Salin Artikel

Cerita Wahyudi Pejuang Literasi Wonogiri Sisihkan Gaji Sebagai Penjaga Pospol, Bangun Rumah Baca

WONOGIRI, KOMPAS.com-Tinggal di desa terpencil dan jauh dari hingar bingar kemajuan zaman tak menyurutkan semangat Wahyudi (44) untuk mewujudkan cita-citanya.

Bermodal menyisihkan gaji sebagai penjaga malam pos polisi Patung Kuda Monas dan menonton Kick Andy, pria asal Dusun Tlogobandung, Desa Tirtosuworo, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah berjuang mendirikan rumah baca di desanya.

Kegigihannya mendirikan rumah baca di kampung halamannya bukan tanpa alasan.

Masa kecil Wahyudi yang kelam dan penuh keterbatasan membuatnya nekat berjuang agar anak-anak di kampung halamannya tak mengalami nasib serupa.

Betapa tidak. Rupanya semenjak kecil, Wahyudi harus tinggal hidup serumah dengan neneknya setelah kedua orang tuanya bercerai.

Untuk menopang hidupnya, semenjak duduk di bangku kelas tiga SD hingga lulus, Wahyudi berjualan keliling gorengan dan es lilin selepas pulang sekolah. Pagi harinya, ia menyempatkan diri berjualan mainan di depan sekolah.

“Saya dulu sejak kecil tinggal dengan nenek karena orang tua cerai. SD dari kelas tiga sampai kelas enam sudah jualan kalau sore jualan gorengan dan es lilin. Dan pagi saya harus mainan di depan sekolah,” kata Wahyudi kepada Kompas.com, Kamis (28/9/2023).

Lulus SD, Wahyudi melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Namun untuk pergi ke sekolah, Wahyudi harus berjalan kaki setiap dengan jarak tempuh mencapai 6 kilometer.

Tak seperti kehidupan anak-anak lainnya, Wahyudi rupanya tak mendapatkan uang saku setiap hari.

Neneknya hanya memberikan uang saku bila memiliki uang saja. Lantaran sering tak memiliki uang jajan, Wahyudi saat jam istirahat memilih membaca buku di perpustakaan sekolahnya.

Dari kebiasaan membaca buku saat jam istirahat, Wahyudi menjadi ketagihan dan senang membaca buku.

“Saat sekolah SMP saya harus berjalan kaki sekitar enam kilometer. Karena nenek itu tidak tentu memberikan uang saku. Kalau jam istirahat teman-teman sekolah ke kantin maka saya memilih ke perpustakaan. Biar tidak tidak rasa lapar akhirnya saya baca buku dan malah ketagihan hingga akhirnya saya sering membaca buku,” ungkap Wahyudi.

Wahyudi mengungkapkan dirinya pernah berumah tangga. Namun tangganya hancur dan berakhir perceraian pada tahun 2012.

Dua tahun kemudian, Wahyudi merantau di Jakarta bekerja menjadi penjaga malam pos polisi (pospol) samping Patung Kuda, Monas, Jakarta.

Saat mudik ke kampung halaman, Wahyudi melihat anak-anak di desanya sudah banyak yang kecanduan game online. Bukannya belajar, sepulang sekolah, banyak anak-anak desa malah ke warnet untuk bermain game online.

“Pas saya pulang lihat anak-anak kampung habis pulang sekolah kok mereka malah ke warnet dan game online. Saya terus berpikir untuk bagaimana membuat sesuatu dan membuat mereka tidak main jauh-jauh dan biar mereka ada kegiatan,” kata Wahyudi.

Setelah balik ke Jakarta, Wahyudi mulai mengumpulkan buku yang dibeli dari uang penyisihan gajinya sebagai seorang penjaga pospol.

Tak hanya itu, Wahyudi mengajak teman-teman separantauan untuk daftar nonton Kick Andy.

“Akhirnya tahun 2014 saya mulai ngumpulin buku dengan setiap gajian jaga malam saya sisihkan. Setiap minggu pasti saya daftar Kick Andy dan saya ajak teman sebanyak sepuluh atau 20 orang perantauan disana. Dari nonton Kick Andy, setiap penonton pasti mendapatkan hadiah buku. Hadiah buku itu saya kumpulkan dan menjadi cikal bakal pendirian rumah baca bagi warga di kampung halaman saya,” jelas Wahyudi.

Ratusan judul

Setahun mengumpulkan buku berjumlah ratusan judul, Wahyudi pada tahun 2015 membuat satu gubuk kecil di pinggir rumahnya di Desa Tirtosuworo. Bentuk gubuknya sederhana lantaran hanya berlantai terpal dan tidak ada rak buku. Seluruh buku yang dikumpulkan hanya ditaruh dalam kardus.

Agar warga di kampung halamannya mau datang, Wahyudi memposting kegiatannya membuat rumah baca di media sosial.

Dari postingan itu, pemuda dan anak-anak di desanya mulai berdatangan membaca buku-buku di rumah bacanya yang sederhana itu.Setelah berkembang, rumah baca mulai Oktober 2020 dipindahkan ke gedung yang berada diatas tanah milik desa setempat.

Tak berhenti di rumah baca, Wahyudi terus mengembangkan inovasi agar kegiatan berliterasinya makin menumbuhkan minat baca masyarakat di kampung halamannya.

Bermodal sepeda motor pinjaman, Wahyudi berjualan keliling telur puyuh dadar sambil membawa boks berisi buku bacaaan.

“Jadi selain membeli, warga bisa meminjam dan membaca buku yang ada di dalam boks,” kata Wahyudi.

Selain Wahyudi, ada beberapa relawan lain yang melakukan hal yang sama. Di antaranya berjualan burger sambil membawa boks berisi buku bacaan. Warga kemudian mengenalnya dengan sebutan burger pustaka.

“Jadi kami keliling ke desa-desa sambil jualan terus ada buku bacaannya. Jadi tidak hanya dirumah baca tetapi juga keliling. Setelah banyak berkeliling, warga mulai banyak mengenal buku bacaan karena tidak harus datang ke rumah baca,” ungkap Wahyudi.

Gencarnya Wahyudi bersama relawan lain keliling desa berjualan dan membawa buku bacaan gratis rupanya terpantau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat itu.

Sekitar tahun 2017, Kemendikbud memberikan program kampung literasi di kampung halaman Wahyudi.

Tak hanya itu, Wahyudi pun pernah diundang bertemu Presiden Joko Widodo lantaran keberhasilannya berjuang mengajak warga untuk membaca buku dan menambah wawasan.

Dari bantuan program kampiung literasi, Wahyudi menjadikan setiap pos ronda dijadikan sebagai pojok baca. Warga pun lebih gampang mengakses buku bacaan yang berada di pos-pos ronda terdekat.

Selain program kampung literasi, rumah baca yang dikelola Wahyudi juga mendapatkan bantuan sepeda motor boks perpustakaan keliling dari Perpustakaan Nasional. Tak hanya itu, agen pengiriman paket JNE juga memberikan bantuan sepeda motor roda tiga yang dibelakangnya ada bak untuk dapat mengangkut buku-buku bacaan keliling desa.

“Sepeda motor roda tiga sampai sekarang masih kami gunakan untuk perpustakaan keliling. Bila hari minggu kami parkirkan di acara car free day di Kecamatan Giritontro. Selain itu juga saya bawa di acara-acara keramaian yang didatangi banyak orang. Tetapi disitu saya sambil buka lapak mainan. Sedangkan sepeda motornya ada lapak bukunya. Jadi masyarakat pengunjung car free daya dapat membaca atau meminjam dibawa pulang,” jelas Wahyudi.

Menurut Wahyudi, jumlah buku yang dimiliki di rumah bacanya mencapai 5.000-an buah. Koleksi buku di rumah bacanya mulai novel, enseklopedia dan aneka judul bacaan lainnya. Untuk buku yang digemari, anak –anak lebih suka kisah nabi dan cerita bergambar. Sedangkan orang tua memilih buku-buku bertopik pertanian dan peternakan.

Selain ditaruh di rumah baca, buku yang ada juga dibagi di pos ronda mulai seratus hingga 200 dan taman pendidikan Alquran. Selain itu buku juga ditaruh di motor keliling bantuan Perpustakaan Nasional dan JNE.

Banyak dapat kiriman buku

Meski sering berjuang sendirian untuk mempertahankan keberadaan rumah baca, Wahyudi bersyukur lantaran masih banyak yang peduli mengirimi buku-buku baru.

Bahkan seorang sastrawan ternama Maman Suherman acapkali mengirimnya buku-buku yang disesuaikan dengan kebutuhan warga.

“Kalau update buku sampai sekarang belum pernah beli buku karena tidak ada anggaran. Tetapi untuk bantuan banyak yang kirim termasuk Kang Maman Suherman bisa dikatakan seminggu atau dua minggu sekali beliau mengirim. Bahkan ditanya kebutuhan apa kemudian dikirim,” kata Wahyudi.

Ia pun terkadang juga membantu membeli lima hingga sepuluh buku bila mendapatkan kelebihan rejeki.

Untuk perawatan buku, khusus di pos ronda ada petugas yang dipilih dari pemuda setempat. Pemuda itu bertanggungjawab mengganti buku yang sudah rusak untuk ditukar dengan buku baru di rumah baca. Hingga saat ini terdapat lima pos ronda yang aktif menghidupkan kegiatan pojok baca.

Mengenalkan dunia IT

Untuk menghidupkan kegiatan di rumah baca, Wahyudi menggandeng sejumlah relawan dan mahasiswa agar mengenalkan dunia informasi dan teknologi (IT) kepada anak-anak sekolah di kampung halamannya. Pasalnya masih dijumpai anak-anak setingkat SMP tidak mengetahui bagaimana mengoperasionalkan sebuah komputer ataupun laptop.

Lantaran keterbatasan laptop, awalnya hanya dua laptop pinjaman. Namun terus berkembang setelah mendapatkan bantuan dari pihak lain hingga akhirnya menggunakan 7 laptop.

“Minimal satu laptop dua anak. Rata-rata yang datang ke 25 hingga 30 anak. Kami ajarkan kepada anak-anak SD dan SMP yang sama sekali belum pernah diajarin komputer di sekolah. Maka diajarin bagaimana menghidupkan dan mematikan komputer, kemudian menulis di word dan menggambar dengan program lain yang masih dasar. Dan lewat program ini kami mengajarkan kepada anak-anak bahwa internet itu banyak positif. Jadi lebih menggiring anak-anak ternyata komputer bisa dibuat untuk hal yang baik,” ungkap Wahyudi.

Relawan minim

Banyaknya relawan yang menikah dan disibukkan dengan kegiatan perkuliahan di kampus menjadiknya dirinya sering sendiran mengurusi rumah baca. Namun kondisi itu tak menjadikan dirinya surut berliterasi. Wahyudi tetap berkeliling membawa motor berisi buku bacaan sambil berjualan di tempat keramaian seperti pasar dan acara hiburan hajatan.

“Dulu ada relawannya yang mengajar anak-anak. Tetapi karena sibuk kerja dan banyak menikah sekarang tidak bisa lagi. Kemudian kami kerjasama dengan Ikatan Mahasiswa Berprestasi (Imapres). Tetapi mereka tidak setiap minggu pulang ke kampung. Jadi karena tidak ada yang ngajarin maka sementara saya stop untuk les komputernya,” tutur Wahyudi.

Wahyudi pun tidak bisa memaksa relawan untuk terus bekerja karena mereka tidak mendapatkan fasilitas gaji ataupun upah. Untuk itu manakala relawan tidak ada, ia pun terpaksa harus mengurus sendiri seperti menata buku dan membersihkan rumah baca.

“Relawan itu kan tidak digaji dan tidak ada pemasukan maka kami tidak bisa memaksa,” jelas Wahyudi.

Ia menambahkan sebelum pendemi Covid-19, banyak donatur yang membantu untuik membayar biaya listrik dan langganan internet. Namun semenjak pandemi berlalu, donatur berkurang sehingga langganan internet dicabut karena tidak bisa bayar bulananya.

Bermimpi Milik Rumah Baca Mandiri

Wahyudi masih tak percaya perjalanan hidupnya yang penuh dengan lika-liku ternyata masih dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. Setidaknya apa yang dilakukan saat ini dapat membantu anak-anak di kampung halamann agar tidak mengalami masa pahitnya yang pernah dialaminya.

“Saya tidak pernah membayangkan dan memiliki gambaran kalau perjalanan hidup saya seperti ini. Apalagi perjalanan hidup kecil saya seperti itu. SMP mau beli buku saja tidak bisa, dan mau baca tiap hari harus ke perpustakaan supaya tidak lapar dan tidak. Dan saya membuat itu agar anak-anak saat ini tidak mengalami seperti yang saya rasakan waktu kecil,” jelas Wahyudi.

Wahyudi menyadari mengajak warga untuk suka membaca buku bukanlah pekerjaan mudah. Acapkali buku-buku yang dipinjamkan warga banyak yang tidak kembali. Ia pun harus rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran hingga materi bahkan kehidupan keluarganya.

Namun sebagai pejuang literasi, Wahyudi kini memiliki banyak teman dan jejaring. Bahkan ia bisa terbang ke berbagai ke luar pulau Jawa karena getolnya memperjuangkan literasi bagi warga di kampung halamannya.

Wahyudi berharap ke depan, ia mampu membeli tanah dan membangun rumah baca mandiri dengan memiliki yayasan sendiri.Pasalnya dengan yayasan sendiri dapat mengembangkan kegiatan lain seperti menggelar kegiatan sekolah kejar paket C bagi warga yang putus sekolah di daerahnya.

“Mudah-mudahan nanti bisa membeli tanah sendiri dan bisa mandiri dan merdeka berliterasi sehingga kami tidak tergantung pada bantuan pemerintah,” harap Wahyudi


https://regional.kompas.com/read/2023/10/01/110635878/cerita-wahyudi-pejuang-literasi-wonogiri-sisihkan-gaji-sebagai-penjaga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke