Artinya, terbatas dan sangat spesifik hanya sesuai materi pokok pemeriksaan, sehingga tidak bisa diterapkan dalam perkara yang lain.
Mengingat putusan tersebut bukan pengujian terhadap norma hukum (PUU) yang putusannya akan mengikat dan berlaku secara nasional.
Meskipun demikian, setidak-tidaknya prasyarat tersebut menjadi petunjuk bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan perbaikan sistem pemilu di tanah Papua, sebelum seluruh wilayah menerapkan standar kepemiluan yang demokratis dan berbasis HAM.
Tantangan demokrasi di Maybrat
Kabupaten Maybrat merupakan satu wilayah di Provinsi Papua Barat yang terletak di kawasan kepala burung. Pada Pilkada kali ini Kabupaten Maybrat ditetapkan sebagai daerah paling rawan (pertama) se-Indonesia.
Dampaknya, penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), Kepolisian, TNI, Kementerian Dalam Negeri, dan Komnas HAM memberikan perhatian khusus. Bahkan, Kapolda Papua Barat berkantor di Kabupaten Maybrat dari sebelum tahapan pemungutan suara.
Beberapa faktor yang menjadikan Kabupaten Maybrat menjadi istimewa dalam era demokrasi ini yaitu:
Problem demografi. Kabupaten Maybrat memperoleh status Daerah Otonomi Baru (DOB) melalui UU Nomor 13 Tahun 2009. Seperti lazimnya wilayah DOB baru, indikasi adanya persoalaan data kependudukan masih sering terjadi.
Hal itu salah satunya dipicu sulitnya pendataan dan imbas transfer Dana Alokasi Umum (DAU) yang salah satunya berbasis jumlah penduduk.
Pendataan pemilih. Data kependudukan merupakan elemen dasar bagi penyusunan DP4, untuk selanjutnya dilakukan verifikasi (pencocokan dan penelitian) untuk DPT. Ketika problem kependudukan bermasalah dan belum mengakomodasi dinamika kependudukan (meninggal, pindah domisili dan memasuki usia 17 tahun/menikah), maka data pemilih (DPT) belum mencerminkan keakuratan pemilik hak konstitusional.
Pengalaman masa lalu. Peristiwa penundaan pilkada 2011 berkali-kali, serta aksi kekerasan, termasuk kepada penyelenggara pemilu menjadi salah satu pertimbangan aparat keamanan menempatkan Kabupaten Maybrat sebagai daerah terawan.
Konsekuensinya penempatan ratusan Kepolisian dan TNI bersenjata lengkap sangat jamak terlihat.
Sistem waris dan diwakilkan. Sebagai dampak tidak ada perubahan data kependudukan dan DPT, secara otomatis dinamika perubahan kependudukan tidak terekam. Akibatnya, praktik pemilihan dengan sistem waris dan diwakilkan ditemukan di lapangan.
Situasi inilah yang menimbulkan ketegangan dalam proses pemilihan dan berdampak pada situasi keamanan.
Polarisasi pemilih. Dengan hanya ada 2 (dua) kontenstan dalam pilkada kali ini, polarisasi pemilih tidak terhindarkan. Situasi ini juga dipicu masih kentalnya kekerabatan di tanah Papua.