Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berharap Sejahtera dari Ketela...

Kompas.com - 29/10/2014, 14:04 WIB
Kontributor Semarang, Puji Utami

Penulis

SEMARANG, KOMPAS.com - Memasuki gerbang perkampungan, sudah terlihat hamparan kebun yang luas dengan tanaman ketela pohon di samping kanan kiri jalan berliku. Selain itu, pohon pisang juga berjajar, dengan pohon jati dan berbagai tanaman lain.

Meski mudah ditanam dan tanpa perlu perawatan khusus, namun ketela pohon di kawasan ini tampak lebih dirawat dan dibudidayakan. Terlihat dari rapinya tanaman yang berjajar, tidak ada tumpang sari dan tidak ada rerumputan di bawahnya. Warga sekitar menyebut, tanaman itu tidak dicampur dengan tanaman lain agar kualitasnya lebih bagus.

Dukuh Talunkacang, Desa Kandri, Kecamatan Gunungpati Kota Semarang, memang dikenal sebagai penghasil ketela pohon yang juga disebut singkong atau ubi kayu. Jenis yang ditanam yakni ketela pohon manis dengan kulit luar umbi berwarna agak hitam dan daunnya bisa diolah menjadi sayur.

Kawasan ini memang dikenal memiliki struktur tanah yang cocok untuk tanaman perdu wilayah tropis itu.

Sudah menjadi warisan nenek moyang pula jika warga di dukuh tersebut terbiasa mengolah ketela, terutama menjadi tape. Kawasan ini merupakan penghasil tape yang terkenal di Semarang. Tape Dukuh Talunkacang dikenal manis, putih dan bersih.

"Menanam singkong itu kan mudah, di musim kemarau saja tetap bisa hidup. Kalau menanam padi di sini agak susah, jadi ya warga banyak yang menanam singkong," ungkap Karyadi (44), salah satu pembuat tape.

Warga RT 4 RW 3 itu sehari-harinya bergelut dengan ketela pohon sejak pagi hingga malam. Dalam sehari, setidaknya ia memproduksi sebanyak delapan keranjang tape besar yang dipasarkan di Pasar Johar, Karangayu dan Pasar Bulu.

"Usaha ini sudah turun temurun, sewaktu saya kecil, mbah saya juga membuat tape. Sebagian besar warga di sini juga membuat tape. Kalau kata orang-orang, tape-nya sini beda lebih enak, manis, putih dan bersih," ujar dia.

Ketela itu dia dapatkan dari warga sekitar maupun kebun sendiri. Hanya saja, ia tidak mencoba olahan ketela pohon lainnya. Ia hanya menekuni usaha tape, dan saat ini juga tengah menekuni usaha kerajinan dari bambu.

Proyek waduk memberi perubahan
Dukuh Talunkacang dekat dengan kawasan wisata Goa Kreo yang saat ini juga sudah dibangun mega proyek Waduk Jatibarang. Adanya proyek tersebut, ungkap Karyadi, memberi banyak perubahan bagi warga. Sebab itu, dia berharap bisa membuat sentra kerajinan bambu dan makanan tape di rumahnya yang persis berada di pinggir jalan.

"Siapa bisa lebih kreatif dan menangkap peluang ya sangat memberi harapan untuk maju, karena sejak ada proyek ini pengunjung Goa Kreo menjadi ramai karena waduknya juga menjadi daya tarik. Meski lahan singkong berkurang, tapi masih mencukupi dan ada usaha lain untuk warga," tutur dia.

Sawiyah (49), warga RT 3 RW 3 juga mengatakan hal serupa. Menurut dia, penduduk sekitar juga dipercaya ikut mengelola kawasan wisata itu. Sawiyah saat ini menekuni usaha produksi aneka olahan ketela pohon dan semakin bertekad menjadikan produknya sentra oleh-oleh dari kawasan Kreo.

Berawal sejak 2007, ia mulai mengolah aneka macam makanan seperti dodol tape, cake tape, brownies tape dan aneka keripik dari singkong. Inovasi itu diperolehnya melalui pelatihan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes).

"Kalau produksi tape saja sudah lama sekali, dari mbahnya simbah sudah buat," tutur dia saat ditemui di salah satu kios di kawasan Goa Kreo.

Saat ini, istri dari Saki (54) ini, dibantu tiga orang secara tetap dalam berproduksi setiap harinya. Sedangkan, jika ada pesanan yang banyak, ada sejumlah tetangga yang terbiasa membantunya. "Pokoknya enggak ada kata bosen, pagi siang sore malam ya pegangnya singkong. Kadang nyoba produk baru, kalau berhasil ya diproduksi banyak. Sekarang sedang mencoba aneka olahan talas," tutur dia.

Produk yang dihasilkan pun bukan hanya asal-asalan, namun juga memiliki sejumlah izin seperti perizinan produksi pangan industri rumah tangga, hingga mengurus izin halal dari MUI. Selain itu, tempat produksinya juga menjadi binaan dari Kantor Ketahanan Pangan Kota Semarang.

"Kalau ada yang mau belajar olahan tape ini, siapa saja saya persilahkan, ini juga mulai dibuat paket wisata. Yang penting ulet dan tekun saya yakin usaha ini bisa besar," ujar dia.

Kemandirian pangan dan olahan pangan alternatif non beras saat ini memang tengah digalakkan oleh Pemerintah Kota Semarang. Konsumsi bahan pangan lokal ini terus digiatkan dan menjadi program kerja dari Kantor Ketahanan Pangan.

Sejumlah kegiatan itu meliputi desa mandiri pangan, rumah pangan lestari, serta pelatihan pengolahan pangan alternatif. "Sejumlah makanan alternatif yang bisa dimanfaatkan seperti umbi-umbian yang banyak tumbuh di berbagai wilayah di Kota Semarang. Mengonsumsi bahan pangan alternatif juga menghemat secara ekonomi karena kota semarang tidak mampu suplai beras," ungkap Kepala Badan Ketahanan Pangan Intan Indriawan

Hal ini, menurut dia, terus disosialisasikan agar lebih banyak masyarakat yang mengonsumsi makanan alternatif berbahan baku lokal. Selain itu juga dilakukan berbagai pelatihan produksi olahan pangan serta pemberian kesempatan untuk ikut berbagai pameran produk pangan lokal. Aneka produk olahan lokal ini juga bisa menjadi oleh-oleh dan mengembangkan produk makanan lokal khas Semarang.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, potensi pertanian Kota Semarang memang ternbilang membanggakan dan perlu digali lagi. Ia berharap sejumlah program pemerintah juga mendapat dukungan dari masyarakat. "Potensi unggulan pangan lokal perlu terus digali, dengan mengenal diharapkan tumbuh rasa mencintai untuk mengembangkan potensi lokal yang ada di Semarang," ujar dia.

Mempertahankan kearifan lokal
Kawasan Goa Kreo dikenal sebagai petilasan Sunan Kalijaga saat mencari kayu untuk pembangunan Masjid Demak. Ratusan kera ekor panjang di kawasan tersebut dipercaya telah membantu Sunan Kalijaga ketika itu.

Meski saat ini sudah berubah karena adanya pembangunan, namun warga sekitar tetap melestarikan kearifan lokal yang ada. Terbukti dengan masih diselenggarakannya ritual sesaji Rewanda setiap hari ketiga Idul Fitri setiap tahunnya.

Terdapat sesaji gunungan berisi buah-buahan dan hasil pertanian pada ritual tersebut. Tokoh masyarakat Kandri, Kasmani mengatakan selain melestarikan tradisi, ritual itu juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. "Pada ritual itu juga memberi makan pada para monyet. Ini bentuk upaya warga untuk menjaga keseimbangan alam dan hewan di kawasan Kreo," ujar dia.

Desa Kandri, oleh Pemkot Semarang sudah ditetapkan menjadi desa wisata. Terdapat sejumlah pelaku wisata dikawasan itu yang terus meningkatkan pelayanan, fasilitas serta paket-paket wisata. Seperti paket wisata pembuatan tape ataupun olahannya, menanam singkong, menanam padi serta arung jeram di sungai kawasan wisata Goa Kreo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com