Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mimi, Jatuh Bangun Membesarkan Markisa Noerlen Warisan Ibu

Kompas.com - 21/03/2016, 07:13 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis


Untuk mengantisipasi semakin berkurangnya pasokan buah, dia pun fokus menggarap minuman dan kue karena tidak banyak menggunakan bahan baku buah seperti sirup.

“Ini bukan berarti tidak idealis lagi, takut juga kakak di bilang tidak idealis lagi. Semua karena untuk mempertahankan cash flow. Karena kenapa? Ini amanah ibuku, tapi kakak berfikir, aku belum dapat link yang bisa menghidupi kehidupanku misalnya hotel bintang lima gitu,” ujarnya.

KOMPAS.com/Mei Leandha Lukisan Almarhum Noerlen dari limbah biji dan kulit markisa

Selain makanan dan minuman, Noerlen pun mengembangkan pemanfaatan limbah biji dan kulit markisa menjadi handicraft. Mulai dari tempat pinsil, pot, bingkai foto hingga lukisan menjadi karya unik yang berharga terjangkau, yakni mulai dari harga Rp 15.000 – an.

Para wisatawan pun bisa melihat langsung proses pembuatan sirup sampai pemanfaatan limbah. Tidak ada yang terbuang dari buah-buah berkulit keras tersebut, semuanya bisa di manfaatkan.

Menurut dia, pelancong dari Malaysia, Jepang, dan Jakarta sudah beberapa kali datang untuk melihat proses pembuatan sirup tersebut.

Mimi mengaku masih punya banyak ide yang dikembangkannya.  Namun dia terbentur berbagai masalah. Selain masalah ketersediaan bahan baku yang semakin minim, sumber daya manusia juga makin susah di dapat.

Di tengah keterbatasan bahan baku, Noerlen tetap mempertahankan kualitas produksinya dengan bahan-bahan alami dan berkualitas. Hal Ini pula yang diakui Mimi, membuat harga-harga produksi Noerlen berada di atas produk sejenis yang menggunakan bahan kimia.

“Sirup kami di suhu normal bisa bertahan enam bulan, tapi proses loading dan kargo membuat sirup dalam hitungan sebulan saja sudah bereaksi. Jadi tiga bulanlah untuk suhu normal, tapi kalau di kulkas bisa setahun,” ujarnya sambil merapikan rambut pendeknya.

Untuk menambah keberagaman produk yang dipasarkannya,  Mimi juga menggandeng produk rumahan lainnya yang bercita rasa unik dan khas Sumatera Utara, khususnya Medan.

Seperti orong-orong. Makanan ringan terbuat dari tepung dan ebi ini sudah ada sejak jaman saya SD, di Noerlen di jual dengan harga Rp 15.000 per bungkusnya.

“Ada juga bon-bon kelapa. Terus ada UKM yang memproduksi kerajinan-kerajinan tangan, ada tas tikar dan batik Gorga. Tas motif ulos harganya Rp 170.000, kalau batik Gorga Rp 230.000. Ini harga turis, ya... Kalau orang lokal, ada diskon 20 persen, semua item,” kata Mimi tertawa.

Sekarang Noerlen pun sudah banyak mengikuti pameran hampir seluruh Indonesia, dan negara-negara jiran seperti Malaysia, Thailand,  serta Singapura.  Menurut dia, hampir semua dibiayai dari kantong sendiri.

“Ibu aku aja beli beras dari Noerlen, kok! Dari Noerlen inilah kami beli beras. Aku termasuk yang melawan tapi aku membantu Noerlen ini. Kenapa aku mati-matian karena enggak ada yang bisa ku balas sama ibu ku. Kalau ingat itu, tak ada minder ku,” ucapnya.

Semua upaya yang dilakukan perempuan ramah dan periang ini untuk mengembangkan dan membesarkan Noerlen akhirnya mendatangkan kepuasan pada diri ibu satu anak, Dzaky yang sedang bersekolah di Singapura.

Dia merasa, hanya dengan cara inilah membalas budi baik ibunya. Bentuk baktinya pada orang tua.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com