Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kegigihan Damanhuri Bebaskan Dusunnya dari Krisis Air

Kompas.com - 22/03/2018, 14:06 WIB
Markus Yuwono,
Reni Susanti

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Dusun Ketangi, Desa Banyusuco, Kecamatan Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta, awalnya merupakan salah satu dusun yang mengalami kekurangan air.

Namun di tangan dingin Damanhuri dan dua rekannya, dusun tersebut tak lagi mengalami krisis air bersih saat musim kemarau tiba.

Kini, warga tak lagi jalan kaki hingga 1,5 kilometer ke sungai untuk mendapatkan air bersih. Karena di rumah mereka sudah terpasang instalasi pengelolaan air hasil swadaya masyarakat. Walaupun sebelumnya, warga pernah memandang konsep Damanhuri sebelah mata. 

"Dulu saat musim kemarau, setiap hari warga menggendong jerigen, pagi dan sore. kalau punya uang ya membeli air dari tangki swasta atau membeli air jerigenan," kata Damanhuri saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Kamis (22/3/2018).

(Baca juga : Protes Swastanisasi Air, Ibu-ibu Mandi di Depan Kantor Anies-Sandi )

Padahal desa mereka memiliki sumber air yang dikelola Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) pada tahun 2005. Namun sumber air itu dibiarkan tak terurus dan hanya dinikmati segelintir warga yang tinggal di sekitar bak penampungan.

Persoalan air pun menjadi permasalahan pelik yang tak pernah kunjung usai. Akhirnya Damanhuri memberanikan diri meminta kepada desa untuk mengelola air bersih. Permintaan itu pun diperbolehkan.

Pertengahan 2006 atau setelah gempa, ia bersama dua rekannya memberanikan diri mengelola air. Namun upaya ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Kendala modal menjadi hal utama. Dari perhitungannya, dana awal yang dibutuhkan mencapai puluhan juta. Ia pun memutar otak untuk mendapatkan modal itu.

Akhirnya, tiga buah BPKB (Bukti Pemilikan Sepeda Motor) ia gadaikan untuk membeli paralon dan pompa di toko material.

"Kami terpaksa menggadaikan tiga unit motor sebagai modal. Waktu itu, kami mendapatkan uang Rp 7,5 juta, sisa kekurangannya boleh dibayar diangsur," tuturnya.

(Baca juga : Krisis Air, 600 Hektar Tanaman Padi di Aceh Utara Terancam Mati)

Setiap hari dirinya membuat instalasi. Saat itu tidak ada warga yang membantu karena menganggap hal itu sesuatu yang mustahil.

Namun Damanhuri dan dua rekannya tak mempedulikan anggapan warga. Walau tanpa dukungan warga, mereka tetap nekat memasang instalasi ke bak reservoar yang sudah dibangun sebelumnya. Sumber air yang diambil dari sumber Ngringin, dipinggir Sungai Oya.

"Bagi saya untuk meyakinkan masyarakat yang terpenting air sudah sampai sekitar pemukiman, urusan nanti warga mau menggunakan atau tidak," ucapnya.

Setelah terpasang, dirinya mengumpulkan warga sekitar untuk pemasangan instalasi ke rumah warga. Dari sekitar 70-an kepala keluarga, hanya 13 orang yang mau memasang.

 

Warga Dusun Ketangi, Desa Banyusoco, Playen, Gunung Kidul memanfaatkan air bersih.KOMPAS.com/Markus Yuwono Warga Dusun Ketangi, Desa Banyusoco, Playen, Gunung Kidul memanfaatkan air bersih.
Pertemuan itu menghasilkan beberapa keputusan. Salah satunya, warga harus membayar Rp 600.000 untuk tiap pemasangan instalasi, yang bisa dicicil 3 kali. Sedangkan biaya per bulannya Rp 5.000. 

Kemudian muncul masalah baru. Warga merasa besaran iuran yang ditetapkan tidak adil. Karena jumlah penggunaan air tiap keluarga berbeda-beda.

"Warga yang mau memasang malah jauh dari reservoar, ya mau bagaimana lagi, tetap kita pasang," ujar pria berusia 49 tahun ini. 

Minimnya pemasangan tetap tak menyurutkan semangat Damanhuri dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok 'Ngudi Ajining Tirto'. Mereka tetap bekerja keras untuk mewujudkan mimpi di dusun mereka terlepas dari krisis air.

Kini hampir seluruh KK di Dusun Ketangi dan Kepek sudah terpasang instalasi air. Untuk membatasi penggunaan air, warga sepakat untuk menaikkan harga perkubik air yang digunakan.

(Baca juga : Perjuangan Peternak Sapi di Tengah Krisis Air Bersih)

Setiap kubik, warga membayar Rp 2.000, dan setelah menggunakan lebih dari 10 kubik, warga harus membayar Rp 3.000 perkubiknya. "Saat ini dari awalnya 13 orang, sudah ada 322 kepala keluarga yang memasang," tuturnya.

Saat ini, tinggalan bak penampungan program PKPS BBM tak lagi difungsikan, karena beralih ke bak yang baru. Hasil kerja keras pria lulusan SMP ini memperoleh piagam Kalpataru tingkat provinsi tahun 2013.

Dengan pengalaman mengelola sumber air mandiri, Damanhuri diminta untuk mendampingi 240 kelompok pengelola air di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Lampung, Lombok, NTB pernah dikunjunginya. Bahkan ia pernah berbagi pengalaman di Universitas Indonesia.

"Saya pernah diajak untuk meneliti sumber air yang akan dikelola pemerintah. Saat itu sudah saya perkirakan besaran sumbernya. Namun karena saya hanya lulusan SMP, mungkin kurang percaya, lalu didatangkan profesor dari Bandung, dan hasilnya tidak begitu banyak perbedaanya," imbuhnya. 

Dituntut Mandiri

Pemanfaatan air di Gunung Kidul, menurut Damanhuri, tidak bisa mengandalkan bantuan dari pemerintah. Sebab, dengan keterbatasan yang ada, masyarakat harus dituntut untuk mandiri.

"Jika mengandalkan PDAM, mau sampai kapan? masyarakat harus bisa mandiri mengelola sumber air di wilayahnya," ucapnya.

Ia mengaku, sumber mata air yang ada di Gunung Kidul cukup melimpah dan belum dikelola dengan baik.

"Ketika saya dimintai tolong oleh warga di Kecamatan Panggang, saya hanya melihat dari mana mengambil air. Lalu saya lihat kondisi wilayah itu, jika memungkinkan bisa diambil sumbernya ya dilakukan pemompaan," tuturnya.

Ketersediaan sumber air ini diakui Bupati Gunung Kidul Badingah. Beberapa waktu lalu, ia mengatakan, potensi air tanah di Kabupaten Gunung Kidul cukup besar.

Adapun sumber air seperti sungai bawah tanah Bribin jika musim penghujan debitnya mencapai 2.000 liter per detik, saat musim kemarau 800 liter perdetik dengan pemanfaatan 80 liter/detik.

Potensi serapan saat musim penghujan 1.800 liter/detik, musim kemarau 750 liter/detik, dan pemanfaatannya 140 liter/detik.

Baron dengan potensi musim penghujan 1000 liter perdetik, debit musim kemarau 400 liter/detik baru dimanfaatkan 115 liter/detik; dan Ngobaran saat musim hujan 300 liter/detik, musim kemarau 120 liter/detik dan pemanfaatannya 80 liter/detik.

Selain itu kendala pemanfaatan air lainnya, kualitas air minum, keberlajutan suplai air bersih ke masyarakat, kondisi geografis pemukiman masyarakat, dan keterbatasan anggaran APBD.

"Master plan sudah disusun melalui rispam 2013, dan telah ditetapkan strategi pengembangan sistem penyedia air minum kabupaten Gunung Kidul," katanya.

Badingah optimistis dengan strategi yang dilakukan mulai sistem perpipaan PDAM, Spamdes, sistem panen air hujan, droping air, dan konservasi sumber air, target 100 persen masyarakat terlayani air bersih di Indonesia tercapai.

Pemerintah Gunung Kidul pun optimis apa yang sudah ditetapkan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) target penyedia akses air minum 100 persen tahun 2019 bisa dilaksanakan.

Sebab, sinergitas antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sudah terjalin sangat baik di Kabupaten Gunung Kidul. "Pemerintah pusat menargetkan, pemerintah daerah melaksanakan dengan bersinergi dengan masyarakat kita optimis bisa tercukupi," katanya.

Ketua DPRD Gunung Kidul Suharno mengatakan, pemerintah didorong untuk membantu warga yang mandiri mengelola sumber air. Selain itu, perlu pembangunan embung baru yang digunakan untuk menampung air dari sumber yang diambil, ataupun menampung air hujan.

"Pemerintah juga harus aktif melihat potensi yang dimiliki masyarakat," pungkasnya.

Kompas TV Pekerjaan ini sudah ia lakoni sejak 20 tahun lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com