Salin Artikel

Kisah Imam Juwaini Melestarikan Seni Tradisi Aceh dalam Keterbatasan

Dengan kondisi pencahayaan lampu redup, terlihat dua kelompok laki-laki anggota komunitas Sanggar Saleum, antusias mengikuti  latihan tarian rapa'i geleng dan likok pulo yang dipandu oleh dua instruktur.

Tak jauh dari lokasi latihan itu, Imam Juwaini, seniman etnik sekaligus pendiri komunitas Sanggar Saleum, duduk di trotoar area parkir, dikelilingi delapan mahasiswa dan dosen dari ISBI Aceh.

Mereka tengah alot berdiskusi tentang tari tradisi Aceh sebagai bahan meteri kuliah lapangan.

"Ini mahasiswa dari Prodi Karawitan ISBI Aceh sedang mengikuti materi mata kuliah Musik Aceh Pesisir Barat. Mereka belajar langsung di lapangan, karena suasana belajar di luar seperti ini pasti beda dengan belajar di ruangan ," kata Surya, dosen Prodi Karawitan ISBI Aceh kepada Kompas.com.

Surya menceritakan pengalamannya tiga kali pertemuan dengan Imam saat membawa mahasiswanya mengikuti materi kuliah lapangan musik Aceh pesisir barat.

Menurutnya, penjelasan tentang seni dan budaya tradisi yang disampaikan Imam sangat mudah dipahami.

"Yang saya rasakan pribadi ya, Bang Imam itu asik orangnya, ramah, dan mudah akrab. Kami merasa satu frekuensi, jadi nyaman belajar dengan beliau. Apa yang disampaikan, mudah kita pahami karena beliau langsung memberikan contoh atau pendekatan yang dekat dan mudah kita pahami," ungkapnya.

Tak ada tempat

Sementara, Imam mengatakan, latihan rutin anggota komunitas Sanggar Saleum dilakukan pada malam hari dengan memanfaatkan area kosong yang ada di seputaran Gedung Dayan Dawood Unsyiah dan Kampus UIN Ar-Raniry.

"Kami belum ada tempat sendiri, makanya di mana ada ruang kosong, di situ kami jadikan tempat latihan. Untuk malam Kamis, personel perempuan yang latihan, laki malam Selasa, Rabu dan Sabtu itu rutin latihan mulai Pukul 21.00- 23.00 Wib, karena malam, anggota, baik siswa dan mahasiswa semua bisa ikut," ungkapnya.

Imam menjelaskan, saat ini komunitas Sanggar Saleum memiliki 50 anggota aktif untuk semua jenis tari tradisi yang sudah siap tampil di berbagai acara pentas seni ataupun even serimoni.

Tari ini siap ditampilkan baik di tingkat lokal maupun nasional. Di antaranya tari saman, rapai geleng, likok pulo, sudati untuk laki-laki, laweut untuk perempuan, ratoh jaroe, likok banda, dan ranub lampuan.

"Acara open seremoni sering kami isi. Kebanyakan pihak swasta yang sering mengundang tampil. Kalau kegiatan pemerintahan, jarang kami diundang," katanya.

Komunitas Sanggar Saleum didirikan Imam secara swadaya pada 2006.

Mereka tak memiliki sponsor ataupun donatur untuk bergerak menjaga dan melestarikan tarian tradisi Aceh ini.

Namun, karena cinta, semangat, dan rasa tanggung jawab, Imam dan beberapa rekannya rela mengorbankan waktu, biaya, dan tenaga untuk melestarikan kebudayaan ini meski dalam keterbatasan.

"Konsep kami di komunitas ini, menghidupkan bukan mencari hidup. Artinya, walaupun kami banyak keterbatasan, ya kami tetap bergerak dengan inisiatif. Sakit, susah, dan senang, kami nikmati bersama," jelasnya.

Untuk pembiayaan kebutuhan komunitas, termasuk biaya operasional setiap latihan, Saleum memiliki kas tabungan dari hasil penampilan mengisi acara.

"Sekarang minimal dalam satu bulan ada dua kali tampil. Nah, honor itu sebagian kami simpan untuk  kas. Personel setiap tampil hanya kami berikan transpor dan makan makan. Dari kas itulah kami bisa bertahan karena setiap latihan juga butuh biaya minimal Rp 50.000 untuk minum," katanya.

Namun, latihan rutin tetap dilakukan walaupun secara terbatas dan diam diam.

"Waktu Covid, setahun kami kosong ruang tampil. Namun, latihan tetap saya lakukan karena kalau tidak ada latihan, mungkin sekarang Saleum sudah bubar. Saat Covid, Saleum hanya memanfaatkan YouTube untuk merilis beberapa lagu etnis agar kami tetap bertahan dan berkarya ," katanya.

Kemudian, setelah pandemi, komunitas Saleum mulai bangkit.

Penampilan perdana mereka dengan tampil mengisi acara panggung arisan seni dan budaya di lima kabupaten dan kota di Aceh yang biayanya berasal dari Kemendikbud.

Sosok Imam Juwaini

Kedua kaki yang mengalami cacat sejak kecil tak menghalangi Imam melestarikan budaya aceh.

Pria kelahiran Pidie itu telah menyumbang banyak penampilan seni tradisi Aceh mewakili Indonesia di berbagai negara, khususnya saat dia masih aktif di Sanggar Seni Seulaweut (S3) Kampus UIN Ar-Raniry.

"Kalau pengalaman tampil di luar negeri saat saya masih di sanggar kampus. Kami pernah tampil di Cina, Amerika, Turki, Malaysia, dan Hawai. Di Sanggar Seni Seulaweut, saya juga sebagai ketua selama dua periode. Mulai tahun 2001 sampai dengan 2006," ungkapnya.

Selain aktif mengajar dan melatih tarian tradisi, Imam juga sering diundang sebagai juri dan pemateri di berbagai acara workshop serta seminar seni dan budaya di Aceh.

Bagaimana dukungan pemerintah?

Imam mengatakan, komunitas Saleum selama ini tidak mendapat ada dukungan dari pemerintah daerah.

Contohnya saja pada even Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang akan digelar bulan depan.

Komunitas ini belum mendapat ruang tampil pada arena even seni budaya yang rutin di gelar setiap lima tahun di Aceh itu.

"Pekan Kebudayaan Aceh kali ini kami tidak diberi ruang. Kalau PKA sebelumnya, Saleum sering mengisi penampilan untuk opening seremonial, tapi kami tetap bergerak walaupun tak ada dukungan dari pemerintah," ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/25/164419478/kisah-imam-juwaini-melestarikan-seni-tradisi-aceh-dalam-keterbatasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke