Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dahulu Harus Pakai Bus Air, Kini Siswa 3 Dusun Bisa Bersepeda ke Sekolah

Kompas.com - 30/04/2017, 07:00 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis

KUTAI KARTANEGARA, KOMPAS.com - Jembatan ini masih belum kering benar setelah pagi diguyur hujan. Dari bahan kayu ulin, jembatan jadi semakin hitam karena basah, licin mengilat dan mesti hati-hati menitinya.

Namun, Aldo Saputra dan teman-temannya tidak peduli. Setelah lonceng waktu pelajaran usai di SDN 14 Desa Tani Baru, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berbunyi, mereka langsung berlari mengambil sepeda, menaikinya, lantas mengayuh lincah menyusur jembatan ini.

“Sudah biasa. Tidak pernah jatuh,” kata Aldo yang mengaku tidak takut licin.

Dia bahkan mengayuh sepedanya sambil membonceng temannya menuju Kampung Makassar.

Konstruksi jembatan ini kayu ulin mulai dari tonggak pondasi, kerangka, hingga lantai. Lebarnya setara rentang dua tangan orang dewasa. Jaraknya tak bisa diukur hanya pakai mata telanjang.

Sejauh mata memandang, jembatan membelah petak-petak tambak hingga hilang di batas cakrawala. Lantai jembatan berada sejauh jangkauan kaki di atas permukaan air tambak yang tidak beriak.

(Baca juga: Demi Mengajar, Tiap Hari 6 Guru Lewati Bukit, Sawah, Kebun dan 3 Kali Seberangi Sungai) 

KOMPAS.com/Dani Julius Banyak siswa menyukai bersepeda di lintasan ini untuk pergi atau pulang sekolah. Jarak antar satu dusun dengan lainnya antara 2 hingga 4 km. Ini salah satu alternatif jalan antar dusin di Delta Mahakam, muara Sungai Mahakam.
Jembatan yang dibangun bertahap dari tahun 2012 hingga 2016 ini tidak bernama.

Semua material pembangunan, mulai dari kayu, mur, baut, dan alat kerjanya, bahkan tenaga ahli pembangunannya disumbang salah satu kontraktor minyak dan gas yang menjalankan operasi tak jauh dari sana. Dengan melibatkan warga setempat, jadilah jembatan itu.

“Pembangunannya bertahap hingga lebih dari 7 kilometer,” kata Suprapti, staf bagian infrastuktur dan air bersih dari Divisi CSR Total E&P Indonesie.

Tiga dusun di dalam Tani Baru terhubung karena jembatan ini, yakni Tani Baru Dalam, Kampung Makassar, dan Muara Ilo sebagai ibukota desa.

Warga memiliki alternatif transportasi selain memanfaatkan kapal untuk aktivitas antar kampung, seperti belanja, jualan, dan jaga tambak, termasuk pergi dan pulang bagi anak sekolah.

Desa ini dihuni 4.000-an warga. Sekitar 200 kepala keluarga menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah milik pemerintah di Tani Baru Dalam jadi sekolah favorit desa.

Pasalnya, jenjangnya lengkap terdiri SD Negeri 14, SMP Negeri 4, dan kelas IPS jarak jauh (filial) dari SMA Negeri 1 Anggana, dalam satu kawasan. Sekolah itu kini menjadi tujuan ratusan siswa sekolah dengan 10 guru mengajar.

“Jembatan jadi penghubung warga yang dulunya hanya menggunakan perahu. Apalagi ini baik untuk anak sekolah, bisa bersepeda ke sekolah,” kata Suprapti.

Jembatan pun kini menjadi alat vital bagi para siswa untuk bisa pergi dan pulang sekolah.

Sementara itu, yang dusunnya tidak terhubung dengan jembatan ini, mereka terpaksa naik bus air. Tanpa jembatan, biasanya warga memanfaatkan perahu bermesin maupun bis air. Atau kalau kondisi terik dan kering bisa melintasi tubir-tubir tambak.

“Kini selain menghubungkan tiga dusun di Tani Baru juga menghubungkan jalan darat ke Desa Muara Pantauan,” kata Suprapti.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com