Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertahan di Tengah Teror Gempa Susulan

Kompas.com - 10/12/2016, 19:25 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

PIDIE JAYA, KOMPAS.com - Tak mudah hidup di daerah rawan bencana. Pikiran itu langsung tertanam di benak saya saat pertama kali tiba di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Kamis (8/12/2016) malam.

Jarum jam hampir menunjukan pukul 00.00 WIB. Saya dan rombongan jurnalis yang berangkat bersama dari Jakarta akhirnya memasuki Pidie Jaya, titik kerusakan terparah gempa Aceh yang terjadi Rabu (7/12/2016) pagi.

Suasana mencekam menyambut kami. Di kanan dan kiri jalan terdapat posko-posko pengungsian yang dibangun warga secara swadaya. Posko-poskso itu hanya menggunakan lilin sebagai sumber penerangan.

Sebelum tiba di tempat menginap, kami memutuskan untuk menengok kondisi Rumah Sakit Umum Daerah yang dikabarkan rusak berat akibat gempa magnitudo 6,5. Ternyata aliran listrik di rumah sakit terputus sejak Rabu pagi. Selasar penuh sesak dipenuhi pasien rawat inap yang terbaring lemah.

Baca juga: Gempa Susulan Terjadi di Aceh, Warga Pidie Jaya Berlarian

Ekspresi ketakutan dan trauma masih terpancar dari wajah mereka. Lagi-lagi mereka hanya berbekal lilin untuk menerangi ruangan sekitar. Saat beberapa juru foto yang tergabung dalam rombongan kami hendak memotret, mereka menolak.

"Jangan, Bang, untuk apa," tanya mereka penuh curiga.

Rekan-rekan juru foto akhirnya mengurungkan niat untuk mengabadikan momen mencekam di malam itu.

Kami tiba di rumah makan yang dijadikan posko pengungsian dadakan oleh pemiliknya. Itulah tempat menginap kami.

Sebelum tidur saya sempat berbincang dengan pemilik rumah makan, Salbaeni (32). Beni, sapaan akrabnya, menjelaskan ihwal tenda-tenda pengungsian di sepanjang jalan masuk ke Pidie Jaya yang didirikan oleh warga secara swadaya. Padahal saat itu gempa telah berlalu.

"Warga masih takut tidur di dalam rumah meski rumahnya tak rubuh. Makanya mereka berbondong-bondong bangun tenda pengungsian untuk tidur di luar. Itu lebih aman karena tak akan tertimpa bangunan," kata Beni.

"Kadang, mereka sampai trauma sehingga lama kembali ke rumah. Anak-anak biasanya ada yang takut untuk kembali bersekolah karena khawatir kalau di ruangan tertimpa bangunan," lanjut Beni.

Teror gempa

Apa yang diceritakan Beni bukan isapan jempol. Gempa susulan langsung meneror saat jarum jam menunjukan pukul 01.00 WIB, Jumat (8/12/2016) dini hari.

Baca juga: Pidie Jaya Dilanda 10 Kali Gempa Susulan Usai Gempa Magnitudo 6,5

Meski hanya berlangsung beberapa detik, namun gempa itu membuat semua orang panik. Apalagi kami bermalam di lapangan futsal beratapkan baja ringan yang masih tergabung di dalam kompleks rumah makan Beni. Belum sempat melarikan diri ke luar, gempa susulan itu berhenti.

Teror kedua berlangsung esok siangnya di depan Pasar Meureudu yang kini telah menjadi reruntuhan. Suasana makan siang yang santai seketika buyar menjadi kepanikan.

Warga yang berada di rumah makan refleks keluar memenuhi jalan. Gempa susulan ini merubuhkan dua ruko di sana. Selebihnya, gempa susulan kerap terjadi dan lambat laun kami pun terbiasa. Hanya, memang harus tetap waspada, mengingat seketika gempa susulan bisa saja menjadi gempa inti berkekuatan besar yang mampu merubuhkan bangunan.

Teror itu juga mengintai para pengungsi di Pidie Jaya. Nilawati Rajab (42), pengungsi di Kecamatan Ulin, Pidie Jaya, hingga saat ini mengaku tak bisa tidur nyenyak setelah gempa, Rabu (7/12/2016) kemarin.

Ia mengungkapkan, sebelum gempa, tekanan darahnya hanya 100/90. Seusai gempa, karena selalu ketakutan akan gempa susulan dan tak kunjung tidur nyenyak, tekanan darahnya naik menjadi 150/120.

Kemarin malam, Nila pun sempat panik saat gempa susulan berlangsung. Awalnya ia dan anaknya tidur di tenda pengungsian di Ulin. Tenda berada di halaman masjid. Karena hujan, ia bersama pengungsi lainnya pindah ke dalam masjid.

Saat gempa susulan berlangsung kemarin malam sekitar pukul 21.30 WIB, ia dan pengungsi lainnya berhamburan berlari ke halaman.

"Sampai sekarang saya belum bisa tidur nyenyak karena selalu berjaga-jaga kalau nanti ternyata ada gempa susulan yang panjang," tutur Nila dengan raut muka yang lelah.

Kini, Nila tengah merawat anak sulungnya yang trauma akibat gempa.

Nana Marleni (20), sang anak, kini juga harus menjalani rawat inap di luar ruangan agar bisa menyelamatkan diri saat terjadi gempa.

"Anak saya masih pusing, Bang. Masih takut katanya," ujar Nila mewakili putri sulungnya.

Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga turut merasakan teror gempa susulan. Muhammad Khalis, siswa kelas 6 SD yang ditemui di posko pengungsian di Kecamatan Meureudu mengaku masih takut untuk kembali ke rumah dan bersekolah.

"Sekolah nanti saja. Nanti juga ada pengumuman dari guru, Bang," ucap Khalis.

Kompas TV Jurnalis dan Warga Kirim Bantuan Untuk Korban Gempa
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com