Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/07/2015, 15:00 WIB

Benda dan bangunan cagar budaya di Cirebon belum optimal dikemas menjadi paket wisata yang menarik. Orang hanya lewat Cirebon untuk makan nasi jamblang, empal gentong, dan nasi lengko. Akan tetapi, para pengunjung itu mungkin tidak akan menginap, membeli oleh-oleh, dan berbelanja di sentra-sentra kerajinan Cirebon jika kota itu tidak memiliki daya tarik yang kuat.

"Banyak bangunan bersejarah dan unik, tapi tidak dikemas. Cirebon juga punya banyak kesenian, seperti sandiwara, tari, dan musik, tetapi semua tidak diolah menjadi satu sajian pertunjukan yang rutin dan berskala nasional. Jika orang datang ke sini, tanpa ada event apa-apa, mereka pasti ingin cepat pulang. Apalagi ada Tol Cipali yang bisa dua-tiga jam saja ke Jakarta dan Bandung," ujar Reza resah.

Selama ini okupasi hotel di Cirebon saat akhir pekan sekitar 50 persen, sedangkan saat hari kerja sampai 70 persen. Tamu adalah pebisnis, pedagang, dan pegawai pemerintah.

Masalah lain, menurut Mustaqim Asteja, Koordinator Kendi Pertula, komunitas pencinta sejarah Cirebon, hilangnya ruang publik dan bangunan cagar budaya yang kini berubah menjadi mal dan hotel. Padahal, itulah kekayaan Cirebon.

"Kantor Wali Kota Cirebon dulunya juga merupakan balai kota terindah di Jawa Barat. Balai Kota Cirebon selesai dibangun tahun 1927, di bawah kepemimpinan Wali Kota RA Schotman (1925-1928). Gedung dibangun mengikuti bentuk kapal dengan dermaga yang melintang di kedua sisinya," kata Mustaqim.

Bangunan lain adalah bekas pabrik rokok British American Tobacco (BAT) di Jalan Pasuketan. Bangunan ini seperti tiada arti lagi. Sepi. Almarhum Wali Kota Cirebon Ano Sutrisno pernah berupaya menjadikan kawasan di sekitarnya itu sebagai area jajanan anak muda di malam hari. Namun, nilai historis bangunan beserta kekayaan budayanya di kawasan pecinan itu belum dioptimalkan. Padahal, di Surabaya mengembangkan pecinan di Kembang Jepun menjadi sentra makanan bertema Tionghoa, Kya Kya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2015, di halaman 22 dengan judul "Pergulatan Kota Perbatasan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com