Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Cerdas Tanpa Batas di Kampung Batara Banyuwangi

Kompas.com - 25/10/2016, 11:48 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI,KOMPAS.com - Irfan efendi (9) terlihat menyiram bibit bambu di halaman sebuah rumah berdinding bambu berlantai tanah di Lingkungan Papring Kelurahan Kalipuro Kecamatan Kalipuro Selasa (24/102016).

Kepada Kompas.com, siswa kelas 5 MI Darussalam 2 Kalipuro tersebut bercerita bahwa bibit bambu tersebut di dapatkan dari kakak kakak mahasiswa yang berkunjung ke Kampung Batara pada bulan September lalu.

"Nanti kalau bibitnya agak besar di tanam di lereng sungai sana. Setiap anak anak Kampung Batara nanam satu bibit dan dikasih nama sesuai namanya sendiri," uca dia.

Ia mengaku mempunyai tugas menyirami bibit bambu sehari dua kali setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan sore hari sebelum mengaji.

"Kenapa saya yang bagian nyiram? karena rumah saya paling dekat dengan Cak Wiwi," katanya sambil tertawa.

Selain bertugas menyirami bibit bambu, Irfan juga mempunyai bagian untuk mengumpulkan rekan-rekannya jika ada kegiatan di Kampung Batara.

Dengan sepeda kayuhnya, dia akan menjemput teman temannya dan memberikan informasi kegiatan dengan cara getok tular melalui pesan berantai.

"Biasanya Cak Wiwi yang kasih tahu saya, terus saya naik sepeda kasih tahu teman-teman lainnya," jelas bocah yang akrab dipanggi Fendi tersebut.

Dia mengaku bercita-cita ingin menjadi dokter dan merasa bersyukur rumahnya dekat dengan Cak Wiwi sehingga jika ada buku baru ia bisa langsung membacanya.

Cak Wiwi adalah panggilan akrab dari Widie Nurmahmudy pendiri Kampung Batara atau Kampung Baca Taman Rimba. Sehari-hari dia adalah petani jagung dan singkong serta memelihara kambing dan sapi miliknya sendiri dan juga titipan orang.

Selain itu dia juga menjadi relawan di organisasi sosial yang bergerak di bidang persampahan.

Sejak akhir tahun 2014, lelaki kelahiran 1979 tersebut bersama istrinya Novita menjadikan rumahnya sebagai pusat belajar anak anak di daerahnya.

Awalnya hanya empat anak yang bergabung di Kampung Batara dan mereka mengawali dengan belajar membaca di ruang tamu Widie yang berlantai tanah dan berdinding bambu.

Untuk pencahayaan, Widie dan keluarganya masih menggunakan jaringan listrik milik tetangganya.

Semakin lama ruang tamu yang awalnya digunakan untuk pusat kegiatan mereka tidak bisa menampung jumlah anak yang semakin bertambah. Kemudian kegiatan mereka pindah ke mushola kecil di sebelah rumah Widie yang juga terbuat dari bambu.

"Mushalanya sudah bobrok bentuknya panggung dari bambu. Kalau semua anak sudah naik ke atas ada suaranya kriett...krieeett.... Sempat khawatir mau roboh," katanya sambil tertawa.

Ia kemudian dibantu dengan tetangga tetangga di sekitarnya mendirikan mushala yang lebih besar dan layak dengan memanfaatkan bambu yang ada di sekitar lingkungannya. 

Mushola itu pun dijadikan pusat anak anak berkegiatan bermain dan belajar.

Ira Rachmawati / Kompas.com / Banyuwangi Anak anak Kampung Batara saat bermain di halaman rumah Widie yang mendirikan Kampung Batara sebagai tempat belajar alternatif bagi anak anak di sekitarnya

Jarak Kampung Batara dari pusat kota Banyuwangi tidak begitu jauh sekitar kurang 15 kilometer. Namun jalan menuju ke Kampung Batara yang berada diperbatasan hutan masih berbatu dan sebagian belum tersentuh aspal.

Hal tersebut terkadang menjadi kendala anak anak untuk berangkat sekolah apalagi jika musim hujan.

Selain itu, menurut Widie, masyarakat di sekitar rumahnya masih belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas kebutuhan mereka.

"Ada orang tua yang bilang, 'enggak usah sekolah tinggi-tinggi. yang penting bisa membaca tulisan jalan dan tandatangan'. Saat mendengar itu sedih. Itu yang menjadi alasan utama saya membuka Kampung Batara ini," jelas lelaki lulusan SMA tersebut.

Awalnya tidak banyak yang ia ajarkan kepada anak anak yang rutin berkunjung ke rumahnya. Hanya membaca dan belajar menghitung. Kemudian berkembang permainan permainan edukasi dengan memanfaatkan alat alat yang ada di sekitarnya.

"Kadang-kadang menari, mewarnai, menggambar, dan bermain alat musik dari bambu. Kalau di sini namanya patrol. Mereka sendiri yang membuat saya hanya mengarahkan. Bahkan mereka pernah beberapa kali diundang tampil kalau ada cara sosial. Belum profesional sih tapi paling tidak mereka berani tampil dan percaya diri," ucapnya.

Untuk mendokumentasikan kegiatan anak-anak di daerahnya, Widie kemudian membuat akun Facebook untuk mereka dengan nama 'Kampoeng Batara'. Ia rutin mengunggah kegiatan anak-anak tersebut sebagai dokumentasi.

Kegiatan tersebut dia lakukan saat dia turun ke Kota Banyuwangi dan menumpang upload foto di kantor rekannya atau di warnet.

"Di Kampung Batara jangankan sinyal internet, sinyal telepon saja susah. Jadi ya harus ke kota kalau upload," katanya sambil tersenyum.

Dari akun facebook tersebut, kemudian widie banyak dihubungi oleh rekan rekannya yang mempunyai keinginan untuk membantu mulai dari buku, alat tulis ataupun menjadi relawan yang rutin berkunjung ke sana.

"Saya tidak menyangka banyak orang yang peduli kepada anak anak Kampung Batara. Ada yang kirim buku untuk mereka dan ada juga yang datang rutin baik secara pribadi ataupun kelompok ke tempat kami. Biasanya kami jadwalkan hari Jumat sore karena anak anak libur ngaji dan hari minggu mulai pagi sampai siang," tambahnya.

Bantuan lainnya yang membuat ia sangat bersyukur adalah biaya pemasangan listrik di Kampung Batara.

Listrik tersebut sangat membantu anak anak saat berkumpul pada malam hari. Menurut Widie, saat listrik pertama kali di pasang, mereka meminta memutar video dan foto foto mereka.

"Saya langsung pinjam proyektor ke mahasiswa dan malam harinya kita nonton bareng disini. Melihat mereka tertawa dan bahagia saya sampai terharu," katanya.

Saat ini anak-anak yang bermain dan belajar di Kampung Batara mencapai 50 orang. Mereka bukan hanya berasal dari sekitar Papring tapi juga berasal dari desa tetangga.

Ira Rachmawati / Kompas.com / Banyuwangi Widie (menggunakan topi putih dan berkaos putih) bersama anak anak Kampung Batara saat belajar bersama di mushola kecil miliknya
Sementara itu Novita, istri Widie kepada Kompas.com Selasa (25/10/2016), mengaku, awalnya bingung akan mengajarkan apa ke anak-anak yang berkunjung ke rumahnya. Apalagi perempuan kelahiran 1997 mengaku menempuh pendidikan hanya sampai SD karena keterbatasan biaya.

"Saya sempat tidak percaya diri. Jangankan disuruh ngajar, untuk berbicara saja saya nggak berani tapi dipaksa sama suami. Akhirnya saya mengatasinya dengan menganggap mereka sebagai teman. Mereka sering curhat apa saja dan sudah menganggap saya sebagai ibunya sendiri," katanya.

Ia juga mengaku bangga dengan suaminya yang mendirikan Kampung Batara. Menurut dia, walaupun keluarga mereka tidak masuk kategori orang yang berlebihan, ia bersyukur masih bisa berbagi kepada orang lain.

"Kami memang bukan orang kaya tapi dengan mendirikan Kampung Batara kami ingin berbagi kepada anak-anak di sekitar sini khususnya di bidang pendidikan," ucapnya.

Relawan yang datang baik secara pribadi ataupun komunitas juga terus berdatangan. Mereka mengajari segala macam ilmu baru untuk anak anak yang ada di Kampung Batara.

"Yang rutin, ada yang ngajar bahasa Inggris setiap seminggu sekali. Mereka tidak ada yang dibayar sama sekali tapi biasanya kita akan masak bersama dan dinikmati bersama sama di akhir kegiatan," katanya.

Sementara itu, Asnoto, ketua RT 3 Lingkungan Papring tempat Kampung Batara didirikan mengaku terharu dengan perubahan perilaku anak-anak yang ada di daerahnya.

"Dulu mereka terlihat tidak semangat saat berangkat sekolah. Sekarang beda mereka aktif sekali belajar, baca buku dan kegiatan positif lainnya di Kampung Batara. Sekarang menjadi menjadi lebih baik," ujarnya.

Menurut dia, mayoritas masyarakat di daerah Papring adalah petani itu pun jarang lahannya sendiri. Mereka juga mencari kayu serta bambu di hutan dan menjadi peternak kambing dan sapi.

"Di sini tidak jarang lulus SMP mereka menikah dan berhenti bersekolah. Rata-rata ya perekonomian menengah kebawah. Semoga dengan Kampung Batara ada harapan baru untuk anak-anak di sini. Paling tidak mereka menjadi lebih baik dibandingkan kami orang tuanya. Saya sering bilang ke orang tua mereka jangan hanya sekedar meninggalkan harta tapi juga ilmu karena ilmu pengetahuan yang bisa merubah nasib mereka," paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com