Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bantu TKI, Legislator Perempuan Ini Rela Menjadi "Ojek Rekening"

Kompas.com - 21/04/2016, 14:11 WIB
Karnia Septia

Penulis

MATARAM, KOMPAS.com - Menjadi TKI tidak semuanya menyisakan cerita duka. Baiq Nurhasanah, warga Desa Suralaga, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu gambaran TKI sukses yang kini menjabat sebagai anggota DPRD Lombok Timur.

Nurhasanah dilantik menjadi wakil rakyat pada Agustus 2014. Meski sudah menjadi dewan, penampilan Nurhasanah masih sederhana, sama seperti saat ia menjadi kader posyandu di desanya.

"Sama, nggak ada perbedaan. Makanya saya nggak pakai dinas, saya nggak mau pake lencana. Saya mau setara kayak yang kemarin-marin jadi kader posyandu. Nanti dah di kantor saya jadi dewan. Di masyarakat biasa sudah," kata dia.

Ibu tiga anak ini kini menjadi inspirasai bagi warga di desanya. Sosoknya yang sederhana dan tetap berpenampilan apa adanya membuat warga merasa tidak canggung jika ingin meminta bantuan.

Tidak hanya itu, Nurhasanah juga kerap membantu para TKI dalam mengelola keuangannya. Dengan modal kepercayaan, Nurhasanah dan suaminya, Lalu Purnama, kerap menjadi "ojek rekening" bagi para TKI yang mengirimkan uang ke kampung halaman.

Tidak sekadar menerima titipan kiriman uang dari para TKI, ia juga mengarahkan mereka bagaimana mengelola uang agar mereka lebih mandiri. Caranya, menganjurkan pada mereka agar uang tersebut dipakai sebagai modal usaha.

"Karena kan kadang-kadang teman-teman itu lain dia. Pulang dari Arab Saudi, pulang dari Malaysia, pulang dari Hongkong, kadang kan berfoya-foya," kata dia.

Ia menuturkan, rata-rata para TKI pulang membawa uang cukup banyak. Namun hasil itu tidak bisa dikelola dengan baik. Bahkan sebagian besar dipakai untuk hal-hal konsumtif, tidak dikelola untuk kegiatan yang produktif.

"Dari Arab Saudi bawa uang Rp 40 juta, pergi ke mal belanja-belanja tinggal Rp 20 juta, kan sudah nggak ada artinya. Coba gajinya digunakan untuk usaha kecil-kecilan," ungkapnya.

Ia mengatakan, salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh migran selama ini adalah ketidakmampuan mengelola uang. Akibatnya, mereka berulang kali pergi ke luar negeri tanpa membuahkan hasil.

Awal jadi TKI

Nurhasanah pertama kali berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI tahun 1995-1999. Saat itu, ia terpaksa meninggalkan anaknya yang masih berusia 1,5 tahun.

Bersama suaminya, ia kembali menjadi TKI untuk kedua kalinya tahun 2003-2005. Karena keterbatasan keterampilan yang mereka miliki, di Arab Saudi, Nurhasanah hanya bekerja menjadi asisten rumah tangga, sementara suaminya jadi sopir.

Uang dari bekerja di luar negeri dia kumpulkan dan dikelola dengan baik. Uang tersebut ia gunakan untuk membeli gadai sawah yang kemudian disewakan dengan sistem bagi hasil. Hasilnya, Nurhasanah bisa membangun rumah dan menyekolahkan tiga orang anaknya.

Kini setelah menjadi dewan, Nurhasanah tetap membina dan memberikan bantuan modal usaha untuk mantan-mantan TKI dan pemuda di Lombok Timur agar mereka tidak menjadi buruh migran seperti dirinya.

Bantuan modal

Nurhasanah memberi bantuan modal usaha untuk ternak sapi, pupuk bagi petani, peralatan mebel dan usaha bengkel yang kini semakin berkembang. Semuanya itu dikelola dan dikembangkan oleh warga.

Ahyardi, misalnya, mantan TKI yang mengalami kecelakaan kerja dan membuat tangannya harus diamputasi ini diberikan bantuan ternak kambing untuk dikembangbiakan. Dengan demikian, ia bisa tetap memiliki penghasilan untuk menghidupi keluarganya.

Nurhasanah berharap dengan secuil upaya yang dilakukannya, para TKI ke depan bisa lebih mandiri dan bisa mengelola keuangan dengan baik agar kehidupannya lebih sejahtera. Mereka tidak lagi harus bolak-balik ke luar negeri menjadi buruh migran.

"Masak kita mau jadi TKI terus, cukup saya sudah," tuturnya.

Meski menorehkan cerita sukses menjadi TKI, namun Nurhasanah tidak ingin para pemuda di kampungnya terus mengadu nasib ke negeri orang. Sebab, masih banyak potensi yang bisa dikembangkan di daerah sendiri. Bahkan ia sering mencegah calon-calon TKI berangkat ke luar negeri.

"Ibaratnya 10 TKI yang pulang, 100 yang pergi," tuturnya.

Perlu pembinaan

Aktivis buruh migran M Saleh mengatakan, salah satu permasalahan TKI di NTB adalah ketidakmampuan mereka mengelola hasil bekerja di luar negeri.

Selama ini, Saleh aktif melakukan pendampingan tidak hanya dari sisi perlindungan tetapi juga pemberdayaan TKI. Ia menuturkan, dalam program yang telah dilakukan, beberapa orang dilatih menjadi fasilitator di lapangan sebagai paralegal, penasihat keuangan, konselor dan pengelola informasi.

Mereka inilah yang nantinya menjangkau keluarga TKI dan mantan TKI untuk selanjutnya memberi pelatihan cara mengelola keuangan dan memanfaatkannya untuk modal usaha.

"Kalau di kita, banyak orang yang hanya sekali dua kali (menjadi TKI) karena didampingi bisa jadi berhasil," kata Saleh.

Berdasarkan data di Disnakertrans NTB, jumlah TKI NTB tahun 2015 mencapai 36.000 dengan remitan sebesar Rp 1,7 rriliun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar para TKI bekerja di Malaysia, terutama di sektor perkebunan. Sementara sisanya menjadi asisten rumah tangga di beberapa negara seperti Taiwan, Malaysia, Hongkong, Brunei dan Singapura.

"Secara nasional NTB urutan ketiga. Pertama Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB dan Jawa Timur," terang Sekretaris Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) TKI NTB, Zaenal.

Zaenal mengatakan, dari jumlah TKI tersebut, banyak di antaranya memiliki cerita sukses. Hasil dari bekerja di negeri orang mereka manfaatkan untuk membangun rumah, menyekolahkan anak dan membangun usaha.

"Kita bersama dinas terkait (membina TKI) supaya hasilnya tidak hanya konsumtif tetapi bisa dipergunakan untuk usaha dan biaya anak sekolah," kata Zaenal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com