Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sukma dan Putrinya, Bertahan Hidup dengan Biji Kakao Sisa Tikus

Kompas.com - 17/01/2018, 08:20 WIB
Junaedi

Penulis

Menurut Haisa, Sukma sudah bertahun-tahun hidup di gubuk itu bersama anaknya. Tepatnya sejak ia bercerai dengan suaminya. Untuk menumpahkan keluh kesahnya, Sukma kerap mengunjungi rumah Haisa yang sudah dianggap saudara. Padahal, jarak rumahnya lebih dari 1 kilometer.  

“Untuk makan kasian, bersama anaknya dia cuma memungut biji kakao sisa tikus yang terbuang di kebun warga," ucapnya.

Sukma sering mengeluh kadang ia tidak makan seharian bersama putrinya, terutama jika seharian menyusuri kebun milik warga, tetapi ia tak menemukan biji kakao sisa tikus yang bisa dijual.

Sukma juga kerap tak mendapatkan biji kakao lantaran lebih dulu dipungut warga lain yang juga mencari peruntungan dengan profesi yang sama dengan Sukma.

Saat situasinya terjepit, Sukma terpaksa mengutang kepada pedagang atau warga desa yang bersedia memberinya pinjaman. Uang tersebut digunakannya untuk membeli beras. 

Hidup di hutan, Sukma dan putrinya Julianti terpaksa memungut biji kakao sisa tikus yang terbuang di kebun milik warga untuk dijual atau ditukar beras agar bisa menyambung hidup.KOMPAS.com/Junaedi Hidup di hutan, Sukma dan putrinya Julianti terpaksa memungut biji kakao sisa tikus yang terbuang di kebun milik warga untuk dijual atau ditukar beras agar bisa menyambung hidup.
Beralaskan tanah

Gubuk yang ditinggali Sukma jauh dari kata layak. Ukurannya hanya 4 meter x 3 meter. Gubuk tersebut hanya beralas tanah yang dilapisi tikar. Salah satu sudutnya dibuat panggung yang ditopang dengan kayu agar tidak lembab sehingga ibu dan anak ini bisa tidur lebih baik.

Tak ada perabotan mewah di dalam gubuk ini. Di gubuk bekas yang dibuang warga ini, hanya ada sejumlah piring dan periuk untuk masak. Pakaian Sukma dan anaknya pun hanya dilipat rapi dan sebagian digantung di dinding gubuknya. 

Untuk memasak, Sukma menggunakan kayu dari tungku atau dapur batu yang disusun membentuk segitiga. Untuk mengirit minyak tanah, Sukma memanfaatkan karet bekas yang dibuang warga untuk memantik api.

Gubuk yang berdiri di atas lahan milik orang lain ini juga tak memiliki jaringan listrik. Lampu pelita minyak tanah yang digunakan malam hari hanya dinyalakan hingga pukul 20.00 Wita. Itu pun hanya digunakan Julianti untuk belajar atau mengaji.

Menjelang tengah malam, lampu segera dimatikan demi mengirit minyak tanah.

Aparat desa pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Sukma untuk melihat kondisi kehidupannya, tetapi Sukma hanya diminta bersabar.

Meski mengantongi Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, Sukma dan anaknya yang kini duduk di bangku SMP mengaku belum pernah mendapatkan dana bantuan sosial, terutama untuk anaknya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com