Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Fasilitas Pendidikan untuk Penghuni Lapas Anak di Gunungkidul

Kompas.com - 05/05/2017, 07:00 WIB
Markus Yuwono

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Tembok berwarna putih mengelilingi bangunan dengan luas 10 X 7 meter dengan pintu kecil yang hanya bisa dimasuki satu orang menjadi pembatas antara tahanan dewasa dan anak-anak.

Pintu itu masuk ke salah satu blok Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II B Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, yang menjadi ruang tahanan anak dari seluruh wilayah DIY. 

Tak tak sembarang orang bisa masuk rutan. Setiap orang yang masuk harus melalui proses interograsi dari petugas, melewati lorong pendek dan taman untuk menuju ke sebuah bangunan bertembok tinggi berpintu teralis di sisi kiri. 

Tahanan anak merupakan salah satu blok yang berada di kompleks Rutan Klas II B Wonosari, namun LPKA merupakan blok khusus bagi tahanan anak yang berusia di bawah 18 tahun.

Dari kapasitas 35 tahanan, saat ini terdapat 30 tahanan anak yang tersangkut sejumlah kasus pidana mendekam di dalamnya.

Semenjak kasus 'klitih' atau kekerasan pelajar muncul di Yogyakarta, jumlah tahanan anak meningkat.

(Baca juga: Ini Video Cerita di Balik Perjalanan Mengantar Tas Jokowi untuk Siswa SD Bengkayang)

LPKA tak begitu luas. Bangunannya berderet menyerupai huruf U, di antaranya terdapat enam kamar khusus tahanan yang diisi 30 anak. 

Selain itu, ada ruang menonton televisi, ruang olahraga tenis meja, ruang cuci, ruang kelas untuk belajar, dan sebuah kolam ikan di sisi kiri. Teralis besi hanya ada di pintu masuk dan kamar, untuk ruangan lainnya memang tak ada teralis.

"Yang tengah itu dulunya kolam, namun beberapa waktu lalu ditutup akan dijadikan lapangan voli," kata Kepala Subsesi Pendidikan dan Bimkesmas Anak LPKA Kelas II, Setiyawan Nugroho Endiyanto ditemui di LPKA, Selasa (2/5/2017).

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tak ada perbedaan aktivitas dengan hari biasa di LPKA. Tahanan anak tetap dimulai saat mereka harus bangun pukul 06.00 WIB, lalu olahraga pagi, hingga aktivitas lain yang telah terjadwal dilakukan.

Memang di dalam ruangan tidak ada jam penunjuk waktu. Hal ini untuk menjaga psikologis anak. Jam hanya satu berada di pintu masuk LPKA.

"Mereka mandi jam 08.00 WIB, dan akan mendapatkan pendampingan mental spiritual," ucap Setiyawan.

Pada pukul 07.00 WIB hingga 17.00 WIB, mereka dibebaskan beraktivitas di kawasan LPKA. Sementara itu, waktu sisanya mereka harus terkurung di dalam kamar tahanan yang luasnya kurang lebih 5X5 meter persegi.

Sejumlah anak bebas beraktivitas di kawasan LPKA. Sejumlah anak terlihat asyik menonton televisi, sedangkan beberapa lainnya hanya saling bercengkerama.

Kompas.com/Markus Yuwono Kepala Subsesi Pendidikan dan Bimkesmas Anak LPKA Kelas II, Setiyawan Nugroho Endiyanto, memperlihatkan hasil karya anak-anak LPKA

Sementara itu, dalam waktu bersamaan, di sebuah ruang kelas tempat belajar-mengajar, seorang anak sedang serius menghadapi soal ujian nasional tingkat SMP.

Sebenarnya, hari ini ada empat anak yang harus melaksanakan ujian, namun baru seorang saja yang masuk. Satu orang belum diketahui sehingga akan dilakukan ujian susulan, sedangkan dua orang lainnya homeschooling menunggu koordinasi dari orangtua.

Minim fasilitas pendidikan 

Meski anak binaan di dalam LPKA masih sekolah, sulit menemui buku sekolah di sana. Selama ini, para anak binaan seharusnya belajar hari Senin dan Kamis yang didampingi guru pendamping dari DInas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul.

Namun sejak beberapa waktu lalu, aktivitas sekolah terpaksa tidak dijalankan karena guru sering tidak datang.

"Pengajar belum konsisten. Senin dan Kamis belum maksimal, kadang datang, kadang tidak," katanya.

Padahal, semangat belajar anak-anak ini masih tinggi. Hal itu terlihat dari setiap kali ada guru yang masuk mereka antusias mengikuti. Memang hal itu wajar, di dalam ruangan mereka terbatas beraktivitas sehingga membutuhkan kegiatan lain yang bisa melepaskan kepenatan.

"Sebenarnya antusias mereka untuk belajar itu tinggi, tetapi dengan fasilitas yang minim, kami tidak bisa berbuat banyak," ucapnya.

Memang sudah ada perpustakaan, namun masih menjadi satu dengan rutan dewasa. Untuk mendapatkan fasilitas, pihaknya memberikan keleluasaan bagi orangtua yang ingin memberikan pendidikan dan keterampilan bagi anaknya, mulai dari musik hingga buku pelajaran.

Sementara itu, buku-buku pelajaran hanya sedikit dan tersimpan di lemari. Untuk pendidikan, mereka praktis hanya mendapatkan dari petugas. Oleh karena itu, pihaknya berkoordinasi dengan keluarga. 

"Sudah ada dari keluarga yang menawarkan fasilitas homeschooling, namun kami belum bisa memutuskan akan menerima atau tidak. Sebab, butuh koordinasi dengan atasan," bebernya. 

Kompas.com/Markus Yuwono kamar dalam LPKA anak

Pantau psikologis anak

Selain itu, dalam menjaga mental anak, LPKA terus berkoordinasi dengan keluarga. Sebab, psikologis anak harus terus dikomunikasikan dengan orangtua.

"Misalnya ada anak yang diketahui merokok, perlu komunikasi dengan orangtua. Jadi orangtua mengetahui permasalahan sebenarnya. Kami tak asal menghukum," katanya.

"Kami terus melakukan komunikasi dengan keluarga, bahkan setiap bulan kami merencanakan mengadakan pertemuan. Hal ini untuk menjalin komunikasi dalam menjaga dan mendampingi mereka," tambahnya. 

Selain pendidikan formal, di LPKA anak juga memerlukan pendampingan psikologis. Selama ini, 30 anak yang ada di dalam belum mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai.

"Kemarin kami menawarkan ke UGM jika ada yang ingin melanjutkan ke S-2 bisa melakukan penelitian di sini. Karena memang anggaran belum ada," ucapnya. 

Minimnya anggaran tak membatasi mereka beraktivitas. Para petugas dan orangtua bahu-membahu memberikan keterampilan bagi anak-anak ini.

Setiyawan mengaku sengaja membawa peralatan cukur dari rumah yang bisa digunakan anak-anak belajar mencukur rambut.

Selain itu, peralatan musik seperti gitar, cajon, dan ketipung dibawa oleh keluarga yang bisa digunakan untuk melepas kepenatan. 

Sebagian dari mereka pun sudah membuat cover lagu yang diunggah di media sosial YouTube dengan nama akun "LPKAJogja_ZorroGuys". Ada dua lagu yang diunggah yakni "Lungset Ati" dan "Asal Kau Bahagia'.

Memang dalam penampilan mereka ditutup untuk menjaga privasi mereka.

"Meski minim fasiltas tak boleh menghambat mereka untuk berkreativitas. Sebagai anak-anak, mereka masih memiliki masa depan panjang. Kami akan terus memfasilitasi mereka meski harus merogoh uang sendiri," ujarnya.

Setiyawan berharap, momentum Hari Pendidikan Nasional, pemerintah bisa memberikan penambahan fasilitas pendidikan bagi anak-anak itu.

"Anak-anak ini memiliki hak yang sama dengan anak diluar. Kami berharap pemerintah bisa memberikan fasilitas pendidikan," pungkasnya.

 

 

Kompas TV Pemerintah Upayakan Pembangunan Jembatan Gantung
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com