Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi di Balik Rencana Mempertaruhkan Bencana Asap di Riau

Kompas.com - 01/02/2016, 09:10 WIB
Syahnan Rangkuti

Penulis

Dua pekan lagi, di bulan Februari 2016, kekeringan akan melanda Riau. Musim kemarau di wilayah tengah Pulau Sumatera itu, merupakan yang pertama tiba di Tanah Air pada awal 2016 ini.

Sepanjang kurun 18 tahun, musim kering di daerah itu selalu membawa bencana asap. Partikel aerosol berbahaya yang melayang di udara akan tersebar ke provinsi di dekatnya dan sesekali mencapai negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia .

Selama ini ada semacam pemahaman apabila ada bencana asap, hampir dapat dipastikan asal muasalnya dari Riau. Riau identik dengan produsen asap.

Maklum lebih dari setengah daratan Riau seluas total 8 juta hektar, merupakan rawa gambut. Gambut kering sangat mudah terbakar.

Fakta itu belum terbantahkan, meski sudah ada sedikit perbaikan. Tahun 2015, Sumatera Selatan dan Jambi menggantikan Riau menjadi pemasok asap terbesar di Sumatera.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini diskursus tentang pencegahan kebakaran lahan dan hutan di Riau, sudah dimulai sejak awal tahun ini.

Mungkin itu disebabkan pengarahan Presiden Joko Widodo yang mewanti-wanti seluruh daerah rawan bencana asap untuk segera melakukan persiapan. Apapun alasannya, pencegahan itu adalah sebuah kemajuan.

Ancaman Presiden akan mencopot petinggi TNI dan Polri di daerah rawan kebakaran telah membuat gebrakan pencegahan kebakaran di Riau menjadi hidup.

Polda Riau langsung membentuk sebuah lembaga yang disebut Forum Masyarakat Gotong Royong Melawan Kebakaran Lahan dan Hutan. Polisi membentuk 42 kelompok masyarakat dengan sekitar 1.500 personel untuk bergotong royong di 12 kabupaten dan kota rawan bencana asap.

Langkah Polri dan TNI
Menurut Kepala Biro Operasional Polda Riau, Komisaris Besar Edi Setio BS, polisi sudah berbuat di lapangan. Bersama kelompok gotong royong itu, polisi melakukan sosialisasi Maklumat Kepala Polda Riau tentang larangan membakar.

Polisi juga menggandeng warga dan perusahaan di sekitar lokasi konsesi dan pemukiman untuk membangun embung dan sekat kanal seadanya. Seadanya artinya, dibuat  secara sederhana dengan tumpukan kayu dan batu, namun cukup dapat diandalkan dalam jangka pendek.

TNI pun tidak mau kalah. Komandan Korem 031 Wirabima, Riau, Brigadir Jenderal Nurendi membentuk lembaga yang bernama Gabinsa atau Tenaga Pembina Desa.

Kelompok ini memang bekerjasama dengan Babinsa (Bintara Pembina Desa) TNI yang ditempatkan di desa-desa. Tugas Gabinsa membantu desa untuk mencegah bencana.

Persiapan anggota Gabinsa cukup berat. Selama tiga hari, seluruh anggota mendapat gemblengan fisik dan mental di maskas batalion TNI.

Mereka tidak hanya diberi pembekalan materi pencegahan kebakaran lahan melainkan juga ilmu bela negara dan sedikit ilmu intelijen praktis.

“Sekarang ini kami sudah merekrut dan mendidik 150 anggota Gabinsa. Target kami pada tahun ini mencapai 1.000 orang,” kata Nurendi.

Kepala Staf Kodam I Bukit Barisan, Brigadir Jenderal Widagdo menyatakan siap mengirimkan patroli anggota TNI di daerah-daerah rawan bencana. Hanya saja, biaya operasional bantuan TNI itu harus disediakan oleh pemerintah daerah, karena TNI tidak memiliki dana untuk tugas itu.

Usulan Widagdo sangat masuk akal. Daripada mengirimkan ribuan TNI untuk memadamkan api di hutan yang bukan spesialis pekerjaannya, jauh lebih baik mengirimkan anggota militer untuk berpatroli. Biaya patroli pasti lebih murah daripada memadamkan.

Seorang direktur perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri di Riau pernah mengatakan, pengalaman tahun 2015 lalu mengungkap fakta bahwa patroli TNI dari Kostrad mampu menekan angka kebakaran sebesar 50 persen.

Desa bebas api
Perusahaan kertas dan bubur kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) juga memiliki program pencegahan menarik.

Grup APRIL ini menantang desa-desa di sekitar konsesinya untuk bebas dari api. Apabila desa mampu terbebas dari kebakaran lahan, akan diberikan dana sebesar Rp 100 juta dalam bentuk program pembangunan desa.

Program itu sudah dimulai tiga tahun lalu. Menurut Presiden Direktur PT RAPP Tony Wenas, pada tahun 2013 baru empat desa dilibatkan. Pada 2014 meningkat menjadi sembilan desa dan pada tahun ini, perusahaan pabrik kertas terbesar di Indonesia itu akan melibatkan 20 desa.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI Peluncuran program Desa Bebas Api di di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau pada Sabtu (30/1/2016).
Menurut Tony, pada tahun 2013, luas lahan yang terbakar pada empat desa itu mencapai 1.000 hektar. Dengan pola kemitraan yang dilakukan pada 2014 kebakaran menurun menjadi 600 hektar.

"Pada 2015, luas areal kebakaran tidak sampai 50 hektar. Pada tahun 2016 ini, kami menargetkan tidak ada lagi kebakaran di 20 desa yang ikut program itu,” kata Tony dalam pencanangan Desa Bebas Api di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau pada Sabtu (30/1/2016) lalu.

Program Desa Bebas Api itu, menurut Tony,  ternyata dilirik oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan. Dirut BPDP Bayu Krisna Murthi kata Tony berjanji mencanangkan 100 desa bebas api pada tahun ini di Indonesia.

Inti desa bebas api yang ditantang PT RAPP sebenarnya mengajak warga desa untuk membuka lahan tanpa membakar. Sebagai alternatif, perusahaan memberi bantuan pengadaan alat berat dan asistensi pola bertanam kepada petani desa.

Desa Pelalawan, Kecamatan Pelalawan dan Desa Kuala Panduk, Kecamatan Teluk Meranti adalah dua desa yang sudah mencicipi dana bebas api sebesar Rp 100 juta dari PT RAPP. Dana itu telah dipakai untuk memperbaiki sekolah desa dan membangun pos keamanan desa.

“Setiap turun ke masyarakat kami tidak pernah lupa mengajak warga untuk tidak membakar lahan lagi. Kami sampaikan pesan itu dimana saja baik di kedai, pertemuan warga, pesta pernikahan sampai di masjid-masjid,” kata Edi Arifin, Kepala Desa Pelalawan menuturkan kiatnya.

Sebaliknya menurut HM Yunus, Kepala Desa Sering, Kecamatan Pelalawan yang sudah ikut program Desa Bebas Api, tugas menjaga desa bebas kebakaran bukan hal mudah. Meski sudah ikut sejak 2013, belum pernah desa mereka terbebas dari api 100 persen.

Menurut Yunus, pada tahun 2014, luas lahan terbakar di desanya mencapai 60 hektar. Pada tahun 2015 luasnya menurun menjadi 14 hektar.

"Sudah ada perbaikan, namun masih ada juga kebakaran yang tidak mampu kami atasi terutama pada lahan kosong yang jauh dari pemukiman desa. Kami tidak tahu siapa pemilik lahan itu,” kata Yunus.

Lahan tanpa pemilik
Persoalan kebakaran di lahan tanpa pemilik itu juga disampaikan oleh Bupati Pelalawan, HM Harris. Pada kemarau 2015 lalu, kebakaran di Pelalawan adalah penyumbang asap terbesar di Riau. Sebagian besar api berasal  dari lahan tidak bertuan, seperti yang disebutkan Harris itu.

Lahan tak bertuan yang dimaksud Harris sebenarnya adalah  kawasan hutan yang dirambah. Secara de jure, kawasan itu  memang milik negara, namun secara de facto dikuasai oleh perambah bermodal.

Pelalawan memang menjadi daerah incaran para perambah hutan terbesar di Riau. Di kabupaten itu terdapat dua wilayah hutan konservasi yaitu Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan Suaka Margasatwa Kerumutan yang sudah luluh lantak.

Dua hutan yang menjadi tanggungjawab Kementerian Kehutanan itu justru menjadi sumber kebakaran terbesar yang tidak mampu dikendalikan pada 2015.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI Anggota Manggala Agni sedang sibuk memadamkan api yang menyala secara sporadis di Suaka Margasatwa Kerumutan, Rabu (28/10/2015).
TNTN dengan luas areal mencapai 83.000 hektar, kini nyaris habis. Data WWF Riau menyatakan, 80 persen tutupan hutan konservasi gajah Sumatera itu sudah terbuka dan berganti tanaman kelapa sawit.

Bila dibiarkan, dalam beberapa tahun kedepan dapat dipastikan hutan kebanggaan warga Riau itu akan hilang selamanya. Nama TNTN selayaknya diubah menjadi Taman sawit Tesso Nilo saja.

Nasib Suaka Margasatwa Kerumutan juga demikian. Ribuan hektar lahan suaka itu dirambah dan dibakar. Pada 2015, saat Kompas.com memberitakan kebakaran di SM Kerumutan di lokasi Kecamatan Teluk Meranti, barulah polisi melakukan penyelidikan.

Posisi perambahan itu berada di sebelah perkebunan kelapa sawit milik sebuah koperasi yang disebut-sebut ilegal (diduga masuk ke wilayah suaka). Namun, perkembangan kasus itu sekarang ini tidak jelas apakah masih berlanjut atau sudah dipetieskan.

Di sisi lain lagi, aparat Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai penanggungjawab hutan konservasi di Riau, belum terdengar melakukan sosialisasi ataupun gerakan untuk mencegah kebakaran di kawasan hutannya. Kondisi TNTN dan SM Kerumutan masih tidak pernah dijaga dan diurus secara serius.

Kebakaran di lahan tak bertuan bukan hanya pada kawasan konservasi, melainkan juga pada hutan produksi atau hutan produksi terbatas yang dirambah oleh pemodal kecil sampai besar, pejabat, politisi, polisi, TNI dari level daerah sampai pusat. Perambah itulah yang kerap membakar hutan.

Ada teori menyebutkan wajar saja apabila perambahan menggila karena akses perusahaan mendapatkan lahan maha luas sangat mudah diberikan negara, namun sebaliknya sangat sulit untuk memberi secuil lahan buat individu warga negara.

Konsekuensi penyelesaian sengketa atau perambahan yang sudah begitu besar di hutan konversi atau produksi pasti tidak akan mampu diselesaikan pemegang konsesi semata tanpa melibatkan negara.          

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebenarnya terkesan mau menang sendiri. Sebagai komponen dari pemerintah, sangat wajar kementerian mencabut atau membekukan izin perusahaan yang arealnya terbakar. 

Namun apakah ada sanksi buat sang Menteri saat hutan konservasinya juga ikut terbakar?

Pencegahan bencana asap yang terkesan ogah-ogahan diperlihatkan oleh Pemerintah Provinsi Riau. 

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI Tunggul kayu yang menjadi tanda kepemilihan lahan di areal Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.
Pelaksana Tugas Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman hanya mengatakan telah menyediakan dana Rp 120 miliar untuk penanggulangan bencana, termasuk pencegahan. Namun, sampai sekarang, pencegahan itu masih sekadar wacana di atas kertas.

Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldi Jusman mengatakan, anggaran pencegahan bencana Riau dalam  APBD 2016 yang murni untuk pencegahan sebenarnya hanya Rp 7 miliar yang terletak di Dinas Kehutanan.

Anggaran itu untuk membangun sekat kanal. Namun ketika hal itu dipertanyakan, Kepala Dinas Kehutanan Riau Fadrizal Labay bahkan tidak bersedia memberi informasi.  

Kepala BNPB Willem Rampangilei, secara langsung sudah memerintahkan Arsyadjuliandi untuk membentuk lembaga pencegahan kebakaran yang melibatkan masyarakat desa.

Waktu pembentukan lembaga itu hanya 10 hari sejak 27 Januari 2016. Artinya, waktunya tinggal sepekan lagi. Apakah Pemprov Riau mampu melaksanakan amanat itu?

Fakta-fakta di atas menarik untuk dikritisi. Disatu sisi TNI dan Polri serta beberapa perusahaan sudah bergegas menyambut musim kering. Namun disisi lain, pemilik hutan dan penguasa daerah  sesungguhnya masih lebih banyak diam dan terkesan cuek.

Apakah  tahun 2016 ini bencana asap yang meluluhlantakkan hampir seluruh sendi kehidupan itu tidak akan terjadi lagi?  Entahlah. Mari kita lihat nanti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com