Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Keadilan Sulit Berpihak kepada "Wong Cilik"...

Kompas.com - 12/02/2015, 09:53 WIB
SEMARANG, KOMPAS.com - Sri Mulyati tidak pernah membayangkan bakal menjalani hidup di dalam bui selama berbulan-bulan dengan kesalahan yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Ibu yang berusia 40 tahun dan memiliki empat anak itu merasakan betapa pahit berhadapan dengan hukum. Gara-gara ia dipenjara, sekolah anak-anaknya berantakan dan ekonomi keluarga morat-marit, dan bahkan terjerat utang.

Pada 8 Juni 2011, Sri yang bekerja sebagai kasir di Karaoke ACC, Semarang, ditangkap setelah sejumlah polisi merazia tempat hiburan ini. Sebenarnya, saat itu ia tidak berada di kantor. Namun, karena dipanggil manajernya, Joni, Sri pun datang.

Sri tidak diberi tahu untuk apa disuruh datang ke kantor karaoke itu. Akan tetapi, sungguh menyakitkan ketika Sri, yang bekerja di karaoke itu sejak 2009, tak berkutik saat digelandang ke Markas Polrestabes Semarang dengan sangkaan mempekerjakan pemandu karaoke berusia di bawah 17 tahun.

Tidak pernah ada bayangan di kepalanya bahwa suatu saat bakal berurusan dengan hukum, apalagi sampai ditahan, kemudian dibui, dan didenda oleh Negara. Namun, Sri, yang kala itu menanggung hidup empat anaknya yang masih kecil, harus menghadapi kenyataan pahit.

Kepada polisi, ia menyangkal sebagai orang yang memutuskan menerima pemandu karaoke berusia di bawah 17 tahun di karaoke milik Santoso Wibowo. Ia hanya seorang kasir dan penerima tamu di tempat hiburan tersebut.

Namun, penjelasan Sri tidak digubris polisi. Perempuan tersebut tidak berdaya dan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka atas kasus mempekerjakan anak di bawah umur.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, ia dinyatakan bersalah dan dihukum delapan bulan bui. Karena yakin tidak bersalah, ia mengajukan banding. Namun, bukan keringanan hukuman yang digenggam dari vonis Pengadilan Tinggi Semarang, melainkan hukuman yang bertambah berat.

Di pengadilan banding, ia malah diganjar 12 bulan bui dan denda Rp 2 juta subsider dua bulan penjara. Vonis banding tersebut seolah meruntuhkan semangat hidup dan harga diri keluarga. Cibiran tetangganya atas kasus yang dihadapi sungguh mengganggu anak-anaknya.

Bukan itu saja, tambahan hukuman beserta denda uang kian menambah suram Sri Mulyati dalam menatap masa depan. Karena yakin tidak melakukan kesalahan, dengan didampingi LBH Mawar Saron, Sri Mulyati kembali berjuang untuk memperoleh keadilan di Mahkamah Agung.

Ia ingin tidak hanya diputuskan tidak bersalah, tetapi juga menuntut ganti rugi karena selama dibui ia kehilangan nafkah Rp 750.000 per bulan dari Karaoke ACC.

Tak bersalah

Keadilan akhirnya memihak Sri Mulyati setelah Mahkamah Agung pada Januari 2014 dalam putusannya menetapkan ia tidak bersalah sekaligus berhak memperoleh ganti rugi. Sebelumnya, ia menuntut negara memberi ganti rugi Rp 24 juta.

"Kami tuntut penggantian sesuai dengan upah minimum kabupaten/kota saat itu karena selama 13 bulan dipenjara ia tidak bisa bekerja. Kami juga minta ganti rugi imateriil. Akan tetapi, MA hanya mengabulkan Rp 5 juta," ungkap Guntur Perdamaian Ginting dari LBH Mawar Saron di Semarang.

Kendati ganti rugi yang dikabulkan MA jauh lebih kecil dibandingkan dengan tuntutannya, Sri Mulyati sangat berharap uang tersebut bisa segera dibayarkan. "Bagi saya, uang tersebut sangat berarti pada saat ini," ujar dia, ketika ditemui Ratna Setianik dan Novi Dewi Kurniawati, dua mahasiswi Universitas Negeri Semarang, Selasa (10/2/2015).

Kehidupan Sri setelah keluar dari penjara memang tidak mudah. Bahkan, suaminya, Hendra Wijaya (60), kini mulai sakit-sakitan. Tiga anaknya putus sekolah karena tidak bisa membayar biaya sekolah. Anak pertama, Drajat, waktu itu kelas IX SMP, Selfi kelas VIII SMP, dan Donna kelas VII SMP.

Semuanya putus sekolah kala ia mendekam di bui. Kini hanya anak yang terakhir, yaitu Putri, yang masih sekolah dan duduk di bangku kelas VIII SMP. Sejak mendekam di penjara hingga keluar, hidupnya memang berubah drastis. Namun, yang paling mengganggu adalah pandangan sinis tetangganya.

"Bagi saya, yang paling sulit adalah mengembalikan kepercayaan diri anak-anak saya. Mereka risih dengan perkataan tetangga yang suka bergunjing tentang keluarga saya, tapi saya tidak henti-hentinya menyuruh mereka untuk tidak memedulikan perkataan orang lain," tuturnya.

Ia kini bekerja sebagai juru masak di sebuah rumah makan di kawasan Mugas dengan gaji sekitar Rp 600.000 per bulan. Dengan usia yang tidak bisa dibilang muda, Sri memang tidak punya banyak pilihan untuk mencari pekerjaan.

Dengan gaji yang sedikit, ia mengaku kini lebih fokus mengurus anak-anak dan suaminya yang menderita sakit komplikasi sehingga memerlukan pengobatan komprehensif.

Ia menceritakan, kendati MA sudah memutuskan dirinya tidak bersalah, sejauh ini tidak ada pertanggungjawaban dari pihak pengelola karaoke, padahal tempat hiburan ini masih beroperasi seperti biasa. "Tidak ada pihak yang datang untuk meminta maaf atau beritikad baik untuk membantu saya. Mereka hanya berjanji akan menyelesaikan kasus saya, tetapi tidak ada buktinya," katanya.

Namun, Sri kini tidak memikirkan apa pun lagi tentang kasus tersebut selain ganti rugi dari negara karena ia sangat membutuhkan uang tersebut untuk membayar utang selama ia berada di bui.

Sulit dipahami
Nasib suram juga pernah dialami Nenek Minah (55), warga Desa Darma Kradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, yang menjalani tahanan rumah selama tiga bulan.

Ia dituduh mencuri tiga buah kakao di tempatnya bekerja, PT Rumpun Sari Antan 4, di Desa Darma Kradenan. Minah mengaku mengambil buah kakao yang jatuh, tetapi ia tetap disangka mencuri sehingga ditahan di rumah dan diadili.

Orang-orang kecil ketika berhadapan dengan hukum memang sering tidak berdaya. Bandingkan dengan apa yang dialami oleh mantan Bupati Kendal, Jawa Tengah, Siti Nurmarkesi.

Siti Nurmarkesi yang divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Semarang dengan hukuman tiga tahun penjara pada 9 Februari 2015 tidak langsung masuk bui. Ia masih bisa menghirup udara bebas.

Sejak awal disidang hingga selesai pemeriksaan perkara, Nurmarkesi memang tidak pernah ditahan. Pun setelah Pengadilan Tipikor Semarang memvonis hukuman tiga tahun bui untuk politikus Partai Golkar tersebut.

Alasannya, menurut hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Gatot Susanto yang mengadili perkara korupsi mantan Bupati Kendal Siti Nurmarkesi, dalam KUHAP dijelaskan tentang pertimbangan subyektif dan obyektif hakim berdasarkan hukum.

Hukum terlihat tumpul juga terlihat dalam kasus pemilik rekening bermasalah Labora Sitorus, terpidana kasus pencucian uang, penimbunan minyak, dan pembalakan liar. Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya menghukum Labora 15 tahun penjara.

Labora keluar dari LP Sorong ketika mengajukan izin berobat pada Maret 2014. Namun, setelah itu, ia tidak kembali hingga diketahui berada di rumah sekaligus lokasi usahanya. Ia mendapat perlindungan dari ratusan karyawannya.

Dalih pertimbangan subyektif dan obyektif memang diatur dalam KUHAP, tetapi hal itu tetap sulit dipahami oleh kebanyakan orang kecil ketika berhadapan dengan hukum. Selain sulit dipahami, klausul itu seperti "karet", mudah ditarik ulur untuk kepentingan tertentu.

Bagi Sri Mulyati, Nenek Minah, dan "wong cilik", hukum itu agaknya serupa dengan sarang laba-laba. Ia hanya bisa menjerat serangga kecil, tetapi jebol ketika dilewati kadal dan hancur berantakan bila ditembus buaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com