Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Usianya 100 Tahun, Guru Kitab Lontara Ini Ajari Santrinya dari Tempat Tidur

Kompas.com - 25/07/2016, 09:35 WIB
Junaedi

Penulis

PINRANG, KOMPAS.com - Usianya sudah lebih dari 100 tahun, namun semangat menularkan beragam ilmu pengetahuan dalam ajaran kitab Lontara dan kitab suci Al Quran yang kaya petuah dan falsafah hidup tak pernah surut.

Sejak usia remaja, La Tahera, kakek pemilik delapan anak dan ratusan cucu dan cicit ini dikenal telaten menularkan kitab Lontara berisi ajaran tentang kehidupan mulai dari ilmu kesehatan, seksologi, perbintangan hingga ilmu bercocok tanam, agar tanaman selamat dari serangan hama dan penyakit.

Semasa hidupnya, ada puluhan bahkan ratusan kitab Lontara yang ia tulis dengan tangannya sendiri.

Sejak usia remaja, La Tahera yang akrab dipanggil Ambo Mambu ini dikenal telaten menulis beragam buku berisi ajaran kitab Lontara menggunakan tinta Kalla dari pohon enau yang diracik dengan tangannya sendiri.

Meski kitab-kitab Lontara asli yang sarat petuah, falsafah hidup dan ajaran nilai-nilai budaya dan kisah sejarah tentang kebudayaan dan peradaban Bugis-Makassar telah dirampas Belanda dan kini disimpan di sebuah perpustakaan Leiden, Belanda, namun tidak serta merta ajaran dan nilai-nilainya musnah.

Sejumlah penganut kitab Lontara bahkan terus melanjutkan tradisi gerakan literasi dengan cara menulis dan menyebarkan beragam kitab-kitab Lontara yang mereka pahami, agar ajarannya tak punah.

Kitab Lontara hasil tulisan tangan La Tahera, misalnya, sebagian diwakafkan kepada murid-muridnya yang tulus belajar untuk memperdalam ilmu tanpa biaya sepersen pun.

La Tahera berharap, gerakan literasi yang ia tularkan kepada murid-muridnya mampu menjaga ajaran dari kitab Lontara dan kitab suci Al Quran.

Hingga kini, puluhan buku berisi ajaran kitab Lontara masih disimpan rapi di sejumlah murid-muridnya.

Tiga kitab Lontara ini, masing-masing berukuran setebal lebih dari satu sentimeter, masih tersimpan di rumah La Tahera. Kitab ini hanya diberi sampul kertas karton atau kardus bekas mi instan agar bisa bertahan lebih lama.

Ismail, salah satu santri yang pernah berguru kitab Lontara dan masih memegang sejumlah buku karya gurunya itu masih kerap datang ke rumah La Tahera di Kampung Allacalimpo, Desa Pakie, Kecamatan Tiroang, Pinrang, Sulawesi Selatan.

Ismail bertanya banyak hal mengenai isi kitab Lontara yang sarat petuah dan falsafah hidup Bugis kepada sang guru.

Ajarkan egaliterianisme

KOMPAS.Com La Tahera, seorang guru kitab lontara dan kitab gundul yang sudah berusia lebih dari 100 tahun kini masih telaten mengajari murid-muridnya meski ia hanya terbaring di tempat tidur karea usianya sudah semakin lanjut.

Dia juga masih memegang sejumlah buku karya gurunya itu. Menurut Ismail yang bekerja di Dinas Pengairan Pinrang dan imam masjid Taqwa Madimeng, Pinrang, sang guru Ambo Mambu yang tidak pernah duduk di bangku sekolah tersebut adalah penganut ajaran egaliterisme.

Cinta dan ketulusan sang guru tak terbatas kepada hanya sesama, tetapi juga kepada makhluk lain, termasuk binatang dan sang pencipta.

La Tahera memiliki bakat dan kemampuan menulis kitab Lontara berasal dari sosok ayahnya yang dikenal mahir dan menguasai kitab tersebut dan kitab kuning yang sering disebut kitab gundul.

La tahera memanfaatkan waktu belajar di rumah bersama ayahnya, termasuk saat bekerja di kebun.

Ismail yang datang menjenguk sang guru setelah lebaran pekan lalu kepada Kompas.com mengisahkan, tempo hari ketika ia pernah berjalan bersama La Tahera di sebuah pematang sawah, sang guru tiba-tiba secara tidak sengaja menendang potongan kayu di tengah pematang sawah. Sang guru bukannya marah dan melampiaskan emosi kepada kayu yang membuat kakinya berlumuran darah, namun La Tahera malah mengusap potongan kayu yang ia tendang sambil berucap dalam bahasa bugis, “Tabe sobat de witaki,” yang kira-kira berarti “Maaf sahabatku saya tidak lihat hingga saya tendang”.

Tak heran jika La Tahera memiliki ratusan murid yang tersebar di berbagai daerah kabupaten di Sulawesi Selatan, bahkan hingga ke Kalimantan, Palu, Sulbar hingga Malaysia.

“Biasanya kalau saya lupa-lupa sejumlah bab dalam kitab Lontara yang pernah ia ajarkan, saya masih sering datang dan bertanya langsung kepada beliau. Saya bangga punya guru seperti dia. Ia tak hanya mengajarkan beragam ilmu, tetapi juga mempraktikkan dalam hidupnya sendiri, termasuk ajaran tentang kejujuran, keberanian, solidaritas sesama dan keikhlasan berbuat kepada sesama dan kepada sang pencipta,” tutur Ismail, saat bersilaturrahmi ke rumah gurunya di Kampung Allacalimpo, Desa Pakie, Kecamatan Tiroang, Pinrang, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.

Meski usianya sudah lanjut, namun penglihatan dan pendengaran LanTahera terbilang masih normal. Tak heran, banyak santri-santrinya masih datang bertanya dan berguru kepadanya, meski usianya uzur.

Di usianya yang 100 tahun, La Tahera tak pernah kesepian. Saat hari raya Lebaran atau hari-hari besar keagamaan, rumahnya kerap tak henti-hetinya dikunjungi warga dan murid-muridnya dari perantauan hanya untuk memberi salam dan mendoakan agar sang guru agar hidupnya diberkahi.

Mengajar dari tempat tidur

KOMPAS.Com La Tahera, seorang guru kitab lontara dan kitab gundul yang sudah berusia lebih dari 100 tahun kini masih telaten mengajari murid-muridnya meski ia hanya terbaring di tempat tidur karea usianya sudah semakin lanjut.

 

Tak sedikit santri La Tahera minta sang guru untuk mendoakan dirinya agar kelak hidupnya diberkahi Tuhan. Karena tak mampu lagi duduk dalam waktu lama karena faktor usia lanjut, La Tahera terpaksa hanya mengajari warga atau murid-muridnya dari tempat tidur.

Agar bisa melihat, membaca dan menjelaskan buku-buku Lontara hasil tulisan tangannya puluhan tahun lalu, para murid, anak-anak dan cucunya kerap membantu La Tahera memegang kitab Lontara dan menyimpannya di atas dada sang guru tersebut.

Tanpa bantuan kacamata, La Tahera bisa mengeja dan menjelaskan setiap makna dari tulisan yang ia buat semasa masih kuat menulis.

Kompas.com yang sempat bertanya soal rahasia sehat dan berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun, ia sempat memberi petuah Toriolo atau ajaran keselamatan para ulama atau para pendahulu.

Menurut La Tahera, ada empat bekal hidup agar manusia bisa berusia panjang, tidak punya musuh dan selamat mengarungi hidup. Pertama, Allempurang atau kejujuran pada hati nurani. Kedua, Sabbara, atau sabar menghadapi situasi hidup apa pun termasuk saat diuji dengan segala kesenangan hidup.

Ketiga, Sipakaraja na Sipakalebbi atau saling menghormati dan saling menghargai sesama seperti menghargai diri sendiri, dan keempat, Ada Tongeng atau tutur kata yang berlandaskan pada kebenaran dan keiklasan dalam setiap perbuatan apa pun.

Di masa tuanya, La Tahera kini dirawat di rumah Hali, anak bungsunya dari delapan bersaudara. Karena tak mampu lagi berdiri atau duduk, La Tahera menjalankan ritual shalat lima waktu, termasuk shalat dua rakaat (shalat sunnah usai berwudu) dan shalat tahajud di tengah larut malam dalam posisi terbaring di tempat tidurnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com