Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi di Tanah Intoleran (3)

Kompas.com - 18/11/2016, 16:07 WIB
Reni Susanti

Penulis

 

Perhatikan pengganti Dedi

Pemerhati Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, dalam pemerintahannya, Dedi mengintegrasikan budaya dan agama, dalam pola hubungan antar masyarakat.

“Secara prinsipil (itu) basis dari kebhinekaan. Pancasila mengajarkan toleransi, dan lain-lain. Persoalannya, secara personal Dedi kerap memperlihatkan dirinya mengarah ke Sunda Wiwitan meskipun ia seorang muslim. Sehingga orang melihat Dedi bukan penganut agama yang baik,” tuturnya.

Selama ini, orang-orang di Purwakarta tidak berani melawan Dedi karena dirinya banyak membantu dan ia memiliki power sebagai penguasa. Namun setelah tidak berkuasa, orang-orang yang diam selama ini bisa bergerak melakukan perlawanan.

“(Tugas) Satgas harus merasionalisasikan hal ini. Saat ini, orang takut (pada Dedi). Tapi begitu dia enggak jadi (turun dari bupati/gagal jadi Gubernur), orang berani menolak,” tuturnya.

Seperti di Bekasi. Di bawah pimpinan orang PDIP, Bekasi memiliki patung. Begitu pemimpinnya diganti oleh orang yang lebih agamis, patung langsung dihancurkan.

“Kalau itu terjadi (di Purwakarta), secara prinsip dia enggak berhasil. Orang menunggu waktu. Karenanya, dia harus berpikir pengganti dia harus yang seirama dengan apa yang dia lakukan sekarang,” tuturnya.

KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menghadiri acar seren taun di Kampung Adat Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, pada Sabtu (24/9/2016) malam.
Gayanya ini bisa menjadi role model jika dia mampu merasionalisasikan apa yang menjadi program atau sesuatu yang ditawarkan kepada publik.

Sementara itu, pengamat Komunikasi Politik dari Unpad, Suwandi Sumartias mengatakan, kebijakan surat edaran itupun lebih pada politik. Hanya partai-partai tertentu saja yang mendukung dia. Tapi kelompok partai yang relatif fundamentalis, sebenarnya memisahkan diri.

“Masalahnya, di kalangan ulama sendiri ada beberapa yang pragmatis. Tatkala iming-iming secara ekonomi, bantuan dana untuk pesantren, (menjadi) berbalik. Dan ini bukan sejarah baru. Karena di politik Orde Baru juga demikian. Bagi mereka, politik adalah transaksi,” imbuhnya.

Meski demikian, kebijakan yang dilakukannya tetap bisa menghasilkan suara. Karena tokoh-tokoh yang berbasis budaya maupun agama tentunya mempunyai massa. Walaupun memang di Jawa Barat, ulama menjadi vote getter untuk mendulang suara.

“Cuma apakah jangan-jangan karena ini transaksional, tujuan politik tidak kena. Lagi-lagi, demokrasi Indonesia  itu belum siap,” ungkapnya.

(Baca juga: Toleransi di Tanah Intoleran (2))

Dukungan dari Masyarakat

“Saya setuju toleransi. Itu memang harus digalakan, bagaimana masyarakat tidak menganggap perbedaan sebagai hal yang luar biasa. Dan itu sudah terjadi di Purwakarta, kami orang yang toleran,” tutur Teti Kusmiati (25) warga Campaka, Kabupaten Purwakarta.

Namun ia berharap, toleransi yang digembar-gemborkan tidak mengarah pada pendangkalan akidah seperti yang dikhawatirkan sebagian orang. “Islam ya Islam, Kristen ya Kristen, tetap pada jalannya masing-masing, tapi kami saling menghormati dan hidup berdampingan,” ungkapnya.

Dukungan pun datang dari para tokoh agama. Seksi Hubungan antar Agama (Hag), Gereja Yos Sudarso Purwakarta, Zakarias Kayus mengatakan bahagia dan bangga jadi warga Purwakarta yang menjunjung toleransi.

“Purwakarta kota damai, bermasyarakat, dan indah. Kami tidak tahu apa agama mereka, begitupun mereka. Kehidupan kami sehari-hari indah, tidak terlihat adanya perbedaan,” ujarnya.

Sebagai penganut Katolik, Zakarias mengaku, tidak mengalami diskriminasi. Padahal masyarakat Purwakarta didominasi muslim. Apalagi dalam acara keagamaan, muslim maupun agama lainnya kerap membantu menyukseskan acara Katolik.

Ia teringat saat tabligh akbar beberapa waktu lalu. Ia dan tokoh agama yang lain satu mobil berkeliling Purwakarta. Dan di saat Natal, semua tokoh berbagai agama ikut mengamankan bersama TNI, Polri, dan LSM seluruh agama.

“Semakin betah hidup di Purwakarta. Semuanya enak. Kalau ada masalah, didiskusikan dan mencari win-win solution. Kalau ada pandangan negatif terhadap agama lain, kami memberikan pengertian bukan itu maksudnya,” terangnya.

Salah satu keberhasilan toleransi di Purwakarta adalah ketika kabupaten tersebut mengadakan acara besar yang dihadiri puluhan ribu orang. Setiap acara tersebut tidak pernah ada gesekan. Karena semua pihak merapatkan barisan dan mendukung kesuksesan acara.

“Ulang tahun Purwakarta, Lebaran, Natal, semua pestanya muslim, pestanya Katolik,” imbuhnya.

Acep Munawar, pengurus Pondok Pesantren Al Hikamus Salafiyah mengatakan, sama dengan pesantren NU lainnya, konsep pesantrennya untuk menjaga kemaslahatan ummat, kebhinekaan dan ke-Indonesia-an.

“Coba cek sekarang yang demo, dari pesantren bukan? Jawabannya bukan. Bisa dibedakan mana yang santri dan mana yang bukan,” tuturnya.

NU, sambung Acep, berdakwah dengan cara yang santun. Bahkan para kiai berdakwah dengan penuh toleransi, bukan provokasi. Kalau bernada provokasi, dikhawatirkan Indonesia akan seperti Suriah.

“Kami mengajarkan ngaji, bersosial. Bahkan jangankan orang Islam, kalau kita punya makanan, maka kita wajib memberi kepada tetangga kita yang non muslim. Apalagi jika mereka dalam keadaan kelaparan,” imbuhnya.

Begitupun dengan tokoh agama Hindu, I Made Kandhi. Ia mengungkapkan, dalam keseharian dirinya menebarkan toleransi dan kedamaian. Karena dalam ajarannya pun, Hindu mengajarkan toleransi.

Toleransi ini perlu dijaga karena Indonesia sangat majemuk.

Seperti yang disampaikan founding father Indonesia, Soekarno:

Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

 

TAMAT

 

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Reni Susanti, kontributor Kompas.com di Bandung, sebagai pemenang program Fellowship Liputan Keberagaman 2016 yang diinisiasi oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com