Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memasak Tinggal Putar Keran, "Melon" Pun Hilang di Kampung Lontong

Kompas.com - 29/10/2016, 18:34 WIB
Achmad Faizal

Penulis

Dari Elpiji ke jargas

Pemerintah perlahan mulai menghilangkan pemakaian elpiji bersubsidi di tengah masyarakat dan menggantinya dengan jaringan gas alam. Mantan Menteri ESDM, Sudirman Said pernah mengkalkulasi, dengan membangun 1,3 juta sambungan Jargas hingga 2019, penghematan subsidi bisa mencapai Rp 936 miliar.

Penghematan itu dihitung dari penghematan satu rumah tangga per tahun yang berpindah dari elpiji 3 kilogram ke gas alam sebesar Rp 180.000 per bulan, dengan asumsi tiap rumah tangga menggunakan tiga tabung elpiji per bulan. 

Selain itu penghematan dari subsidi per rumah tangga Rp 540.000 per per tahun, dengan asumsi subsidi Rp 5.000 per kilogram. Dari sini, total penghematan subsidi per keluarga per tahun mencapai Rp 720.000.

Program Jargas juga diharapkan mampu mengurangi impor elpiji. Menurut anggota komisi VII DPR RI bidang energi, Satya Widya Yudha, setiap tahunnya, impor elpiji memakai dana APBN hingga Rp 10 triliun.

"Salah satu cara mengurangi impor LPG adalah mensukseskan Jargas," kata politisi Partai Golkar ini.

Legislatif, kata dia sudah memberikan dukungannya pada program tersebut dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional.

Dalam dokumen tersebut kata Satya, pemerintah didorong untuk menjadikan prioritas jargas sebagai program utama sebagai instrumen kemandirian energi. 

Untuk mendukung program tersebut, secara nasional, Kementerian ESDM tahun ini membangun 89.000 jargas di enam kota dengan anggaran Rp 1,3 triliun termasuk 24.000 di Surabaya. Kemudian 21.000 jargas di Tarakan, 32.000 di Prabumulih, dan di Batam, Cilegon, dan Balikpapan masing-masing 4.000 Jargas.

Tahun depan, program tersebut seharusnya dilanjutkan dengan memasang 69.200 jargas di sembilan kota. Namun, karena dalam APBN 2017 anggaran program tersebut di pos Kementerian ESDM dipangkas Rp 100 miliar, maka target pemasangan pun dikurangi 15.500 menjadi 53.700 jargas. 

Program tersebut dinilai cukup efektif karena selain murah dan aman, juga dinilai ramah lingkungan.

Sayangnya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengaku tidak dapat berkontribusi secara nyata, karena penyambungan jargas dinilai membutuhkan dana yang tidak sedikit.

"APBD provinsi dan daerah tidak sampai untuk ikut membangun infrastruktur jargas, jadi yang membangun fasilitas selama ini pemerintah pusat," kata Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur, Dewi Putriatni.

Jawa Timur, kata dia, hanya menyediakan potensi gas alam yang melimpah. Setiap harinya, produksi gas bumi dari wilayah eksplorasi Jawa Timur mencapai 500 juta kaki kubik. Potensi itu dieksploitasi oleh 38 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

"Selain untuk industri, gas alam di Jawa Timur dimanfaatkan untuk keperluan pembangkit listrik, industri kecil dan rumah tangga," kata Dewi.

Di atas kertas, Program Jargas menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jawa Timur, Said Utomo, cukup membantu masyarakat, karena lebih murah.

Namun, kata dia, perusahaan penyalur jargas harus memberikan jaminan bahwa instalasi penyalur gas yang sampai di rumah masyarakat aman.

"Jangan sampai karena lebih murah, justru membahayakan bagi masyarakat," katanya.

Selain dari sisi keamanan, dia juga berharap agar masyarakat mendapatkan kepastian harga satuan gas, jangan sampai meteran tekanan gas di rumah-rumah warga dimainkan oleh oknum tertentu seperti yang banyak terjadi pada kasus meteran air dan listrik.

"Cara membayarnya juga harus jelas, apakah pascabayar, atau prabayar. Intinya jangan sampai justru merugikan masyarakat," ucapnya.

Mengalirkan gas dari dalam perut bumi sampai ke dapur masyarakat dinilai sudah menjadi tugas pemerintah, karena sejatinya kekayaan alam harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. 

"Selain aman dan lebih murah, pemerintah juga harus menjamin keberlangsungan penyaluran gas. Jangan sampai saat masyarakat mengandalkan gas bumi sebagai satu-satunya energi, lantas pasokan terlambat gara-gara masalah teknis," kata Kepala Pusat Studi Energi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Ali Musyafa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com