JEMBER, KOMPAS.com - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menilai, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen terhadap gula tebu akan menghambat program swasembada gula yang ditargetkan pemerintah.
Ketua umum dewan pembina DPP APTRI, Arum Sabil, menjelaskan, pengenaan PPN 10 persen sangat memberatkan petani. Sebab, saat ini kondisi petani tebu dalam keadaan krisis.
“Dalam lima tahun terakhir, produktivitas tebu milik petani terus menurun. Rata-rata nasional hanya di bawah 80 ton per hektar, dengan rendemen di bawah 8 persen,” ungkap Arum, Jumat (7/7/2017).
Baca juga: Gula Semut Asal Kulon Progo Diminati hingga Amerika Serikat dan Kanada
Dengan kondisi itu, lanjut Arum, untuk menutupi biaya produksi saja sangat susah. Sedangkan, biaya produksi per kilogram berkisar antara Rp 10.000- Rp 11.500.
“Sementara harga dasar acuan pembelian yang ditetapkan Kemendag pada angka Rp 9.100 per kilogram, sedangkan harga acuan penjualan di konsumen sebesar Rp 12.500 per kilogram. Dengan kondisi itu, tentu petani semakin berat untuk mendapatkan keuntungan,” katanya.
Menurut Arum, satu-satunya cara agar petani mendapatkan keuntungan adalah dengan cara meningkatkan produktivitas tebu. Tetapi, hal itu cukup berat, sebab petani kesulitan mendapatkan akses permodalan dan mendapatkan varietas tebu unggul yang memiliki potensi produktivitas serta rendemen tinggi.
"Nah, sekarang muncul lagi isu pengenaan PPN 10 persen, tentu ini semakin memberatkan petani. Kalau petani tebu terus merugi, yang jelas akan enggan menanam tebu lagi. Kalau sudah tidak tanam tebu, bagaimana mungkin kita bisa swasembada gula, tentu akan sulit. Yang jelas, kebijakan PPN itu akan menghambat swasembada gula,” katanya.
Baca juga: 2017, Pemerintah akan Impor Gula 1 Juta Ton Lebih
Untuk itulah, Arum berharap kepada pemerintah agar tidak memberlakukan pengenaan PPN gula terhadap petani. Sebab, pemerintah telah menetapkan batas harga dasar petani dan harga eceran tertinggi di tingkat konsumen.