Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suami Istri Lansia "Ngontel" Setiap Hari dari Hutan ke Kota Antar Anaknya yang "Down Syndrome" ke Sekolah

Kompas.com - 28/03/2018, 11:01 WIB
Dani Julius Zebua,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Piye tho anak kulo niku nek kulo boten (bagaimana anak saya itu kalau saya tidak) semangat. Piye nek ora disekolahke (bagaimana kalau tidak disekolahkan) Ben suk (biar besok) kami mati nanti, dia masih bisa mandiri,” kata Kamilah.

 Pekerjaan sederhana

Wakil Kepala SLBN1, Legima mengatakan, sebagian besar siswa sekolah di SLB ini adalah anak dengan kecacatan tunagrahita (down syndrome), seperti Wahyu. Kecacatan seperti ini terbagi atas ringan, sedang, dan berat, yang masing-masing berbeda cara penanganan. Wahyu tergolong sedang.

Rata-rata mereka memiliki IQ di bawah 70, itulah mengapa mereka sulit menerima perintah dan pengarahan. Mereka memang menghadapi kesulitan untuk berkembang di masa depan. Namun, sekolah merupakan tempat yang tepat untuk memberi peluang bagi mereka mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Legima mengatakan, anak-anak dengan kecacatan seperti ini mesti belajar melakukan pekerjaan sederhana. Sebab, untuk bisa memiliki sebuah kecakapan saja penderita memerlukan waktu bertahun-tahun. Mengajar pun jadi harus ekstra sabar.

“Balajarnya menitik beratkan pada bina diri yang membuat anak bisa menolong dan merawat diri. Anak bisa mandiri mengerjakan keterampilan sederhana yang tidak perlu pemikiran rumit,” kata Legima.

Di sekolah, mereka belajar aktivitas sehari-hari seperti bagaimana memakai baju, mengenakan sepatu, bagaimana menghadapi kebakaran, menghadapi banjir dan kolam, bagaimana memegang sendok sendiri, bagaimana menyeterika, hingga bagaimana berada di depan umum.

"Untuk perempuan bagaimana menangani mens, memakai pembalut, membersihkan, mencuci, itu juga bagian dari mata pelajaran," katanya.

Setiap anak memiliki kemampuan masing-masing. Pengajarannya pun tidak mengikuti kurikulum pada umumnya.

"Kita menekankan kemampuan betul-betul untuk tiap anak. Sehingga kalau lulus SMA nanti punya skill," katanya.

Tidak ada yang tidak mungkin bagi penderita tunagrahita untuk memiliki masa depan dengan kecakapan sederhana itu.

"Misal seperti bikin batako. Bukan meramu obat. Misal, (bukan) menyemprot lahan sekian hektar dengan batas tertentu, tapi kalau mencangkul bisa," kata Legima.

Dengan latihan di sekolah, maka anak memiliki peluang tidak seutuhnya bergantung pada orang tua di hari depan. Apalagi, dengan kondisi orang tua seperti Hernowo dan Kamilah.

Bagi Legima, Hernowo dan Kamilah telah menunjukkan semangat yang mengagumkan. Meski dalam kesulitan hidup, mereka tetap mau menyekolahkan Wahyu dengan serius.

Sedikit orang yang seperti mereka. Ada saja yang minim perhatian orangtua, bahkan dititipkan dalam asrama. Berbeda dengan Hernowo dan Kamilah, pasutri penjual kayu bakar ini. Mereka mencontohkan pengharapan bahwa keluarga marjinal yang melahirkan generasi marjinal, tidak boleh menyerah menjadi marjinal suatu hari di masa depan.

***

Catatan Redaksi:

Merespons permintaan pembaca yang ingin berdonasi, Kompas.com bersama Kitabisa.com bermaksud melakukan penggalangan dana yang ditujukan bagi keluarga tersebut.

Dana yang terkumpul sepenuhnya akan disalurkan kepada keluarga  Hernowo dan  Kamilah. Selain untuk membantu meringankan beban pasangan lansia tersebut, dana juga digunakan untuk mendukung sekolah Wahyu, anak semata wayang mereka.

Pembaca yang ingin berdonasi bisa langsung mengunjungi laman kampanye penggalangan dana Kompas.com atau klik di sini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com