Menurut Saptono, aturan itu menjelaskan bahwa sumbangan yang dimaksud adalah harus secara sukarela, jumlah nominalnya pun tidak boleh ditentukan. Sehingga jika tidak sesuai dengan uraian tersebut, maka hal itu patut diduga termasuk sebagai praktik pungutan dan bisa masuk ranah hukum.
"Tidak boleh ditentukan nominalnya, ini yang perlu dicatat, jangan sampai kamu anaknya polisi, bapak kamu anggota DPRD harus sumbang sekian, jika terjadi seperti itu maka itu dinamakan pungutan. Selain itu hasil penggalangan dana itu harus terkumpul dalam rekening bersama antara sekolah dan komite," katanya.
Baca juga : Dugaan Pungli di SMP Negeri di Blora, Ombudsman RI Lakukan Investigasi
Lanjut Saptono, pengadaan komputer untuk UNBK tujuannnya bagus, namun jika prosesnya tidak sesuai secara aturan dan hukum yang ada, maka itu adalah kesalahan dari pihak penyelenggara.
"Jadi semua itu ada aturannya. Pelajari dulu sebelum melangkah," pungkasnya.
Untuk diketahui, Ombudsman Republik Indonesia turun tangan menyikapi dugaan praktik pungutan liar di sejumlah SMP negeri di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Dari kasus yang mencuat, para wali murid dibebani iuran untuk pengadaan komputer sebagai sarana penunjang Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Jumlah sumbangan di masing-masing sekolah bervariasi, mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 400.000 per kepala.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.