Setelah sekian lama mengurusi soal-soal minyak dan gas di perusahaan swasta asing di Jakarta, kini intelektual dari Jember, Jawa Timur, itu mengabdi kepada negara dengan ikut mengurusi hal-hal kelistrikan.
Cukuplah seringkas itu saja perkenalanmu dengan Amrul. Lebih dari itu, aku ceritakan tentang suatu malam dia bertanya satu hal di luar dunia sehari-harinya.
"Gus, apakah memberi sesaji bunga kepada keris dan membakar kemenyan itu perbuatan syirik?"
Masih untung Amrul bertanya tentang mistisme. Takkan berani aku menulis ini jika dia menyoal minyak dan gas, atau listrik. Namun, aku mencoba untuk menjawabnya secara rasional. Sesuai nalar yang bisa diterima Insinyur Amrul.
"Mas, Sampeyan punya telepon genggam?"
"Punya, Gus. Tapi, apa hubungannya dengan keris?"
"Coba berilah makan telepon genggam Sampeyan itu dengan bunga dan kemenyan."
"Wah, tidak bisa, Gus. Yang dibutuhkan telepon genggam ini pulsa dan sinyal."
"Nah, saya juga tidak tahu cara memasukkan kartu pulsa isi ulang dan tidak bisa pula mengaktifkan Wifi untuk keris."
Masing-masing memiliki makanan dan cara makannya sendiri. Dan, yang paling penting adalah hal tersebut tidak syirik. Bukan perbuatan menyekutukan Tuhan.
Dengan diberi makanan berupa esensi bunga dan kemenyan, keris menjadi berdaya dan bisa bekerja. Mulai dari menangkap frekuensi tertentu, menyatu dalam gelombang, hingga mengirim dan menerima pesan.
Sebagaimana keris dan pusaka-pusaka lainnya, telepon genggam juga berfungsi di ranah gaib yang tidak kasat mata.
"Gaib?"
"Ya. Frekuensi. Bukankah frekuensi itu gaib? Tidak tertangkap indera."