Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Subulussalam, Jejak Kesultanan Demak Bintoro di Lereng Gunung Ungaran

Kompas.com - 29/05/2017, 07:04 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

UNGARAN, KOMPAS.com - Masjid Subulussalam, Desa Nyatnyono, kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bukan masjid biasa. Masjid ini merupakan salah satu peninggalan Syekh Hasan Munadi, tokoh penyebar Islam yang hidup pada masa awal berdirinya Kesultanan Demak Bintoro.

Sekilas, masjid ini tidak menunjukkan bangunan peninggalan masa lalu. Bahkan dari luar, masjid yang tengah direnovasi ini terkesan sebagai bangunan modern. Terdiri dari tiga lantai, bangunan masjid berbahan beton ini memiliki sebuah menara di sayap kanannya.

Namun jika melihat ke dalam, di ruang utama tempat shalat akan didapati empat pilar soko (tiang) berbalut ukiran yang masih berdiri tegak. Tampilannya sangat kontras dengan bangunan sekelilingnya.

Empat soko inilah sebagai tetenger bahwa masjid yang mempunyai nama lain Masjid Karomah Syekh Hasan Munadi merupakan masjid tua.

"Soko ini awalnya cuma satu, tapi kemudian dibelah menjadi empat karena khawatir di kultuskan atau disembah. Pembelahan soko ini dilakukan pada zaman awal Belanda masuk ke Jawa," ungkap KH Hasan Asy'ari tokoh masyarakat Desa Nyatnyono yang juga pemangku kompleks Makam Waliyullah Syekh Hasan Munadi, Sabtu (27/5/2017).

Konon, saat soko ini dibelah, terjadi suatu keanehan, yakni muncul pelangi di atas masjid. Fenomena ganjil ini membuat masyarakat saat itu gempar dan memancing kecurigaan Belanda.

Maka utusan Belanda mendatangi Desa Nyatnyono yang terletak di lereng Gunung Ungaran ini. "Kata Belanda, kamu mau melawan saya ya?," ujar Kiai Ari, pangggilan akrab KH Hasan Asy'ari menirukan ucapan utusan Belanda itu kepada orang yang membelah soko.

(Baca juga: Masjid Cilodong, dari Bekas Lokasi Prostitusi Menjadi Syiar Islam)

 

Asal-usul soko ini, sambung dia, berasal dari Demak. Soko ini diambil dari bahan-bahan yang dipersiapkan Walisongo untuk pembangunan Masjid Agung Demak.

Syekh Hasan Munadi yang sudah memutuskan menetap di kaki gunung Ungaran saat itu menyanggupi permintaan Sunan Kalijaga untuk membantu pembangunan Masjid Agung Demak.

 

Namun Hasan Munadi meminta syarat. Salah satu soko yang hendak dibuat untuk Masjid Agung Demak, dikirim ke Ungaran. Sebab saat itu, Hasan Munadi tengah membangun sebuah masjid untuk tempat pembelajaran agama Islam bagi masyarakat di kaki Gunung Ungaran.

Permintaan ini disanggupi Sunan Kalijaga dan langsung dikirim para prajurit Kesultanan Demak Bintoro kala itu. "Jadi masjid ini lebih tua dari Masjid Agung Demak, karena lebih dulu berdiri," tandasnya.

Seiring bertambahnya usia dan umat Islam semakin berkembang, Masjid Subulussalam ini mengalami beberapa kali renovasi. Setidaknya, sejak tahun 1985 hingga sekarang tercatat lima kali renovasi.

(Baca juga: Menikmati Takjil Bubur Lodeh, Tradisi Buka Puasa dari Abad ke-16)

 

Bangunan asli dari kayu tidak bisa dipertahankan, diganti dengan batu bata dan beton. Sedikit yang bisa dipertahankan, salah satunya adalah empat soko ini.

"Sirap (genting dari kayu), beberapa kayu dan dinding jati masih kita simpan di tempat yang aman. Sedangkan mimbar dan tongkat khotbah asli peninggalan Mbah Hasan Munadi akan kita pasang setelah renovasi selesai," ujarnya.

Soko yang asli sekarang ini sudah dibungkus dengan kayu ukiran yang bagian atasnya membentuk empat sudut langit-langit. Namun jika melongok dari lantai tiga masjid, dengan jelas akan terlihat susunan balok-balok kayu berusia sangat tua pada bagian atas soko

Selain empat soko, bagian masjid peninggalan Hasan Munadi yang masih dipertahankan adalah sebuah molo atau kubah masjid.

KOMPAS.com/ Syahrul Munir Tampak dari atas, pilar atau soko guru peninggalan Syekh Hasan Munadi di Masjid Subulussalam, Desa Nyatnyono, Ungaran, Kabupaten Semarang, Sabtu (27/5/2017) siang.

Molo (o, dibaca seperti kata foto) yang pertama kali digunakan adalah molo yang terbuat dari tanah berbentuk seperti kendil berdiameter sedikit lebih besar dari ukuran bola voli.

Molo dari tanah liat ini tidak terihat karena tertutupi molo berikutnya yang terbuat dari tembaga. "Setiap kali ganti molo, maka molo yang baru ini akan diletakkan di atas molo yang lama," imbuhnya.

Ketokohan Syekh Hasan Munadi dengan para wali yang tergabung dalam Walisongo memang tidak bisa diperbandingkan.

Kerajaan Islam Pertama di Jawa

 

Namun dari budaya tutur yang berkembang, khususnya di Kabupaten Semarang dan sekitarnya meyakini bahwa keberadaan Syekh Hasan Munadi mengiringi berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, yakni Kesultanan Demak Bintoro yang diperintah oleh Raden Patah.

Alkisah, dua orang cantrik bernama Jin Bun dan Raden Bambang Kartonadi telah selesai berguru kepada Raden Muhammad Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel di padepokan Ampeldenta, Jawa Timur.

 

Maka diutuslah keduanya untuk menyebarkan agama Islam di tengah pulau Jawa. Jin Bun adalah nama kecil dari Raden Patah dan Raden Bambang Kartonadi adalah nama lain dari Syekh Hasan Munadi.

"Sunan Ampel berpesan kepada Raden Patah, jika engkau menjumpai tempat bernama Glagahwangi (Demak), maka berhentilah dan buatlah pesantren di sana. Maka sesampai di daerah Demak, berhentilah Raden Patah dan membuat pesantren," ucap Kiai Ari.

(Baca juga: Masjid di Pulau Penyengat, Konon Dibangun dengan Bahan Putih Telur)

Sedangkan Bambang Kartonadi tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di lereng Gunung Ungaran. Ia memilih menetap di sebuah tempat yang kemudian ia beri nama Nyatnyono untuk menyebarkan ajaran Islam.

Saat itu masyarakat di wilayah selatan Semarang ini hidup dengan kepercayaan animisme yang kental.

Saat Glagahwangi bertumbuh menjadi sebuah Kesultanan, Hasan Munadi pernah tercatat sebagai salah seorang punggawa berpangkat Tumenggung yang bertugas menjaga kewibawaan kesultanan Demak dari rong-rongan kelompok yang hendak membuat onar.

Namun pada akhirnya, Hasan Munadi lebih memilih menjadi penyiar agama Islam di lereng Gunung Ungaran sampai ia wafat. Dalam menjalani syiar Islam ini ia dibantu anaknya bernama Syekh Hasan Dipuro.

Kini, makam ayah dan putranya ini selalu ramai dikunjungi peziarah, dari Semarang hingga luar provinsi dan luar Jawa. "Paling banyak dari Jawa Timur, disusul Jawa Barat. Tiap minggunya bisa berbis-bis yang datang kemari," ujarnya.

Cerita mengenai Syekh Hasan Munadi dan Masjid Subulussalam ini ia peroleh dari pitutur secara turun temurun dari orangtua KH Hasan Asy'ari yang merupakan keturunan Hasan Munadi.

Sekarang para anak keturunan Hasan Munadi diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi pemangku Masjid Subulussalam dan kompleks makam Syekh Hasan Munadi.

(Baca juga: Masjid Terbesar se-Rest Area di Indonesia Resmi Beroperasi)

 

Selain masjid, peninggalan Syekh Hasan Munadi yang masih diwarisi hingga sekarang adalah sebuah madrasah diniyah atau tempat pembelajaran agama dan sendang kalimah toyyibah.

Sendang atau mata air yang tak pernah kering airnya ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit dan mendatangkan kebaikan bagi yang meminumnya. Setiap menjelang bulan Ramadhan, sendang ini ramai dikunjungi masyarakat yang hendak melakukan tradisi padusan.

"Puncak peziarah di Makam Mbah Hasan Munadi dan Mbah Hasan Dipuro ini adalah pada malam 21 Ramadhan atau selikuran. Puluhan ribu orang datang untuk menghadiri haul (peringatan hari wafat) yang diisi dengan mujahadah, sema'an quran dan pengajian akbar," pungkasnya.

Berkah dari keberadaan kedua tokoh penyebar agama Islam ini secara tidak langsung menggerakkan roda perekonomian bagi warga Desa Nyatnyono.

Wisata religi desa ini mendatangkan banyak peziarah, sehingga para tukang ojek, supir angkutan, warung makan, toko oleh-oleh, penjual souvenir dan tempat penginapan beroleh berkah dari keberadaan makam Syekh Hasan Munadi ini.

"Dari semasa hidupnya sampai wafatnya, seorang wali terbukti memberikan berkah bagi masyarakatnya," tandasnya.

Kompas TV Masjid Tuha Indrapuri Dulunya Merupakan Candi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com