Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengembalikan Kejayaan Kopi Jawa Barat

Kompas.com - 28/06/2016, 15:03 WIB

Setahun terakhir, ia berharap besar pada kopi yang diberi nama Frinsa. Berasal dari enam pohon kopi, kopi itu diduga antara jenis sigararuntang dan jenis kopi lain yang awalnya ditemukan tumbuh liar.

"Setelah dirawat, hasil panen Frinsa sekitar 2 kg per pohon. Kualitasnya teruji saat menjadi yang terbaik dalam Lomba Kopi Unggul Nasional 2015 di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jawa Timur," katanya.

Wildan juga memulainya dari dasar, empat tahun lalu. Ia menjelajahi beberapa daerah penghasil kopi Nusantara. Dari Sumatera Utara, ia yakin jenis sigararuntang cocok ditanam di Gunung Halu. Kopi ini baik ditanam di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut dan memiliki curah hujan tinggi.

Dari Bali, ia menemukan kekuatan jenis kopyol. Kopi ini bisa tumbuh di bawah kanopi pohon rindang. Cara itu menjadi solusi terbaik menanam kopi tanpa menebang pohon besar yang sudah ada sebelumnya di kawasan itu.

Ilmu baru itu lantas ia terapkan di kebun miliknya di Mekarwangi dan Weninggalih, di Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat. Hasilnya memuaskan. Panen kopi di dua kebunnya berhasil menjadi terbaik kedua dan ke-17 dalam SCAA 2016.

"Jelas bangga memiliki kopi berkualitas dunia. Namun, melihat warga sekitar kebun hidup sejahtera dan guyub itu jauh lebih bahagia," kata Wildan yang kini dibantu sekitar 50 warga sekitar kebun.

Salah seorang warga yang merasakan nikmat itu adalah Hamim (44), warga Kampung Pasanggrahan, Desa Weninggalih. Saat kopi memperbaiki kebutuhan ekonominya, ia lebih peduli pada orang sekitarnya.

Tahun ini ia punya kesibukan baru. Kini, Hamim terbiasa melahap jarak 30 km dari rumahnya mengantar tetangga yang sakit ke Rumah Sakit Cililin. Tak hanya itu, ia juga membantu tetangganya mengurus pendaftaran hingga administrasi pembayaran.

"Dulu hidup saya terlalu berat. Tak terpikir untuk menolong," kata Hamim yang tinggal sekitar 1 km dari kebun kopi Weninggalih.

Dibayar murah

Ingatan Hamim kembali pada kenangan sekitar 20 tahun lalu saat merantau ke Jakarta. Lulusan SMP ini hanya diterima bekerja sebagai buruh bangunan. Kerjanya berat, tetapi dibayar murah. Penghasilan tertingginya hanya Rp 30.000 per hari.

Harapan itu terbuka saat Wildan membuka kebun kopi di Sindangkerta pada 2011. Ia nekat pulang kampung menjadi pengangkut panen kopi. Pendapatannya kini lebih baik. Saat panen, ia bisa mendapat penghasilan 10 kali lipat lebih besar ketimbang menjadi buruh bangunan.

"Kopi memberi saya hidup sejahtera. Saya bisa membuat rumah baru senilai Rp 45 juta dan biaya memasukkan anak ke SMA," katanya.

Kopi memacu semangat Jajat (25), warga Kolelaga, belajar ilmu baru di kebun kopi milik Ayi. Lama menjadi buruh bangunan dengan upah Rp 25.000 per hari, ia kini terbiasa memilah dan mencuci biji kopi petik merah.

Tangan yang dulu terbiasa mencangkul atau mengaduk semen kini telaten memilah kopi terbaik. Jajat kini tengah belajar teknik pembuatan biji beras kopi hingga menanam pohon kopi dari Ayi. (Cornelius Helmy)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2016, di halaman 26 dengan judul "Mengembalikan Kejayaan Kopi Jawa Barat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com