Salin Artikel

Cerita Perjalanan Menuju Beranda Nusantara Jagoi Babang, Jalan Berkelok Terbayar Indahnya Alam Kalimantan

Pepohonan hijau yang tumbuh subur nan rindang membentang di sepanjang jalan menuju tapal batas RI di Pulau Kalimantan ini.

Saya girang bukan kepalang. Rasanya menyenangkan menikmati keindahan alam yang jarang saya temui saat bekerja sehari-hari di bawah langit Jakarta, yang lebih sering kelabu akibat polusi.

Panorama indah ini mengobati rasa lelah saya usai menempuh dua jam perjalanan udara dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional Supadio Pontianak, bersama tim Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI.

Tak saya duga, jalan menuju PLBN Jagoi Babang begitu mulus, mirip dengan aspal jalan protokol di Jakarta.

Bedanya, jalan menuju PLBN Jagoi Babang berkelok-kelok dan relatif sempit. Lebarnya hanya sekitar enam meter untuk kedua arah.

Seketika, saya teringat sensasi naik roller coaster. Beruntung, perut yang baru diisi masakan padang selepas tiba di Pontianak, tak ikut bergejolak.

Setelah kami melewati jalan berkelok, langit biru berganti menampakkan semburat jingga.

Matahari mulai tenggelam, saat mobil yang kami tumpangi memasuki kawasan hutan di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Arloji di tangan menunjukkan waktu pukul 18.00 WIB.

Mobil yang membawa kami terus melaju menembus hutan.

Dani (31), sang sopir, hanya mengandalkan lampu mobil saat mengemudikan Hiace itu. Sebab, pencahayaan di kiri-kanan jalan begitu minim, bahkan nyaris nihil.

Saya pun ngeri-ngeri sedap memandang ke luar jendela mobil. Tak banyak yang bisa dilihat selain pohon-pohon tinggi menjulang dan tumbuhan liar.

“Pak, enggak takut nyetir (dengan kondisi) sepi gelap begini?” tanya saya, membuka perbincangan.

Dani tersenyum sebelum menjawab. “Enggak masalah. Saya pernah paling malam nyetir di sini pukul 00.00 WIB. Justru bagus kalau menyetir semakin malam,” kata Dani, menggelengkan kepala.

“Kalau siang, banyak truk-truk (pengangkut) sawit. Jadi, kalau malam bisa lebih dipacu (kecepatan mobilnya),” sambung dia.

“Sudah banyak pendatang. Mungkin ya 50 persenan masih suku Dayak. Sisanya transmigran,” kata dia.

Dani terus bercerita, sampai-sampai tak terasa bahwa kami sudah tiba di sebuah penginapan di Bumi Amas, Kabupaten Bengkayang, sekitar pukul 19.15 WIB.

Kami menginap semalam untuk melepas lelah, setelah menempuh perjalanan hampir seharian dari Jakarta. Lagi pula, jam operasional PLBN Jagoi Babang telah berakhir malam itu.

Sebelum istirahat, tak lupa kami makan malam terlebih dahulu. Kami dengan lahap menyantap nasi dengan lauk daging sapi lada hitam plus sapo tahu dan bakso kuah.

Namun, semangkuk besar es campur di meja prasmanan seolah menjadi ‘bintang utama’ makan malam itu. Saya langsung mengambil dua gelas es campur, girang mendapat penawar lelah setelah berjam-jam duduk di mobil.

Setelah perut kenyang, saya masuk ke kamar dengan perasaan tak sabar untuk melanjutkan perjalanan ke beranda nusantara yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.

Keesokan harinya, kami bangun pukul 06.00 WIB. Setelah mandi dan bersiap-siap, kami menyantap sarapan di restoran penginapan.

Menunya mirip dengan hidangan semalam, yakni daging sapi bumbu lada hitam. Namun, pilihan sayurnya berbeda. Ada capcai dan sup jagung, serta omelet yang nikmat dipadukan dengan roti panggang.

Ditemani lagu-lagu Sheila on 7 yang mengalun pelan, saya dan dua jurnalis dari media lain ikut bernyanyi di sepanjang perjalanan untuk mengusir kantuk.

Tiba-tiba, sensasi naik roller coaster kembali terasa. Penyebabnya tak lain karena jalan berkelok-kelok dan naik-turun. Meski begitu, jalanan itu sama mulusnya dengan jalan yang kami lewati hari sebelumnya.

Di tengah perut yang “dikocok”, saya penasaran, sejak kapan jalan tersebut begitu mulus.

“Jalannya bagus, ya?” celetuk saya, berharap mendapat respons dari Banu (23), sopir yang kali ini membawa kami melanjutkan perjalanan.

Banu pun mengangguk, mengiyakan celetukan saya. “Iya, ini (rute) yang paling bagus,” kata dia singkat.

“Baru-baru ini diperbaiki apa bagaimana?” tanya saya.

Banu berpikir sejenak, sebelum kembali membuka mulut. “Enggak, sih. Sudah dari dulu begini,” jawab dia.

Langit yang tak kalah biru, gumpalan awan putih, dan bangunan megah PLBN lengkap dengan Patung Garuda Pancasila dan Bung Karno langsung menyambut kami, membayar tuntas rasa lelah setelah menempuh perjalanan total 276 kilometer dari Pontianak.

Namun, cuaca di sana sangat terik, rasanya dua kali lipat dari cuaca panas Jakarta dan lebih menyengat ke kulit.

Sayangnya, saya tak bisa mengecek suhu saat itu lantaran sinyal kartu SIM di ponsel cukup buruk.

Sambil berseloroh, Staf Humas BNPP Faizah Fatmala berkata, cuaca panas di PLBN Jagoi Babang disebabkan adanya 'dua matahari'.

"Ada matahari Indonesia, ada matahari Malaysia," kata Faizah, lalu terbahak.

Meski begitu, cuaca terik tak menyurutkan semangat dan rasa penasaran saya untuk menjelajahi kawasan PLBN Jagoi Babang.

Ikuti terus cerita perjalanan saya berikutnya di beranda Indonesia yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Jangan ketinggalan…

*Perjalanan reporter Kompas.com Xena Olivia ke PLBN Jagoi Babang merupakan kolaborasi bersama BNPP. Selain PLBN Jagoi Babang, ada pula perjalanan ke lima PLBN lain, yakni Baharudin Al Farisi di PLBN Wini, Hadi Maulana di PLBN Serasan, Ahmad Dzulfikor di PLBN Sei Nyamuk, Sigiranus Maruto Bere di PLBN Napan, dan Achmad Nasrudin Yahya di PLBN Sota. Ikuti cerita perjalanan kami dalam lipsus Merah Putih di Perbatasan.

https://regional.kompas.com/read/2023/12/14/06000051/cerita-perjalanan-menuju-beranda-nusantara-jagoi-babang-jalan-berkelok

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke