah, mendidik anak-anak menari dan bermain musik serta melayani para baate (pemangku adat) yang melakukan sidang  adat,” jelas Rukmin Otaya yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA).

Di tengah rutinitas, Rukmin Otaya yang mulai merasa fisiknya tidak selincah dulu harus merawat Sam Liputo, suaminya yang sakit parah di rumahnya, Desa Bolihuangga, Kecamatan Limboto. Ia hidup bersama keponakannya yang sudah dianggap anaknya sendiri.

Ia bersyukur dalam hidupnya pernah menciptakan mars dan himne lansia yang sudah dinyanyikan oleh ribuan orang. Tidak terhitung lagu lain yang juga merupakan hasil ciptaannya.

Hari-hari panjang masih harus dilalui dengan semangat yang tak pernah luruh. Ia terus merawat tradisi dan nilai meskipun penglihatan dan pendengarannya pelan-pelan mulai berkurang.

Menjelang tengah hari, sayup-sayup lagu Melati di Tapal Batas yang dinyanyikan kaum perempuan lansia masih terdengar di Bantayo Poboide.

Engkau gadis muda jelita bagai sekuntum melati
Engkau sumbangkan jiwa raga di tapal batas Bekasi
Engkau dinamakan Srikandi pendekar putri sejati
Engkau turut jejak pemuda turut mengawal negara

Oh, pendekar putri yang cantik, dengarlah panggilan Ibu
Sawah ladang rindu menanti akan sumbangan baktimu
Duhai, putri muda remaja, suntingan kampung halaman
Kembali ke pangkuan Bunda, berbakti kita di ladang

Kompas TV Hal ini dilakukan untuk melestarikan budaya seni Rampak Bambu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com