Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Perempuan Tangguh Penambang Emas

Kompas.com - 25/11/2013, 15:53 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis


BENGKULU, KOMPAS.com
 — Keringat bercucuran dari wajah dan tubuh Tati (35), perempuan penambang emas tradisional di Desa Tambang Sawah, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Cangkul tanah dan karung adalah perkakas yang akrab dengan kesehariannya.

Menjadi penambang tradisional dengan tubuh penuh tanah dan pakaian kotor mungkin tak pernah menjadi impian ibu lima anak ini. Sejak suami menderita sakit keras, praktis seluruh tanggung jawab keluarga ada pada dirinya, ibu sekaligus ayah.

Tati memiliki lima anak yang masih kecil, dua di antaranya masih bersekolah. Sementara itu, tiga lainnya harus rela hanya sampai pendidikan menengah saja. Telah satu tahun ia menggantungkan hidup dari lubang ke lubang tambang emas tradisional yang dibuat oleh kaum pria.

"Setelah satu tahun menambang emas, saya cukup bersyukur mampu menghidupi keluarga di tengah kondisi suami yang mengalami sakit keras sehingga tidak bisa bekerja," kata Tati sambil mengais tanah dari lubang tambang sambil berharap terdapat kandungan emas, Jumat (21/11/2013).

Ia menjelaskan, cara kerja ini telah ia tekuni selama satu tahun. Menurut Tati, biasanya para pekerja tambang tradisional bekerja secara kelompok. Dalam satu kelompok terdiri dari lima hingga enam orang. Sebelum membuat lubang tambang dengan keahlian yang didapat secara temurun, mereka dapat mendeteksi titik mana yang memiliki kandungan emas.

"Setelah tempat yang diperkirakan ada kandungan emasnya didapat, maka kaum pria akan mulai menggali lubang dan tanah yang digali itu untuk dikumpulkan. Dari tanah itu, lalu diproses lagi dengan hati-hati dan panjang (lama), baru kami mendapatkan emas," kata Tati.

Dalam sehari, Tati mampu membawa delapan karung tanah untuk dibawa pulang ke rumah dengan menyewa ojek. Tati mesti membayar Rp 5.000 per karung. Setelah tiba di rumah, tanah tersebut diolah lagi guna mendapatkan emas dan juga perak.

Menurut Tati, meski ia mampu mengumpulkan tanah mengandung emas delapan karung per hari, itu tidak berarti ia mampu menghasilkan emas banyak. "Delapan karung tanah itu sudah hebat bisa dapat dua gram emas murni. Ini karena masih melihat kadar emas. Kalau kadarnya 20 persen, maka dihargai Rp 30.000. Paling tinggi 60 persen kadarnya di sini, dihargai Rp 200.000 oleh pengumpul emas. Itu pun dengan proses waktu tidak kurang dari satu minggu," paparnya.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh Nui (50), salah seorang rekan Tati. Nui mengaku sudah puluhan tahun menjadi penambang emas tradisional. Selama menambang, ia tidak pernah masuk ke lubang yang sangat dalam. Rekannya biasa membuat lubang hingga ratusan meter ke perut bumi.

"Kami hanya mengharapkan pemberian tanah saja dari kaum pria yang masuk ke dalam lubang karena kepercayaan di sini, kaum perempuan tidak boleh masuk ke lubang. Berbahaya," ucapnya.

Menurut mereka, tidak kurang dari 20 perempuan yang bekerja sebagai penambang emas tradisional di kawasan itu, tepatnya di Desa Tambang Sawah. Desa Tambang Sawah sebenarnya diapit oleh kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).

Kepada Kompas.com, para penambang mengklaim mereka secara turun-temurun telah menambang di lokasi itu, yang merupakan tanah marga, atas izin dari Pesirah sejak 1972.

Kedua perempuan itu menuturkan, kegiatan menambang di lokasi yang luasnya tidak kurang dari tiga hektar itu dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Maklum, kawasan tersebut merupakan tambang emas sisa kolonialisme Inggris dan Belanda.

"Saya adalah generasi kelima yang menambang di lokasi ini dari kakek buyut saya, dan herannya emasnya tidak habis-habis, walau memang hasilnya tidak banyak. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari," kata salah seorang anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Tambang Sawah, Zulkarnain.

Terancam

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com