Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Orang Indonesia Sangat Senang dengan Suasana Damai dan Harmoni"

Kompas.com - 03/08/2017, 22:36 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa tokoh agama hadir dalam acara Term of Reference Interreligious Hospitality In the Occasion the 7th Asian Youth Day yang digelar di Hotel Jayakarta, Jalan Laksda Adisucipto, Kamis (03/08/2017).

Hadir dalam acara dalam rangkaian Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta ini, para uskup se-Asia, ulama, akademisi, dan tokoh masyarakat. Mereka di antaranya mantan ketua PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif, Direktur NU Online Savic Ali, dan akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Suhadi Choil.

Direktur NU Online, Savic Ali mengatakan, mayoritas orang Indonesia pada dasarnya senang hidup berdampingan dengan siapapun. Orang Indonesia punya pandangan yang toleran, damai dan punya prinsip harmoni yang cukup kuat.

"Secara umum orang Indonesia sangat senang dengan suasana damai dan harmoni. Orang Indonesia itu gak suka dengan orang yang ekstrem atau menganggu orang lain," ujar Savic Ali, Kamis (3/8/2017).

Baca juga: "Asian Youth Day" Jadikan Indonesia Contoh Keberagaman

Beberapa tahun ini, terutama sejak reformasi, bermunculan kelompok radikal dan intoleran. Mereka berusaha memaksakan pandanganya kepada kelompok lain. Hal itu menjadi gangguan terhadap keharmonisan kehidupan bersama di Indonesia, terutama dalam konteks misal hubungan antar-agama. Bahkan sudah banyak yang menjadi korban dari kelompok-kelompok berpandangan intoleran.

"Tapi saya masih percaya mayoritas muslim. Hasil dari riset Wahid Foundation, 72 persen masyarakat Indonesia toleran. Bisa hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda agama dan beda nilai," tegasnya.

Nahdlatul Ulama (NU), lanjutnya, dari dulu sudah menyadari bahwa Indonesia itu plural. Ormas NU dari dulu punya berkomitmen selalu menjaga prinsip-prinsip kebangsaan.

Menurut Savic, NU selalu berusaha membangun dialog dan bekerja sama dengan siapapun untuk menguatkan nation-building atau perasaan kebangsaan. Sebab, NU sadar betul bahwa Indonesia yang plural bisa jatuh jika tidak dijaga secara bersama-sama.

Sementara itu, mantan Ketua PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif mengatakan, ada dua alasan Indonesia menjadi negara subur untuk kelompok intoleran dan radikal.

"Pertama belum terwujudnya keadilan sosial ekonomi. Kedua ada ideologi impor, yang saya katakan misguided Arabism, jadi Arabism yang salah arah dan sebagian kecil orang Islam Indonesia menganggap itu seperti Islam," tuturnya.

Buya Syafii melanjutkan, orang Arab yang mengerti bahasa Arab belum tentu mereka paham Islam. Tidak semua juga orang Arab menyetujui kelompok-kelompok radikal.

"Persoalannya dunia Arab ini. Itu menurut saya sedang berada di tingkat nadir peradaban. Orang yang sedang kalah itu enggak pernah stabil, mudah kalap," urainya.

Baca juga: Pesantren Ini Kerap Jadi Tempat Belajar Islam Toleran Pelajar Asing

Buya mengungkapkan, negara-negara Arab sudah kalah terlalu lama dalam perlombaan peradaban dan ilmu serta teknologi. Lalu terjadilah perpecahan sehingga muncul kelompok yang menamakan diri ISIS.

"ISIS itu lebih banyak membunuh orang Islam yang berbeda pandangan dengan mereka. Mereka punya teologi monopoli kebenaran, mereka sendiri tidak mengerti Islam itu, Islam itu kan artinya damai," tandasnya.

Buya meminta masyarakat bersama-sama menjaga kebinekaan serta keutuhan bangsa Indonesia dari kelompok-kelompok paham intoleran dan radikal.

"Pemerintah jangan lambat merespons keadaan-keadaan yang heboh ini. Sebab, kelompok-kelompok radikal dan intoleran itu juga dimanfaatkan oleh partai politik untuk meraih suara, itu menurut saya kebiadaban politik," pungkasnya.

Kompas TV Seperti apa tradisi Lebaran ala keluarga Yenny Wahid?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com