Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspadai Amukan Sungai Citarum

Kompas.com - 25/09/2016, 13:29 WIB
Dendi Ramdhani

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com - Sungai Cimanuk di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengamuk, Selasa (20/9/2016) malam. Derasnya luapan air meluluhlantakkan ratusan rumah warga dan menewaskan puluhan jiwa penduduk Kabupaten Garut dan Sumedang.

Tragedi itu bukan semata bencana akibat faktor alamiah. Lebih dari itu, kerusakan di daerah aliran sungai (DAS) menjadi sebab utama datangnya banjir bandang.

Situasi ini kemungkinan terjadi lagi di kawasan aliran Sungai Citarum di provinsi yang sama.

Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna mengatakan, riak besar Sungai Citarum sudah mulai terlihat.

Meski tak separah musibah Cimanuk, luapan Citarum pernah menimpa warga di Cililin, Kabupaten Bandung Barat, dua tahun lalu.

"Artinya kemungkinan itu ada, sangat memungkinkan. Kabupaten Bandung banyak daerah terjal dan pemukiman, Bandung utara juga begitu," kata Anang, Minggu (25/9/2016).

"Ini baru awal, belum masuk penghujan, baru kemarau basah. Boleh jadi itu terjadi lagi, kita harus terus waspada sambil berupaya memitigasi," ujarnya.

Saat ini, kata Anang, luapan Citarum telah menimbulkan genangan di daerah berelevasi terendah, seperti di Kabupaten Bandung. Meski begitu, dampak kerugian yang ditimbulkan tergolong besar.

(Baca juga Sungai Citarum Meluap, 3 Kecamatan di Bandung Terendam Banjir)

Jika mengacu pada parameter Koefisien Regim Sungai (KRS) yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB), angka kerusakan Sungai Citarum (92 KRS) masih di bawah Sungai Cimanuk, yang menembus angka 713 KRS. Sungai dinyatakan buruk jika KRS-nya lebih besar dari 80.

"Itu hanya perbandingan debit rendah dan dan debit tertinggi. Tapi jenis tanah serupa dengan Garut, yakni vulkanik. Jadi jangan dianggap remeh," tuturnya.

Selain berdampak negatif bagi masyarakat, buruknya kualitas air Citarum berpengaruh terhadap produksi energi listrik untuk wilayah Jawa dan Bali.

PT Indonesia Power sebagai pengelola Unit Pembangkit Saguling (hilir Citarum) mulai merasakan dampak pencemaran Citarum.

Sifat air Citarum yang korosif dapat mengikis usia alat berbahan metal, seperti turbin. Kondisi itu diperparah dengan melimpahnya produksi sampah di Citarum.

"Khusus Saguling, kualitas air luar biasa tercemar karena Citarum menyandang nama sebagai septic tank Jabar. Ini kurang bagus dilihat dari sisi lingkungan," ujar Direktur Utama PT Indonesia Power Inten Cahyani.

Inten mengatakan, kualitas buruk air sungai mengganggu elemen metal khususnya di pelapisan turbin air. Sampah akan mengganggu aliran air ke dalam turbin.

Tingginya laju sedimentasi turut mengikis daya tampung waduk yang berdampak pada penyusutan usia waduk. Volume air pada waduk juga terpengaruh.

"Kalau tak didukung pencegahan sedimentasi, waduk jebol. Bayangkan, bisa jadi bencana nasional," kata dia.

Menurut Inten, proteksi terhadap objek vital nasional, seperti waduk, tidak bisa dilakukan oleh pemerintah maupun korporasi saja. Mesti ada keterlibatan masyarakat untuk mengubah paradigma tentang pentingnya pemeliharaan daerah aliran sungai.

"Selain memberi edukasi, membuat perubahan behavior, sekarang harus diiringi punishment. Kita enggak mungkin menjaga sendiri, harus kolaborasi," ucapnya.

Indonesia Power kini gencar mendekatkan diri kepada masyarakat untuk memberi pendidikan akan besarnya fungsi Sungai Citarum.

Selain memberi pelatihan cara pengolahan limbah, dia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya pelajar, untuk mulai menumbuhkan kesadaran untuk menjaga lingkungan.

"Trennya tiap tahun ada perbaikan. Karena sekarang makin banyak yang peduli, tapi mau gak mereka bergerak. Mulai saat ini, ayo tanam pohon dengan konsep satu siswa satu pohon, satu rumah satu pohon," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com