Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kopi untuk Selamatkan Korban Prostitusi

Kompas.com - 05/09/2014, 10:04 WIB


"Lusa itu apa?" kata O, anak perempuan berusia 13 tahun. Tatapan O kosong. Gambar hati, seperti lambang cinta, yang dituliskan dengan tinta pulpen sekilas terlihat di telapak tangan kirinya.

Namun, O bersikeras tidak menunjukkan detail gambar itu kepada orang lain. O, yang berambut pendek seperti karakter kartun Betty Boop rekaan seniman Max Fleischer, lebih tertarik terhadap penjelasan konsep lusa sebagai hari setelah esok.

Sejurus kemudian, O tiba-tiba mengutarakan keinginannya untuk menjadi pengasuh bayi. "Udah enggak sabar mau kerja jadi babysitter karena senang banget sama anak kecil," kata O.

Ketika itu kami bertemu di sebuah ruko yang dijadikan Sekretariat Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung dan organisasi nirlaba Bantuancoffee.org di Bandar Lampung, Lampung. O merupakan korban perdagangan manusia (human trafficking) dan berujung pada prostitusi anak, yang kini tengah didampingi sejumlah aktivis dari kedua lembaga tersebut.

Salah seorang pendamping O, Farichah Noor Laila, yang juga pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, mengatakan, O merupakan anak dengan kebutuhan khusus. Kisah tragis itu diawali setelah O pergi dari rumah dan lantas bertemu dengan sejumlah orang yang kemudian menjerumuskannya dalam dunia prostitusi.

”Ia tidak mengerti pulang karena O anak berkebutuhan khusus. Lalu ia dikenalkan oleh teman dekatnya kepada pelaku,” kata Noor.

Suster Katarina dan Suster Valentina dari Susteran St Yusuf, Pringsewu, Lampung, menemukan O di Goa Maria Padang Bulan, Pringsewu, akhir Mei lalu, setelah menerima laporan ketua rukun tetangga setempat. Setelah melapor kepada polisi, yang berujung pada penetapan empat tersangka pelaku, mereka lantas berkoordinasi dengan para aktivis KBH Lampung dan Bantuancoffee.org yang fokus mendampingi anak-anak korban prostitusi.

”O saat ini terkena penyakit raja singa (sifilis) dan masalah lain adalah sekarang ini libido seks O menjadi besar,” tambah Noor.

Siang itu Noor mengingatkan O untuk mengonsumsi obat-obatan untuk menghilangkan penyakitnya. O juga membawa sejumlah buku sebagai bagian mengikuti program Kejar Paket A. ”Paling suka pelajaran Matematika,” ujar O.

Saat itu sudah empat hari O tinggal di rumah aman Dinas Sosial Provinsi Lampung yang diperuntukkan bagi korban perdagangan manusia. ”Batas tinggal di rumah aman (berdasarkan petunjuk teknis dinas sosial) selama 14 hari. Kalau sampai tenggat itu kami belum temukan rumah kontrakan, untuk sementara O tinggal di rumah saya,” kata Direktur KBH Lampung Muhammad Syarif Abadi yang juga salah seorang pendiri Bantuancoffee.org.

O merupakan bagian dari 200 anak korban prostitusi, berusia 13 tahun hingga 17 tahun, yang didampingi selama periode 2011-2014. Selain pendampingan, bahkan terkadang dilakukan pula operasi penyelamatan.

Langkah itu antara lain pernah dilakukan Aldi, salah seorang pendiri Bantuancoffee.org, yang mengeluarkan seorang anak berusia 16 tahun dari salah satu lokasi prostitusi. Aldi melakukannya dengan mendatangi kamar anak tersebut dan menyepakati tempat pertemuan di luar kompleks lokalisasi untuk kabur.

”Ia selamat karena berani. Besoknya saya yang dicari-cari germonya,” kata Aldi.

Padahal, imbuh Aldi, musabab terjerumusnya anak itu dalam dunia prostitusi hanya karena ia marah kepada ayahnya. Pasalnya, telepon seluler miliknya yang dipinjam sang ayah tak kunjung dikembalikan.

Penyebab ini yang berkelindan dengan keinginan mengikuti gaya hidup perkotaan cenderung lazim terjadi di wilayah pedesaan di wilayah Lampung yang relatif berdekatan dengan kawasan kota.

Mantan Sekretaris Jenderal Serikat Petani Lampung Purnomo Subagio mengatakan, hal itu karena wilayah pedesaan relatif belum siap menghadapi derasnya laju informasi dan arus konsumerisme.


Sebanyak 200 anak korban prostitusi itu didampingi setelah para aktivis Bantuancoffee.org membongkar jaringan mereka lewat pendekatan terhadap sekitar 10 penghubung. ”Sepuluh penghubung ini laki-laki, berusia 18 tahun hingga 25 tahun yang sebelumnya menjadi perantara dalam jejaring trafficking yang kami ubah pemahamannya,” ujar Aldi.

Para korban dicari, didekati, diselamatkan, didampingi, dan disembuhkan jika terinfeksi penyakit.

Adapun untuk penyelesaian kasus, sebagian di antaranya melalui proses litigasi dan sebagian tuntas dengan mekanisme nonlitigasi (di luar pengadilan). Koordinator program penyelamatan dan pendampingan anak yang menjadi korban eksploitasi seksual Bantuancoffee.org, Mahmudah, menyebutkan, terkadang ada hambatan soal pemahaman sebagian penyidik terkait penggunaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang membuat pelaku relatif sulit dijerat.

Aldi menambahkan, tak kurang dari Rp 15 juta diperlukan untuk membiayai pendampingan hingga masa transisi sebelum menempuh pendidikan. Kebutuhan biaya yang relatif besar itulah yang disokong Bantuancoffee.org dengan menjual kopi luwak ke Belanda dan menggunakan seluruh keuntungannya untuk kepentingan tersebut.

Syarif yang merupakan salah seorang inisiator Bantuancoffee.org mengatakan, skema gerakan itu dimulai pada 2012. Hal ini menyusul kucuran dana dari sejumlah lembaga donor yang biasanya dihentikan dalam periode waktu tertentu.

Padahal, saat kucuran dana dihentikan, program di lapangan untuk penanggulangan prostitusi anak belum sepenuhnya diselesaikan. ”Karena itulah Bantuancoffee.org didirikan dengan tujuan agar ada keberlanjutan program karena ini yang penting,” ujar Syarif.

Syarif mengatakan, Bantuancoffee.org sepenuhnya dijalankan di Belanda oleh sejumlah akademisi secara pro bono. Mereka di antaranya Robert Porter, Eldad Eitje, Malini Laxminarayan, Laura Klaming, dan Lorena Sosa.

Adapun ide pendirian Bantuancoffee.org didapat Syarif beserta Porter saat melakukan riset tentang topik hukum di Lampung dan Yogyakarta pada 2011. Untuk tujuan itu, Syarif mengumpulkan biji kopi arabica yang sudah dikonsumsi luwak dari Takengon, Aceh Tengah, Aceh.

Sekitar 10 kilogram biji kopi luwak bisa dipaketkan dalam sekali kirim untuk selanjutnya dilakukan proses roasting di Belanda. ”Tahun 2013, kami dapat dana Rp 137 juta,” kata Syarif.

Dana itu sepenuhnya digunakan untuk menyelamatkan anak-anak korban perdagangan manusia yang dijerumuskan dalam kegiatan prostitusi. Tentu saja, semakin banyak kopi luwak yang ditransaksikan dengan skema ini, semakin banyak anak- anak seperti O yang bisa lolos dari jerat transaksi prostitusi.(Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com