Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marsiyani, Penyulut Mimpi Anak TKI di Tapal Batas

Kompas.com - 18/11/2016, 07:07 WIB
Sukoco

Penulis

Markus mengaku trenyuh saat pemerintah Malaysia memulangkan puluhan ribu TKI yan bermasalah dengan dokumen ke Kabupaten Nunukan tahun 2001 hingga 2004.

Ribuan eks TKI deportasi tersbeut banyak yang akhirnya bekerja di perkebunan sawit milik warga di Desa Sekapal.

Para eks TKI tidak banyak memeiliki pilihan bekerja selain menjadi kuli kasar di perkebunan sawit di Malaysia karena tingkat pendidikan yang rendah.

“Mayoritas sekolah hanya SD atau tidak sekolah. Kita mikir bagaimana dengan nasib anak anak mereka. Dari situ saya bilang ke anak saya, berbaktilah pada negara dengan mengajar mereka,” ujar Markus.

Saat pertama kali mengumpulkan anak anak eks TKI untuk memberikan pelajaran, Markus mengaku hanya memanfaatkan kolong rumahnya sebagai ruang kelas.

Setahun kemudian ada bangunan bekas kantor pengerjaan jalan trans kalimantan Utara yang bisa mereka manfaatkan sebagai ruang kelas meski masih jauh dari layak.

Untuk menunjang pedidikan anak-anak yang orangtuanya eks TKI, Markus akhirnya menghibahkan 1 hetar tanahnya untuk dibangun fasilitas pendidikan.

Setahun terakhir selain belajar di ruang kelas bekas kantor pembangunan jalan trasn Kalimantan, pemerintah akhirnya mendirikan 3 ruang kelas belajar.

Dari 6 kelas yang ada, SD Filial 009 Sekapal saat ini memiliki siswa 48 anak. Meski baru memiliki 3 RKB yang masih minim faslitas, namun semangat belajar siswa di wilayah perbatasan tersebut sangat tinggi.

Selain masih kekurangan tenaga pengajar karena dari 6 kelas SD Filial 009 Sekapal baru memiliki 4 guru.

Sarana buku di sekolah tersebut juga sangat kurang karena hanya guru yang memegang buku paket.

“Di sini masih pakai KTSP, itupun siswa masih nyatat karena buku diktat hanya guru yang punya,” kata Marsiyani.

Meski minim fasilitas, buku tidak ada, jarak dari sekolah harus menempuh beberapa kilometer tak menyurutkan semangat Sahiman, siswa kelas VI SD Filial 009 Sekapal.

Meski usianya sudah 17 tahun, tak menyurutkan niat Suhiman untuk menjadi dokter. Setelah lulus SD tahun depan, Suhiman bertekad bulat untuk meneruskan sekolah di SMP Negeri di Nunukan.

“Ya saya mau jadi dokter. Saya akan sekolah terus sampai saya jadi dokter dan menolong warga sini kalau sakit,” ujarnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com