Salin Artikel

Cerita di Balik Kebakaran Lahan di Bukit Menoreh, Marsiti Tak Berani Lagi Bakar Sampah di Musim Kemarau

Luka bakar yang tersisa hanya berupa garis hitam tipis di pipi kiri, pada punggung jari tangan dan kaki.

Selain itu Marsiti menyebut ada juga bekas luka di paha tepatnya di bawah pinggul.

Marsiti, istri petani kebun di Bukit Menoreh, mengaku sudah kembali beraktivitas seperti biasa setelah kebakaran Oktober 2023 lalu.

"Sudah baik semuanya. Sembuh lukanya, hanya ada bekasnya di pipi, tangan, kaki ini dan belakang paha" kata Marsiti di rumahnya, Rabu (1/11/2023).

Luka bakar di tubuhnya sudah sembuh, namun pengalaman dikepung api membekas begitu dalam di hati Marsiti.

Semua berawal dari kebakaran di lereng Menoreh di Tangkisan III pada Oktober 2023.

Kala itu Marsiti berniat membersihkan jalan di pekarangan kebun sendiri. Daun kering dari guguran pohon sudah menumpuk dan menutupi jalan setapak.

"Kasihan orang lewat kalau tidak dibersihkan," kata dia.

Maristi adalah ibu rumah tangga yang merawat anaknya berusia 20 tahun yang lumpuh. Sementara suami Maristi adalah petani yang hidup dari hasil kebun dan kerja serabutan.

Di tengah kegiatan rumah dan merawat anak, Marsiti juga membersihkan rumah maupun halaman.

Hari itu, 16 Oktober 2023 sekitar pukul 09.00 WIB, ia menyapu, mengumpulkan daun kering itu di empat titik. Lalu ia membakarnya satu per satu.

“Saya tidak tahu kenapa saya bakar. Yang keempat awalnya tidak masalah, lalu saya ambil dahan kering, saya lempar ke api. Terbang daun terbawa angin. Tidak lama di bagian atas ada api,” katanya.

Ia segera memadamkan api itu dengan alat apa adanya.

Dalam kondisi kalut, Marsiti mengingat keluarganya yang harus dirawat dan warga sekitar. Ia berusaha mati-matian mematikan api yang terus menjalar.

Ia pun tak mampu mengendalikan api yang terus meluas. Perempuan setengah baya itu pingsan dan beruntung ia berhasil diselamatkan oleh sang adik.

"Tidak ingat apa-apa lalu ada di rumah ini. Dokter datang ke rumah mengobati luka bakar. Tiga hari kemudian baru bisa pergi ke luar rumah untuk kontrol ke dokter," katanya.

Ia mengaku tahu kalau membakar sampah di musim seperti ini berisiko. Namun ia tak menyangka terjadi kebakaran hebat akibat tindakannya.

Marsiti pun mengaku menyesal dan bertekad tidak coba-coba hal serupa.

"Saya tidak mau lagi (bakar sampah di musim kering)," katanya.

Kebakaran merambat hingga mengenai tiga lahan warga. Ada yang seluas 10 meter persegi, 500 m2 dan 2.000 m2 yang berisi pohon kelapa.

Selain itu lahan milik Dinas Kehutanan seluas 1-2 hektar hutan ikut terbakar. Beruntung api bisa dikendalikan dalam beberapa jam saja.

Lebih dua pekan kemudian, pemilik lahan dipertemukan dengan Marsiti di balai desa. Sejumlah pejabat desa, aparat dan relawan hadir dalam mediasi ini.

Korban menganggap hal ini musibah dan bukan perbuatan sengaja. Karena itu mereka tidak berniat menuntut hukum karena peristiwa itu.

Warga juga mengenal Marsiti dan kehidupan keluarganya yang hidup dalam keterbatasan.

"Mereka menyarankan tidak perlu kebakaran ini berlanjut pada proses hukum. Kami juga berharap hal serupa,” kata Riana di rumahnya.

Mediasi dihadiri pemerintah desa, aparat dari Polsek Kokap, juga sejumlah relawan yang ikut memadamkan api kebakaran.

Riana mengungkapkan, kasus kebakaran lahan ini telah menjadi pelajaran bersama.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/02/123200878/cerita-di-balik-kebakaran-lahan-di-bukit-menoreh-marsiti-tak-berani-lagi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke