Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lupis Buatan Mbah Satinem Digemari Soeharto hingga Pemilik Hotel

Kompas.com - 11/04/2017, 07:00 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

Awalnya, Mbah Satinem berkeliling menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki di kawasan Kota Yogyakarta. Ibu tiga anak ini berjalan kaki dari rumahnya di Salakan, Trihanggo, Sleman, karena saat itu belum ada transportasi.

"Berangkat dari rumah itu jam 4 pagi, jalan kaki ke kota. Dagangannya saya gendong. Keliling jualan, pulangnya sampai rumah sore," ungkapnya.

Setelah itu, Mbah Satinem memilih untuk berjualan di depan ruko pertigaan di Jalan Bumijo, Kota Yogyakarta.

Seiring fisiknya yang mulai tua, Mbah Satinem berangkat ke lokasi jualan diantar anaknya dengan mengendarai sepeda. Selama berjualan pun, Mukinem selalu menemani dan membantunya.

"Saya lupa kapan mulai di sini (jualan di depan ruko). Dulu dibonceng sepeda, sekarang dibonceng sepeda motor. Anak saya ini yang menemani jualan," tuturnya.

Dia menuturkan, setiap hari, mulai pukul 00.00 WIB, Mbah Satinem sudah mulai mengolah bahan-bahan untuk berjualan dibantu oleh anak-anaknya. Khusus untuk "juruh" lupis, Mbah Satinem memakai gula jawa dari Wates, Kulonprogo.

Mbah Satinem berangkat dari rumah menuju lokasi berjualan sekitar pukul 05.00 WIB. Jika ada pesanan atau setiap hari Minggu, Mbah Satinem membuat stok jajanan lebih banyak dari hari biasa.

"Hari biasa itu masak sekitar 8 kilo, kalau hari Minggu sekitar 10 kilo. Bisa nambah kalau ada pesanan. Kebanyakan pembeli itu suka lupis," tuturnya.

Meski ramai pelanggan, Mbah Satinem tidak ngotot. Kalau merasa capek, dia akan memutuskan untuk tidak berjualan. Setiap puasa dan Lebaran, Mbah Satinem juga tidak berjualan.

"Ya kalau capek tutup, Mas, atau kalau tidak ada daun pisang yang untuk bungkus mending tutup. Kalau bulan puasa, tutup satu bulan," kata Mbah Satinem.

Dari berjualan lupis hingga tiwul ini, Mbah Satinem bisa menanggung biaya hidup keluarga, termasuk ketiga anaknya, hingga saat ini semuanya sudah berkeluarga.

Mukinem menuturkan, setiap Lebaran, ibunya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan keluarga, cucu dan sanak saudaranya. Dari hasil berjualan, Satinem kerap memberikan uang jajan kepada cucu hingga anak dan cucu tetangganya.

"Kalau lebaran, Simbok (Ibu) itu selalu memberi uang jajan, Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Pernah sampai habis Rp 1 juta," ucapnya.

Digemari Hotel di Yogyakarta hingga Mantan Presiden Suharto.

Kelezatan kudapan tradisional buatan Mbah Satinem ternyata disukai lintas generasi. Dia mengaku bahwa dulu Presiden ke-2 RI, Soeharto, juga kerap memakan lupis, gatot dan tiwul buatannya. Ajudan Soeharto, lanjut dia, yang kerap mampir untuk membelikan.

"Dulu Pak Harto sering beli di sini. Kalau tidak salah setelah naik haji," ujarnya.

"Yang ke sini ajudannya naik mobil. Yang ngomong ajudanya, kalau disuruh Pak Harto. Saya baru tahu. Ya kalau beli, saya lebihi untuk ajudannya," tambahnya.

Hingga saat ini, pelanggannya tak hanya mereka yang mampir di tempat jualannya di emperan toko. Kudapan tradisional buatannya yang masih menggunakan daun pisang ini juga diminati oleh sejumlah hotel di Yogyakarta.

Sejak tujuh tahun lalu, pesanan kudapan tradisionalnya meningkat. Ternyata pemilik hotel menyukai jajanan buatannya. Mereka bahkan masih memesan sampai sekarang.

"Beberapa datang ke sini. Mereka datang pesan lalu besok paginya diambil. Hampir setiap hari kalau satu hotel sampai lebih 20 bungkus," tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com