Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memasak Tinggal Putar Keran, "Melon" Pun Hilang di Kampung Lontong

Kompas.com - 29/10/2016, 18:34 WIB
Achmad Faizal

Penulis

SURABAYA, KOMPAS.com - Ari Siswanto terbangun di tengah hari Sabtu (29/10/2016), usai melepas lelah setelah sejak dini hari sampai pagi memproduksi lontong sekaligus menjualnya di pasar tradisional Keputran Surabaya. 

Usai membersihkan diri, Ari melanjutkan pekerjaannya membuat bungkus lontong dari daun pisang untuk produksi lontong nanti malam. Usai membuat bungkus lontong, Ari bergegas menuju depan rumahnya untuk  membersihkan beras di dua bak besar.

Setelah dibersihkan, beras tersebut dimasukkan ke bungkus lontong yang sudah disiapkan sebelum dikukus. 

Akhir pekan ini, dia harus memproduksi lebih banyak lagi lontong, karena perusahaan katering langganannya memesan untuk sebuah pesta pernikahan. "Ada pesanan khusus 100 biji untuk acara pernikahan buat besok," kata Ari. 

Tidak jauh dari rumah Ari di Jalan Banyuurip Lor Gang 10, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan Surabaya, pasangan suami isteri, Yuliatin dan Samsul Hadi terlihat sedang mempersiapkan lontongnya untuk dimasak sore ini. 

Di teras rumahnya, Samsul Hadi memotong cabang bungkus lontong agar terlihat rapi, sementara Yuliatin menatanya di tempat rak khusus sambil membenahi bungkus lontong yang terlihat kurang sempurna.

Lontong produksi keluarga itu dijual di Pasar Tradisional Ngasem Surabaya.  Memproduksi lontong bagi ibu tiga anak itu adalah usaha sampingan untuk menambah pendapatan  keluarga. Samsul Hadi, suaminya bekerja di pabrik kopi.

"Ini usaha sampingan, kalau tidak begini tidak bisa menyekolahkan anak-anak," terang Yuliatin. 

Membuat dan menjual lontong adalah aktivitas sehari-hari puluhan keluarga di "Kampung Lontong" Surabaya. Mereka hidup dari lontong, produk makanan khas Indonesia dari bahan beras yang dikukus dan dibungkus daun pisang. 

Lontong biasa disantap sebagai pengganti nasi untuk menu makanan tertentu seperti sate, bakso, dan gado gado. Bahkan ada beberapa menu makanan yang dianggap tidak sempurna jika tidak disantap dengan lontong, sehingga nama lontong melekat di menu tersebut seperti, lontong mi, lontong lodeh, lontong balap, hingga lontong kupang.

Memproduksi lontong sudah menjadi usaha andalan warga kampung lontong sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, di kampung tersebut terkenal sebagai sentra pembuatan tempe.

"Kakek saya dulu salah satu pengusaha tempe di sini," kata Ari sambil melipat daun pisang untuk pembungkus lontong.

Seiring berjalannya waktu kata Ari, penjualan tempe dinilai merosot, beberapa warga lalu mencoba membuat lontong sebagai alternatif usaha selain tempe. Di luar dugaan, penjualan lontong justru lebih baik dibandigkan tempe.

Warga pun meninggalkan usaha tempe dan total menekuni bisnis lontong.

Pengusaha lontong di Kelurahan Kupang Krajan, kata Ari tercatat ada 76 keluarga. Mereka tersebar di tiga wilayah Rukun Warga (RW), yakni RW 6, RW 7, dan RW 2.

Sebaran pengusaha lontong paling banyak ada di RW 6, karena tersebar di 5 RT. Mereka memasarkan produksi lontongnya ke pasar-pasar tradisional di Surabaya. Sebagian memenuhi pesanan restoran dan katering.

Jenis beras yang digunakan kata Ari, juga sesuai peruntukan. Jika untuk pasar tradisional beras jenis medium, kalau untuk restoran dan katering beras jenis super.

"Harganya juga menyesuaikan kalau yang dijual di pasar tradisional Rp 10.000 sampai Rp 12.000 per 10 buah lontong. Kalau di restoran dan katering selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000, tergantung ukurannya juga," jelas Ari yang juga dipercaya sebagai Ketua Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri Surabaya ini.

Bentuk dan warna lontong yang diproduksi kampung lontong memiliki ciri khas tersendiri. Bentuk ujung bungkus daun pisangnya mengarah ke atas, dan warnanya kuning keemasan.

Menurut Ari, hal itu hanya dari cara memasaknya saja, kalau rasanya lontongnya sama seperti rasa lontong pada umumnya. 

Perjalanan panjang mewarnai aktivitas kampung lontong untuk tetap eksis berpoduksi. Darmi, salah satu pengusaha kampung lontong menceritakan, di awal-awal warga mulai memproduksi lontong, sempat mengalami kelangkaan daun pisang pembungkus lontong.

Warga pun memesan khusus dari Kabupaten Bojonegoro yang dikirim melalui kereta api setiap pagi.

"Kalau telat mengambil di stasiun, dapat dipastikan tidak kebagian daun pisang, otomatis tidak bisa berjualan," ujar ibu empat anak ini.

Namun sekarang, kata dia, pengusaha kampung lontong tidak lagi cemas dengan minimnya pasokan daun pisang, karena penjual daun pisang sudah memasok langsung ke kampung lontong. Berapapun daun pisang yang dibutuhkan, mereka siap mengirimnya. 

Ratusan ribu lontong diproduksi setiap harinya dari kampung lontong. Darmi memperkirakan, dua ton lebih beras setiap harinya yang dimanfaatkan pengusaha kampung lontong untuk produksi.

Melalui asosiasi, para pengusaha sempat meminta stok khusus dari Perum Bulog, namun itu hanya berlangsung beberapa waktu saja. 

Para pengusaha lontong di kampung lontong percaya, selama dunia kuliner di Surabaya tidak mati, maka usaha mereka akan terus berkembang.

Melon menghilang

Sejak 2013, laba pengusaha di kampung lontong bertambah, itu setelah mereka tidak lagi menggunakan gas elpiji, dan beralih gas rumah yang disalurkan oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) (Persero).

Gas rumah terbukti mampu menghemat sampai 50 persen biaya produksi dari sisi pemakaian gas. 

Ari mengaku membuktikannya sendiri. Saat masih memakai tabung gas subsidi 3 kilogram berwana hijau muda, mirip buah melon, untuk biaya produksi dia mengeluarkan Rp 70.000 setiap harinya untuk pembelian empat buah tabung gas. Total dalam sebulan, setidaknya dia harus mengeluarkan Rp 2,1 juta untuk biaya produksi.

"Selain itu juga tidak khawatir ada kelangkaan elpiji, karena gas selalu ada, tinggal memutar keran saja," terang Ari. 

Setelah memasang gas rumah, biaya produksi pembuatan lontong bisa ditekan. Ari harus membayar antara Rp 800.000 hingga Rp 900.000 per bulannya.

Itu sudah untuk pemakaian rumah tangga. "Mentok saya bayar Rp 1 juta untuk kebutuhan gas setiap bulannya. Saat memakai tabung gas habisnya lebih dari Rp 2 juta setiap bulan," terang Ari.

 

KOMPAS.com/Achmad Faizal Ari Siswanto membuat bungkus lontong di rumahnya, KOMPAS.com/Achmad Faizal
Tidak hanya keuntungan ekonomis saja yang didapatkan pengusaha kampung lontong dalam memanfaatkan gas rumah. Dari sisi keamanan kata Ari, mereka lebih terjamin.

"Karena tidak ada lagi, kejadian tabung gas meledak atau terbakar saat membuat lontong. Keamanan pemakaian juga dikontrol rutin oleh petugas dari PGN," tambahnya.

Ide pemasangan gas rumah di kampung lontong tercetus saat Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, mengajak Ketua Umum PDI-P  Megawati Soekarnoputri berkunjung ke kampung lontong Oktober 2012 lalu.

Banyak hal yang dibahas antara Risma dan Presiden RI keempat itu terkait pengembangan kampung lontong sebagai instrumen pengembangan ekonomi mandiri, salah satunya pemanfaatan gas rumah.

Pilot project pun dilaksanakan sejak 2013. Saat itu PGN memberi kampung lontong kuota pemasangan 100 unit secara gratis untuk 100 pengusaha di kampung lontong.

Namun, kata Ari, saat itu hanya terserap 50 persen, karena masih banyak pengusaha lontong yang masih takut dan belum akrab dengan gas rumah.

2015, PGN kembali memberi kuota 100 pelanggan untuk pengusaha kampung lontong dengan pemasangan instalasi secara gratis. Di gelombang kedua, mulai banyak pengusaha yang bersedia memasang gas rumah, setelah mendengar cerita dari mulut ke mulut tentang keuntungan memakai gas rumah. Apalagi, sampai saat ini belum ada peristiwa kebakaran atau ledakan saat pemakaian gas rumah. 

Sampai saat ini kata Ari, sudah sekitar 80 persen pengusaha lontong yang menjadi pelanggan gas rumah, bahkan ada beberapa yang masuk dalam daftar tunggupemasangan untuk tahun ini, termasuk keluarga Samsul Hadi dan Yuliatin, yang berharap pemasangan instalasi gas rumah segera dilakukan di rumahnya. 

"Sudah disurvei, tapi sampai sekarang belum dipasang. Saya tunggu terus, karena kata orang-orang lebih murah dan lebih aman," kata Yuliatin.

Dampak ekonomis pemanfaatan jaringan gas untuk rumah tangga juga dirasakan usaha kecil perajin kue di kampung kue di kelurahan Kalirungkut, Kecamatan Rungkut Surabaya. Mereka merasa terbantu dengan adanya instalasi gas tersebut karena terbukti mampu menekan biaya produksi kue.

Sama dengan yang terjadi di kampung lontong, kata Ketua RW V Kelurahan Kalirungkut, Kecamatan Rungkut, Sentot Sudarmanto, perajin kue di kampung kue juga sebelumnya takut untuk memasang jaringan gas. Namun setelah merasakan manfaatnya, Sentot terus ditagih warganya untuk segera dipasangkan. 

"Dulu banyak yang takut memasang karena takut meledak, sekarang mereka banyak yang menagih saya karena sudah tahu manfaatnya," kata Sentot.

Di wilayah RW V, lanjut dia, dari 56 usaha pembuat kue, sebagian besar sudah mengakses gas pemukiman. "Tinggal 22 pengusaha yang belum, karena itu saya minta PGN untuk segera dipasang," ujarnya.

Senada dengan keinginan warganya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, menginginkan semua sentra produksi kuliner di Surabaya dialiri jaringan gas dari PGN. "Biar mereka tidak kesana kemari bawa melon, kadang satu motor bawa melon banyak, kan itu bahaya," ucap wali kota perempuan pertama Surabaya itu.

Selain dipasang di sentra-sentra produksi kuliner, Risma berharap jaringan gas juga dipasang di komplek rumah susun (rusun).

"Kasihan loh, penghuni rusun sering naik turun bawa melon, makanya saya minta gas juga dipasang di rusun," jelasnya.

Risma mengaku ingin sekali menyejahterakan warganya dengan gas bumi dan perlahan mengurangi penggunaan gas melon atau elpini. 

"Saya berkali merayu-rayu Dirut PGN agar menambah Jargas di Surabaya, di mana pun ketemu, saya terus merayu," tutur Risma. 

24.000 jaringan gas

Tahun ini, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menjatah Surabaya dengan pemasangan 24.000 jaringan gas (jargas) rumah tangga untuk 14 kelurahan.

Di Surabaya Timur proyek yang didanai APBN 2016 tersebut untuk 7.514 kepala keluarga yang tersebar di Kelurahan Penjaringan Sari, Wonorejo, Medokan Ayu, dan Kedung Baruk.  Di Surabaya Selatan untuk 7.721 kepala keluarga yang tersebar di Kelurahan Airlangga, Baratajaya, Kertajaya, Pucang Sewu, dan Ngagel Rejo.

Sementara sisanya, untuk Surabaya Tengah untuk 8.763 kepala keluarga di kelurahan Dr Soetomo, Embong Kaliasin, Kupang Krajan, Tegalsari, dan Wonorejo. 

Proyek senilai Rp 285,2 miliar itu dikerjakan kontraktor pelaksana PT Hutama Karya (Persero). Pipa jaringan gas yang dipakai sepanjang 167 kilometer dengan diameter pipa polietilen ukuran 63 mm dan 180 mm. 

Target pembangunan per hari adalah pemasangan pipa sepanjang satu km dan meteran di 150 alamat rumah. Progres program pemasangan Jargas di Surabaya sampai saat ini kata Area Head PGN Surabaya, Misbachul Munir, sudah mencapai 167,44 kilometer dari total 193,44 kilometer yang dibutuhkan.

"Sementara untuk sambungan rumah (SR), dari 24.000 sudah terealisasi 13.780," jelasnya.

Sebelum ada program tersebut, kata Munir, di Kelurahan Kali Rungkut dan Rungkut Kidul sudah terdapat 2.762 sambungan rumah tangga dengan.

Sambungan itu adalah alih kelola dari BUMD Pemprov Jatim, yakni PT Petro Jatim Utama. Saat ini di Surabaya tercatat ada 72 pelanggan pelanggan industri, 191 pelanggan komersial seperti hotel, apartemen, restoran, dan rumah sakit, serta dan 12.390 pelanggan rumah tangga. Total gas yang disalurkan pada September lalu mencapai 14.82 MMSCFD.

Di wilayah Jawa Timur, PGN menarget 34.073 pelanggan baru gas bumi pada 2016. Target itu kata Munir seiring terus bertambahnya infrastruktur pipa gas bumi yang dibangun di Jawa Timur. 

Proyek pipa distribusi gas yang rampung tahun ini antara lain, ruas Jetis-Ploso yang memanjang 27 kilometer dari Mojokerto ke Jombang, dan ruas Kejayan-Purwosari di Pasuruan sepanjang 15 kilometer.

"Sementara yang sedang proses pembangunan antara lain Kalisogo-Waru di Sidoarjo, sepanjang 30 kilometer," jelas Munir. 

Dari target angka target tersebut, 27 pelanggan diantaranya industri besar, 54 pelanggan komersial, 9.992 pelanggan rumah tangga dalam program PGN Sayang Ibu, plus 24.000 pelanggan yang instalasinya dibiayai APBN melalui Kementerian ESDM.

Pelanggan gas alam PGN di Jawa Timur hingga pertengahan 2016 mencapai 20.777 pelanggan. Sebanyak 454 pelanggan diantaranya industri besar, 212 usaha komersil seperti mal, kafe dan restoran serta UMKM, dan 20.111 pelanggan rumah tangga.

Adapun Jumlah volume gas bumi yang dipasok ke pelanggan Jawa Timur di triwulan I-2016 sudah mencapai 130 Billion British ThermalUnit per Day (BBTUD).

KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA Ilustrasi elpiji 3 kg
Dari Elpiji ke jargas

Pemerintah perlahan mulai menghilangkan pemakaian elpiji bersubsidi di tengah masyarakat dan menggantinya dengan jaringan gas alam. Mantan Menteri ESDM, Sudirman Said pernah mengkalkulasi, dengan membangun 1,3 juta sambungan Jargas hingga 2019, penghematan subsidi bisa mencapai Rp 936 miliar.

Penghematan itu dihitung dari penghematan satu rumah tangga per tahun yang berpindah dari elpiji 3 kilogram ke gas alam sebesar Rp 180.000 per bulan, dengan asumsi tiap rumah tangga menggunakan tiga tabung elpiji per bulan. 

Selain itu penghematan dari subsidi per rumah tangga Rp 540.000 per per tahun, dengan asumsi subsidi Rp 5.000 per kilogram. Dari sini, total penghematan subsidi per keluarga per tahun mencapai Rp 720.000.

Program Jargas juga diharapkan mampu mengurangi impor elpiji. Menurut anggota komisi VII DPR RI bidang energi, Satya Widya Yudha, setiap tahunnya, impor elpiji memakai dana APBN hingga Rp 10 triliun.

"Salah satu cara mengurangi impor LPG adalah mensukseskan Jargas," kata politisi Partai Golkar ini.

Legislatif, kata dia sudah memberikan dukungannya pada program tersebut dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional.

Dalam dokumen tersebut kata Satya, pemerintah didorong untuk menjadikan prioritas jargas sebagai program utama sebagai instrumen kemandirian energi. 

Untuk mendukung program tersebut, secara nasional, Kementerian ESDM tahun ini membangun 89.000 jargas di enam kota dengan anggaran Rp 1,3 triliun termasuk 24.000 di Surabaya. Kemudian 21.000 jargas di Tarakan, 32.000 di Prabumulih, dan di Batam, Cilegon, dan Balikpapan masing-masing 4.000 Jargas.

Tahun depan, program tersebut seharusnya dilanjutkan dengan memasang 69.200 jargas di sembilan kota. Namun, karena dalam APBN 2017 anggaran program tersebut di pos Kementerian ESDM dipangkas Rp 100 miliar, maka target pemasangan pun dikurangi 15.500 menjadi 53.700 jargas. 

Program tersebut dinilai cukup efektif karena selain murah dan aman, juga dinilai ramah lingkungan.

Sayangnya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengaku tidak dapat berkontribusi secara nyata, karena penyambungan jargas dinilai membutuhkan dana yang tidak sedikit.

"APBD provinsi dan daerah tidak sampai untuk ikut membangun infrastruktur jargas, jadi yang membangun fasilitas selama ini pemerintah pusat," kata Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur, Dewi Putriatni.

Jawa Timur, kata dia, hanya menyediakan potensi gas alam yang melimpah. Setiap harinya, produksi gas bumi dari wilayah eksplorasi Jawa Timur mencapai 500 juta kaki kubik. Potensi itu dieksploitasi oleh 38 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

"Selain untuk industri, gas alam di Jawa Timur dimanfaatkan untuk keperluan pembangkit listrik, industri kecil dan rumah tangga," kata Dewi.

Di atas kertas, Program Jargas menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jawa Timur, Said Utomo, cukup membantu masyarakat, karena lebih murah.

Namun, kata dia, perusahaan penyalur jargas harus memberikan jaminan bahwa instalasi penyalur gas yang sampai di rumah masyarakat aman.

"Jangan sampai karena lebih murah, justru membahayakan bagi masyarakat," katanya.

Selain dari sisi keamanan, dia juga berharap agar masyarakat mendapatkan kepastian harga satuan gas, jangan sampai meteran tekanan gas di rumah-rumah warga dimainkan oleh oknum tertentu seperti yang banyak terjadi pada kasus meteran air dan listrik.

"Cara membayarnya juga harus jelas, apakah pascabayar, atau prabayar. Intinya jangan sampai justru merugikan masyarakat," ucapnya.

Mengalirkan gas dari dalam perut bumi sampai ke dapur masyarakat dinilai sudah menjadi tugas pemerintah, karena sejatinya kekayaan alam harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. 

"Selain aman dan lebih murah, pemerintah juga harus menjamin keberlangsungan penyaluran gas. Jangan sampai saat masyarakat mengandalkan gas bumi sebagai satu-satunya energi, lantas pasokan terlambat gara-gara masalah teknis," kata Kepala Pusat Studi Energi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Ali Musyafa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com